foerever young

Merawat Semangat 

Kemarin pagi, Mas Sugi, mengirimkan lagu lama Forever Young, di grup angkatan kami. Mas Sugi memang suka menghibur teman-teman, dengan pilihan lagu-lagunya yang bagus.

Grup tak pernah sepi. Selalu ada saja yang kami jadikan sebagai topik bahasan, atau sekedar menjadi bahan guyonan ringan. Mengurangi ketegangan, di tengah gencarnya berita-berita demo mahasiswa, solidaritas para ojol yang mengantarkan almarhum Affan Kurniawan yang tewas terlindas rantis yang dikendarai brimob, ke tempat peristirahatan terakhir. Seluruh negeri berduka, menangisi kepergiannya yang tragis.
Semoga Affan beristirahat dengan damai di keabadian.
Semesta melindungi.

Tiap hari, ada saja cerita dan celoteh kami di grup.
Begitulah, cara kami merawat semangat, di usia yang tak lagi muda...

Sudah seminggu, demo masih belum mereda.
Pikiranku tak tenang. Khawatir melebar ke mana-mana. 

Secara pribadi, aku tidak menentang. Asal aspirasi disampaikan secara elegan. Kritik memang diperlukan, untuk menyadarkan para pemangku jabatan di atas sana, agar peka pada tanggung jawabnya, dan tidak lupa pada cita-cita luhur para pendiri bangsa. Mengisi kemerdakaan dengan pembangunan yang berkeadilan dan beradab.

Sangat sedih, saat aksi berkembang tak terkendali, disusupi oknum-oknum tak bertanggung jawab, hingga terjadi anarkhisme, yang menjurus pada tindak kriminal. Merusak fasum dan melakukan penjarahan.

Ya, bisa dipahami sih kemarahan serta rasa muak yang dirasakan masyarakat luas terhadap perilaku petinggi-petinggi negeri.
Tapi, itu tidak bisa dijadikan sebagai pembenaran untuk melakukan anarkhisme. Apa kata dunia?
Kita pun perlu menjaga nama dan martabat bangsa di mata dunia. Jangan karena luapan emosi sesaat, merusak semua yang sudah dibangun dengan susah payah oleh para pendahulu kita. Tidak semua pejabat jahat. Aku percaya, masih banyak yang baik dan punya kepedulian. Sungguh-sungguh berjuang untuk memajukan bangsa.

Sebagai rakyat jelata, yang tak punya kekuasaan apa-apa, yang bisa kulakukan hanya berdoa, dan terus berdoa.
Semoga hiruk pikuk ini segera berlalu...

Lagu Forever Young itu kuputar beberapa kali. Pada bagian-bagian tertentu, aku ikut bernyanyi. Rasa haru memenuhi rongga dadaku. Tanpa dapat kucegah, air mata jatuh begitu saja...
Aih, betapa rapuhnya...

Ingatan membawaku kembali ke masa lalu. Fase demi fase. Ternyata, sudah banyak hal yang kulalui...

Lahir dan besar di sebuah kampung kecil di ujung Pulau Sumatera. Kehidupan sederhana yang tenang dan damai, berlimpah kasih sayang dari kakek dan nenek. 
Aku ingat, setiap sore, selalu duduk dan mengayun-ayunkan kakiku di dahan pohon belimbing. Yang tumbuh di halaman depan rumah kami. Memejamkan mata, membiarkan angin menerbangkan anak rambut yang memenuhi wajahku, merasakan hembusan angin.
Sebelah tanganku berpegangan erat ke pohon, sebelah lagi kurentangkan. Sesekali kusibakkan rambut ke samping, dan memandang langit jingga. Hatiku selalu bertanya-tanya. Apa yang tersembunyi di langit itu ? Andai saja aku punya sayap. Aku bisa terbang ke sana utntuk melihat-lihat...

Teriakan ibu yang selalu membuyarkan lamunanku.
"Ayo, turun. Hari sudah hampir gelap..." Disertai omelan lainnya.
"Kau ini kan anak perempuan. Kenapa suka sekali memanjat-manjat pohon? Mau jadi apa kau nanti?  Lihat kakakmu. Dia rajin menyulam dan merajut. Mau sampai kapan kau seperti itu?" Begitulah, selalu kalimat-kalimat itu yang diucapkan oleh ibuku. Aku diam saja. Menghabiskan makan malamku.

Lulus SD, aku melanjutkan sekolah di kota. Aku dititipkan pada keluarga paman. Enam tahun aku tinggal di rumah keluarga mereka, sampai tamat SMA.
Kemudian, aku melanjutkan kuliah ke Bandung. Menikah, menetap di Cikampek, dan melahirkan lima orang anak. Empat orang laki-laki dan satu perempuan. 

Sekarang, setelah anak-anak beranjak dewasa, aku lebih punya waktu untuk diriku sendiri, juga untuk merenung... 

Satu hal yang aku sadari setelah menua ini, tiap orang unik, berproses dan diproses dengan cara yang berbeda-beda. Masing-masing punya porsinya sendiri.
Bersyukur, sepanjang perjalanan hidupku, aku selalu dipertemukan dengan orang-orang baik. Sehingga aku bisa belajar memperbaiki diri dan bertumbuh menjadi versi diriku seperti yang sekarang ini.
Terimakasih Semesta...

Aku pun ingat, di masa mudaku dulu, aku pernah ada di situasi yang sangat sulit. Saat satu per satu teman-teman lulus lalu meninggalkan Bandung, yang tersisa hanya aku, Petty dan Nova. Kami bertiga yang masih terhubung. Waktu itu aku kos di daerah Rahayu Utara dekat dengan RS Hasan Sadikin. Nova dan adik-adiknya ngontrak di Cipaganti. Kami sering ngumpul bareng dan cerita ngalor ngidul, untuk menyembunyikan kerisauan kami tentang skripsi yang tak kunjung selesai.

Nova hadir saat pemberkahan nikahku. Dia orang pertama yang kuberitau. Dia tau pasang surutnya hubunganku.

"Kalau menurutmu itu keputusan yang terbaik, ya lakukan..." Begitu kata-kata yang dia ucapkan. Beberapa teman lain mengatakan tidak setuju. Ucapannya memantapkan hatiku. Ini jodohku.
"Jangan Mbak, jangan ambil keputusan terburu-buru," Rebecca, anak Psikologi Maranatha, yang jelas-jelas menentang keputusanku untuk menikah.

Begitulah...
Pemberkahan nikah dilaksanakan di Cikampek dengan sederhana. Setelah itu, aku kembali ke Bandung lagi, untuk menyelesaikan skripsi.

Nova selalu mengunjungiku. Kami sidang dan wisuda bareng.

Setelah wisuda, aku ikut retret dulu di Lembang. Setelah itu , menetap di Cikampek.
Anak-anakku pun lahir satu per satu...

Kemaren, 25 Agustus 2025, Nova datang  mengunjungiku.
Dia tiba-tiba muncul mengagetkanku saat aku sedang sapu-sapu di depan. Banyak sampah daun mahoni.

"Santai aja, Lian. Lanjutkan sapu-sapunya. Ada yang bisa kubantu? Kau punya sapu satu lagi nggak?" Begitulah. Dia menungguiku sampai selesai, baru kami sama-sama jalan masuk menuju rumah.

Kemudian dia kutinggal mandi dulu, kakak yang menemani. Kebetulan, hari itu ada rebusan singkong. Kuambil sepiring dan kusuguhkan padanya. Menemani kami ngobrol. Padahal ada keripik pisang, tapi tak disentuhnya. Katanya, dia lagi berusaha menghindari makan goreng-gorengan.

Kalau kuingat-ingat kembali, Nova hampir selalu ada di setiap fase hidupku. Dia datang menengok bersama Ulan, saat aku melahirkan anak pertama.

Saat dia melanjutkan pendidikan ke Amerika, dia  menyurati dan kirim foto. Bercerita tentang keadaannya di sana.

Pernah juga mampir saat aku hamil tua anak ketiga dan keempat. Bareng temannya. Katanya habis dari Batang.
Dia selalu begitu, tiba-tiba muncul. Waktu itu rumah berantakan banget. Ruang tamu penuh dengan serakan  mainan anak. Tapi dia bersikap biasa saja, tidak terganggu dengan semua itu. Baginya, yang penting bisa bertemu dan tau kabarku.

Belakangan, dia lebih sering mampir. Kadang berdua dengan suaminya saja. Kadang komplit dengan sepasang anaknya.

Seperti kemarin, suaminya mengurus pekerjaan, sedangkan Nova ditinggal di tempatku, sehingga kami bisa ngobrol leluasa.

Setiap bertemu, tidak ada hal khusus yang kami bahas. Cerita yang ringan-ringan saja. Nova suka membaca. Dia seorang story telling yg baik. Kemarin, Nova menceritakan novel Jepang yang baru selesai dia baca. Ceritanya inspiratif. Tentang seorang nenek yang membesarkan cucunya dengan optimisme, meski mereka hidup serba kekurangan.

Aku jadi mengerti, apa itu arti sebuah kehadiran. Tidak butuh cerita hebat,  yang menakjubkan. Apa adanya.
Tertawa bareng, kemudian foto-foto, sudah cukup menghangatkan hati. Ya, sesederhana itu.

Pada siapa pun aku berusaha bersikap baik.
Bagiku, bisa bertemu di kehidupan ini, karena adanya jodoh karma. Semua itu harus dihargai.
Masing-masing punya peran, dan turut mewarnai hari-hariku, jadi cerita tersendiri di perjalanan hidupku. 

Ami, Dina, Wenny, Yenny, Ulan, Nova, merupakan orang-orang yang selalu mendukungku, sejak aku masih muda. Kami saling menyemangati.

Di setiap ada kesempatan, Ulan selalu bilang : "Tulislah. Keluarkan semua yang ada di pikiranmu. Menulis itu sebagai bagian dari terapi." Dia selalu meyakinkanku.
Aku suka malu, nggak pede,  merasa tulisanku tidak bagus.

"Tulis aja. Abaikan pendapat orang." 

 Ya, setiap kali aku berhasil menyelesaikan sebuah tulisan, meskipun tidak bagus, aku merasa senang.
Merasa diriku berguna. Dan sedikit demi sedikit, hal itu meningkatkan kepercayaan diriku. Seperti kata-kata bijak yang dikirimkan oleh sdra Alexander Thaslim. Small steps are still progress.
Kata-kata itu gambaran diriku, yang masih harus banyak belajar...

Sungguh, aku berterimakasih pada keluarga,  semua teman, saudara, kerabat, dan semua orang yang kukenal,  yang pernah hadir di hidupku.
Keberadaan kalian semua turut membentukku menjadi seperti hari ini.
Terimakasih.
Aku pun akan terus belajar membangun dan memperbaiki diriku...dengan semangat optimisme seperti lirik yang ada di lagu Forever Young...

Kota Baru, Sabtu, 6 September 2025, pk 15.06.











 




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kedatangan Nova

reuni ke 40 tahun

Terus Bergerak