ibu intan

Mengenang Ibu Susiani Intan
Guru yang menunjukkan jalan bagiku...


Dalam perjalanan hidupku yg sudah memasuki usia ke 59 tahun ini, banyak bertemu dan berinteraksi dengan berbagai macam orang.
Salah satunya , Ibu Susiani Intan. Guru agamaku semasa duduk di bangku SMA. 

Ibu Intan punya tempat khusus di hatiku. Bagiku, beliau sosok yg banyak menginspirasiku, mendorongku untuk selalu belajar mengembangkan diri.

Berperawakan jangkung, mengenakan kaca mata dengan bingkai putih, berkulit terang, kuning langsat, berhidung mancung, dengan rambut keriting sebahu. Setiap hari mengenderai motor bebek warna merah ke sekolah.

Kulit wajahnya sangat bersih. Bercahaya. Suaranya halus. Bibirnya selalu menebarkan senyum. Aku pernah berpikir, apakah beliau perwujudan dari seorang bodhisatva, seperti yang ada di buku-buku itu?
Aku benar-benar terkesan. Aku merasa menemukan sosok panutan yg nyata, tidak sekedar tokoh cerita protagonis di buku-buku cerita dongeng yg pernah kubaca.

Dari beliau, untuk pertama kalinya aku belajar tentang hukum karma dan sebab akibat yang saling bergantungan. Malu berbuat jahat, dan takut untuk menerima akibat dari perbuatan jahat itu. Hiri dan ottapa.
Dari sini, rasa ingin tahuku untuk mendalami Buddha Dharma kian tergali. Dan, beliau dengan sabar mengajariku...

Beliau juga yg menyarankan untuk mulai mengisi waktu dan menambah uang saku, dengan memberi les-lesan pada anak-anak SD. Beliau membantuku dengan memberi lima orang murid padaku. Belakangan berkembang, menjadi dua sesi. Siang, pukul 15-17, dan malam pukul 19-21.

Untuk belajar dan mengerjakan tugas-tugas sekolahku sendiri, aku lakukan di pagi hari. Aku bangun pukul 4, masih dalam kondisi terkantuk-kantuk. Kadang aku merendam kakiku dengan air dingin untuk melawan rasa kantukku itu.

Aku merasa harus belajar lebih keras untuk mengejar banyak ketertinggalan.  Aku tidak sepintar teman-teman lain. Aku hanya berusaha menutupi kekuranganku dengan rajin mencatat, dan menyimak penjelasan guru.

Sejak SMP, aku bersekolah di kotamadya Tanjung Balai Asahan. Aku dititipkan tinggal di rumah keluarga pamanku.
Terimakasih paman dan bibi, yang sudah berbaik hati memberi tempat bernaung selama 6 tahun, sehingga aku bisa menyelesaikan pendidikanku sampai SMA.
Semoga kebajikan yg kalian tabur, akan menghasilkan berkah yang berlimpah untuk kalian dan turunan-turunan selanjutnya.
Tanpa kebaikan kalian, mungkin tidak akan ada aku seperti hari ini.
Sekali lagi, terimakasih banyak...

Saat aku flash back dan merenung, mengingat fase demi fase yg sudah kulewati, aku  hanya bisa mengucap syukur. Bersyukur, karena di sepanjang perjalanan hidupku, aku banyak bertemu dengan orang-orang baik. 

Apapun adanya aku hari ini, aku tetap mensyukuri porsiku. Jalan karmaku. 
Aku lahir dan mewarisi karmaku sendiri. Baik, maupun buruk.
Karena itu, tidak ada yg perlu aku sesali. Tidak ada yg perlu kusembunyikan pula. 

Aku tidak pernah malu untuk mengakui, kalau aku lahir dari keluarga sederhana, di sebuah kampung kecil, yang jalannya becek berlumpur saat musim hujan datang, dan gersang,  berdebu tebal, saat musim kemarau... Kami tinggal dengan kakek dan nenek dari pihak ibu. Mereka petani kebun sayur. 

Aku berproses dan dibentuk dari latar belakang yg seperti itu. Meski lahir dan besar di kampung, kami tak kekurangan makan. Hasil kebun dan ternak cukup untuk mendukung kehidupan kami. Alam sekitar menyediakan. Sungai banyak ikannya. Juga, burung dan tumbuhan liar yg bisa dikonsumsi. Bisa dengan mudah didapat. Cukup menebarkan jala atau memasang bubu bambu, maka ikan gabus, sepat, dll, tersaji sebagai lauk. Atau meramban di sawah, dan memetik sayuran di kebun sendiri. Kakek dan nenek, dibantu Abang sepupuku, mengurus kebun. Mereka rajin sekali. 

Kakek dan nenek menyayangi kami sepenuh hati. Aku dan kakakku diperlakukan seperti puteri. Hidup tenang, berkelimpahan kasih sayang. Hanya, uang kami terbatas. Karena hasil pertanian dihargai sangat murah saat itu. 

Keadaan ini membuat aku mulai berpikir...
Meski saat itu aku masih seorang bocah yang duduk di kelas 5 SD.
Sampai kapan kami akan menjalani hidup seperti ini? Apa harus menerima dan menjalani semua dengan apa adanya? Apakah aku kelak bisa meraih cita-citaku?

Berbagai macam pertanyaan datang silih berganti, memenuhi benakku. Tak satu pun bisa kujawab...

Saat itu, aku suka menghabiskan senja, memandang ke cakrawala. Duduk berayun-ayun di dahan pohon belimbing yg tumbuh di depan rumah kami. Imajinasiku mengembara seperti awan berarak yg ditiup angin, di antara langit jingga keemasan...

Memanjat pohon belimbing itu merupakan kenangan tak terlupakan bagiku. Bahkan sampai setua ini. Di sanalah, aku mulai merajut angan, sembari merasakan lembutnya hembusan angin saat menyentuh pipiku, dan menerbangkan anak rambut yg memenuhi keningku. 
 
Dan, seiring waktu, aku sampai pada satu pemahaman baru, bahwa karma itu bisa dirubah. Asal mau berusaha. Seperti kata pepatah, di mana ada kemauan, di situ ada jalan...
Di situ, harapanku mulai muncul.

"Baik buruk ditentukan tekad diri sendiri, bukan oleh asal usul keturunanmu," demikian yg sering disampaikan oleh ibu Intan padaku. Mungkin beliau iba melihatku, yg selalu datang padanya dengan membawa begitu banyak tanya. Mungkin juga beliau bermaksud membesarkan hatiku, agar tetap semangat dan percaya diri.

Keyakinanku kian diperteguh saat aku baca buku tentang Liao Fan. Kutanamkan baik-baik dalam benakku, baik buruk, diri sendiri yang tentukan. Pikiran adalah pelopor...

Saat kelulusan SMA, di luar dugaan, aku diterima di UNPAD Bandung, di Fakultas Ilmu Komunikasi, jurusan Ilmu Jurnalistik, lewat jalur PMDK.

Aku tidak tau harus sedih atau gembira mendapat berita tersebut.
Sebab, dari jauh-jauh hari, ayahku sudah mengatakan, tak sanggup menguliahkanku ke Medan. Apalagi ini ke Bandung... Sebagai anak, aku pun paham dengan kondisi finansial keluarga kami. Selain itu, adikku juga banyak. Ada 5 orang, dan mereka laki-laki semua. Aku tak boleh egois, hanya memikirkan diri sendiri. Adik-adikku pun berhak mendapatkan pendidikan yg baik. Jangan karena aku, sekolah adik-adikku jadi terlantar...

Saat itu, hatiku berkecamuk. Aku merasa gundah. Aku harus mengubur dalam-dalam semua mimpiku. Akhirnya aku putuskan, tak lanjut kuliah pun tak apa-apa. Aku masih bisa terus mengajar anak-anak SD. 

Namun, aku menjadi goyah kembali. Saat ada yg datang melamar. Dari dua orang berbeda. Yg satu dari sahabat penaku. Tapi yg ini langsung ditolak oleh ayahku. Ayah bahkan tidak bersedia menemui keluarganya saat datang ke rumah. Hanya ibu yg menemui mereka.
Yg satu lagi, ayah tampaknya suka. Karena latar belakang keluarganya terbilang baik. Ayah sempat menanyakan pendapatku. Saat itu, aku menolak. Aku tak ingin menikah muda. Kami tidak saling kenal. Bahkan usianya 15 tahun di atasku. Aku benar-benar tidak siap...
Ayahku mengerti, dan tidak memaksa.

Aku berpikir, lambat atau cepat, aku pasti akan menikah, kalau tidak cepat-cepat keluar dari Tanjung Balai...

Dalam kebingungan itu, aku datang dan bercerita pada ibu Intan. Aku ceritakan semuanya...
Saat itu beliau bertanya: "Sebenarnya kau ingin kuliah kan?" Aku mengangguk cepat, mengiyakan. Beliau terdiam sejenak, lalu menarik tanganku.
"Ayo, kita temui ayahmu sekarang..." Ujarnya cepat, dan menyalakan mesin motor.

Seperti dugaanku, ayahku tetap bersikukuh tidak memberi izin. Dengan berbagai macam argumen, dan ungkapan kekhawatirannya melepas anak gadisnya untuk pergi merantau di tempat asing, di mana di sana tidak ada sanak saudara, yang bisa turut mengawasiku nanti.
Aku paham situasinya. Aku tak berani membantah, hanya bisa diam. Dengan perasaan yg sulit untuk dilukiskan. Apa yg bisa kulakukan? Aku benar-benar merasa tak berdaya saat itu. Pasrah. 

Ibu Intan tidak menyerah. Beberapa hari kemudian mengajakku kembali menemui ayahku, di Teluk Nibung, di sebuah pabrik minyak goreng , tempat ayahku bekerja kala itu...

Seperti yg sudah kuduga. Ayahku tetap tak memberikan izinnya. Aku hanya bisa diam. Tapi tak bisa kupungkiri, ada kesedihan yg mendalam di hatiku.
Ingin membantah, tapi aku tak punya keberanian untuk melakukannya. Kata-kata ayahku bagaikan sabda seorang raja yg tak bisa dibantah. Aku tak bisa berbuat apa-apa.

Terjadi pergulatan bathin yg hebat dalam diriku. Antara mematuhi kehendak orangtuaku, dan keinginanku sendiri untuk melanjutkan pendidikan. Aku benar-benar merasa lelah.

Aku putus asa saat itu. Semua harapanku sirna. Tubuhku lemas. Mulut terasa pahit. Tidak nafsu makan sama sekali.
Aku terbaring. Dan hanya diam. Tak berkata apa-apa. 

Selama bersekolah di Tanjung Balai dan hidup menumpang di rumah pamanku, aku tidak pernah sakit. Betapa Semesta melindungi dan menjagaku dengan sedemikian rupa. Sejauh yg bisa kuingat, inilah kali pertama, aku jatuh sakit, dan boleh dibilang, lumayan serius. Panas tinggi. Demam tak turun-turun. Bahkan, aku tak sanggup bangun dari tempat tidur selama berhari-hari...

Melihat keadaanku yang diam membisu, hati ayahku tergugah, mulai melunak. Hingga akhirnya, menyerah. Ayah mengizinkan aku ke Bandung, asal aku sembuh.
Terimakasih Semesta...
Cara kerja hukum alam itu sungguh tak terduga. Bahkan kadang di luar jangkauan nalar manusia...
Aku hanya bisa mengucap syukur dan cepat-cepat menyampaikan berita ini pada ibu Intan.

Lalu, ibu intan mulai bergerak. Menghubungi Bhante Arya Maitry yg kala itu menetap di vihara Borobudur Medan. Beliau asli orang Bandung.
Bhante mengatakan bahwa, adiknya juga, Ananda Salim, kuliah di fakultas yg sama. Hanya beda angkatan dan jurusan. Miracle!

Begitulah, akhirnya, aku, si gadis kampung yg culun itu, bisa berangkat ke Bandung...

Ayahku berpesan, kalau aku merasa tidak betah, aku bisa pulang kapan saja. Jangan terlalu keras pada diri sendiri. Aku tak perlu membuktikan apa-apa. Ayah tidak akan marah. 

Setahun kemudian, saat pulkam, aku menemui ibu Intan. Menceritakan pengalamanku sebagai mahasiswa perantau di Bandung.
Ibu Intan hanya berpesan, untuk menjaga diri baik-baik.

Aku pun sempat bertemu beberapa kali dengan beliau. Termasuk memperkenalkan suami, kakak dan adik-adikku pada beliau. Terakhir, menjenguk beliau sakit, ditemani putri bungsuku.

Beliau masih bisa mengingatku dengan baik. Selama kami bercakap-cakap, tangannya terus menggenggam tanganku.

Ibu, terimakasih untuk semua kebaikanmu. Terimakasih untuk semua dukungan mu, sehingga aku punya keberanian untuk memperjuangkan cita-citaku.
Aku akan selalu mengenangmu. Kau pahlawan dalam hidupku.
Semoga Ibu terlahir di alam yg berbahagia. Tri Ratna selalu menyertai Ibu, di mana pun Ibu berada.
Saddhu, saddhu, saddhu...!



Kota Baru, Kab.Karawang, Selasa, tanggal 27 Mei 2025,
Pukul 11.41.
Oleh : Ratnavati (Lim Ho Lian).











Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kedatangan Nova

Ujian Sekolah

Akhirnya, Menerima...