Kisahku
Kota Baru, Kamis, 16 Desember 2021 (Pkl 21:31).
Sesorean ini hujan turun deras sekali. Suasana hatiku sedang tidak baik. Aku merasa buruk sekali. Tapi aku berusaha menepis semua kesedihan itu. Tidak. Aku tak boleh lemah. Aku percaya, besok, semua akan baik-baik saja. Banyak hal yang bisa kukerjakan. Mungkin, hari ini bukan hari keberuntunganku.
Begitulah. Saat pikiran-pikiran negatif menghampiri, aku selalu coba untuk menetralisirnya kembali. Menghibur dan menguatkan diri sendiri.
Aku tak ingin berlama-lama membiarkan diriku terjebak dalam keresahan yang tak berujung. Lebih baik aku membaca untuk mengalihkan semua rasa tidak nyaman itu. Aku segera bangkit dari tempat dudukku. Lalu mengambil sebuah novel. Tulisan temanku, Mustofa Najib, yang bercerita tentang perjuangan para perantau dari Hadhramaut Yaman Selatan berlayar ke tanah Jawa, demi sebuah kehidupan yang lebih baik. Aku baca ditemani camilan kerupuk ikan tenggiri, kiriman dari Wiwied teman kuliah sejurusan dulu, yang sekarang tinggal di Bangka. Sukro dua bungkus yang dibelikan anak keduaku sudah habis. Aku malas keluar. Jalan ke depan sangat becek dan licin.
Kisah yang ditulis Mus itu mirip-mirip dengan kisah perjalanan hidupku sendiri. Meski tidak sedramatis dengan kisah yang ada di dalam novel itu. Hanya pada beberapa bagian.
Aku pun merantau dari Sumut ke Jabar demi mendapatkan sebuah masa depan yang lebih baik. Mencoba mengubah jalan karmaku.
Aku lahir di sebuah kampung di Kabupaten Asahan, tepatnya pada 21 Mei 1966, sebagai anak kedua dari tujuh bersaudara. Aku dan kakak tertuaku, perempuan, sedangkan ke lima orang adikku, laki-laki semua.
Di rumah itu kami tinggal sebagai keluarga besar. Ada kakek nenekku, saudara sepupu dan cucu-cucu dari kakak ibuku yang tinggal bersama kami. Ramai sekali. Semuanya ada 19 orang.
Kami selalu makan bersama di sebuah meja kayu berbentuk persegi panjang. Berhadap-hadapan. Bila salah satu anggota keluarga belum ada, maka acara makan tidak akan dimulai. Nenekku yang rajin mengabsen dan membagi makanan pada semua cucunya secara merata. Tanpa disadari, kebiasaan itu telah mengajarkanku tentang arti kebersamaan dan keadilan. Sejak dini.
Setelah semua mendapatkan bagiannya, kami baru boleh mulai makan. Diawali dengan nenekku yang melakukan suapan pertama. Lalu kami semua mengikuti. Aku suka suasana di meja makan itu. Bahkan, sampai sekarang pun aku masih selalu merindukannya. Terlebih saat hatiku sedang gundah.
Dulu, meski hidup di kampung serba terbatas, tapi semua terasa indah dan nyaman. Saling mengasihi. Ikatan sebagai keluarga begitu kental. Bahkan saat imlek, kami memakai baju yang sama pula. Seragam. Mungkin itu yang dinamakan perasaan sepenanggungan. Kami bisa tertawa lepas. Tak ada beban. Meja makan menjadi satu-satunya tempat kami berkumpul dan bertukar cerita. Saat itu televisi masih hitam putih. Listrik belum nyala 24 jam. Dibatasi dari pukul enam sore sampai pukul enam pagi saja. Itu sudah lebih bagus. Sebelumnya, saat listrik belum ada, kami menggunakan lampu petromaks dan lampu teplok. Menyalakan tv menggunakan tenaga aki. Tak jarang, lagi seru-serunya menonton, akinya habis. Harus sabar menunggu lagi. Dicas dulu. Ditaroh di tukang aki, bisa makan waktu sampai dua hari. Banyak yang antri. Yah, begitulah kehidupanku di kampung dulu...
Aku masih ingat, buku pelajaran sekolah pun bisa digunakan secara "turun temurun". Sampai-sampai sampul bagian depannya hilang entah ke mana. Tidak seperti sekarang. Tiap tahun ajaran ganti buku pegangannya. Saat itu buku bacaan sangat minim.
Untuk memenuhi hobi bacaku, aku sering bongkar-bongkar buku cerita silat koleksi ayahku. Atau buku-buku cerita yang dihadiahkan ayahku pada ibuku. Kebanyakan novel klasik. Karangan Sutan Takdir Alisyahbana. Padahal, aku tak paham alur ceritanya. Belum lagi tata bahasanya yang memusingkan itu. Tapi aku tetap membacanya untuk membunuh kebosanan. Sekolahku juga sering dapat kiriman buku-buku cerita dongeng dari pusat. Dulu aku sekolah di sebuah SDN yang terletak di ibu kota kecamatan. Setiap hari pulang dan pergi sekolah jalan kaki sekitar 2 km. Setelah kelas empat, ayah membelikan sepeda untukku dan kakakku. Kami ke sekolah dengan membonceng adik-adik kami.
Di sekolah itu, dari kepala sekolah sampai guru-guru, semuanya perempuan. Aku sempat mengalami dua tahun bebas uang sekolah. Free. Semua ditanggung pemerintah. Saat itu sedang digalakkan program pemberantasan buta huruf, pemerataan akses pendidikan, dan peningkatan mutu SDM di seluruh pelosok negeri, yang dikenal dengan sebutan Pelita (Pembangunan Lima Tahun).
Kakek nenekku petani. Menanam beraneka jenis sayuran. Juga menanam padi dan jagung. Ayahku bekerja di kota, di pabrik minyak goreng, di mana abang tertuanya sebagai salah satu pemegang saham terbesar di situ. Ibuku mengurus pekerjaan rumah tangga. Selisih umur kami bertujuh tidak terpaut jauh. Hanya dalam kisaran dua atau tiga tahun. Menjadi ibu dari tujuh orang anak, tentu membutuhkan energi lebih.
Bagiku, masa kecilku itu merupakan masa yang paling membahagiakan. Kakek dan nenek sangat menyayangi kami. Aku dan kakakku diperlakukan seperti seorang puteri. Aku masih belum bisa melupakan saat-saat di mana aku disuapi oleh nenekku. Tidur dikipas-kipasi. Rambut diminyaki dan disisiri. Untuk kemudian diusap-usap. Sangat sayang dan sabar. Nenekku benar-benar perempuan yang sangat luar biasa. Tidak hanya penyayang, tapi piawai mengatur segala sesuatunya. Pekerja keras juga. Tubuhnya kecil, jalannya gesit. Bersama kakek, bahu membahu mengurus kebun. Aku belum pernah mendengar dia mengeluh. Kami sering dipanggil untuk mencabuti uban atau sekedar memijit-mijit pundaknya. Di teras depan. Bergantian. Setelah itu, kami akan diberi sedikit uang jajan. Cukup untuk membeli opak, cenil atau tape singkong sebungkus. Senangnya bukan kepalang.
Saat SMP dan SMA, aku bersekolah di kota. Sebenarnya hatiku berat. Awal-awal berpisah dengan keluarga di kampung, aku sering menangis diam-diam. Terlebih saat malam menjelang tidur. Aku kangen pada nenek dan suasana meriah di rumah. Tapi ibu dan nenekku terus menyemangati. Lama-lama aku terbiasa juga.
Sejak SD aku sangat suka sama pelajaran Bahasa Indonesia. Setelah SMP, aku pun menyukai Bahasa Inggeris. Itu dua mata pelajaran favoritku.
Saat SMP aku rajin menulis buku harian. Di situ aku suka menumpahkan semua perasaanku, termasuk harapan dan cita-citaku. Aku juga mulai coba-coba kirim puisi dan cerpen ke rubrik Taman Riang dan Ruang Remaja Harian Analisa, sebuah surat kabar yang terbit di Medan. Dan sampai sekarang, masih tetap eksis, bertahan di tengah derasnya arus informasi media digital. Aku masih ingat betapa Pak Sitanggang guru Bahasa Indonesiaku, dan Pak Abdul Halim Sirait, Wakasek di SMA-ku, begitu senang saat tulisanku dimuat. Mereka selalu mengumumkannya. Sehingga teman-teman menjadi tau. Memang, aku selalu mencantumkan nama sekolahku di setiap akhir tulisan.
Di sekolah aku biasa-biasa saja. Secara umum bisa mengikuti.
Saat SMA, aku mulai sibuk memberi les anak-anak SD, untuk tambahan uang saku dan ditabung. Lao Shi-ku, Ibu Susiani Intan, yang membukakan jalan. Awalnya, aku diberi lima orang murid SD. Belakangan bertambah, sehingga jadi dua sesi. Upah yang kudapat dari mengajari anak-anak itu, semuanya kutabung. Aku punya rencana sendiri untuk masa depanku. Dan itu harus dipersiapkan sejak jauh-jauh hari. Aku ingin kuliah. Meski ayahku sudah sejak jauh-jauh hari mengatakan, cukup sampai tamat SMA saja.
Meski jadwalku padat, aku berusaha bertanggung jawab pada kewajibanku. Aku tak ingin mengecewakan harapan orangtua. Karenanya, aku rajin mencatat dan selalu mengerjakan tugas-tugas yang diberikan guru. Teman-teman selalu meminjam catatanku. Dari SD, SMP, sampai SMA, hampir semua guru sayang padaku. Mungkin aku murid yang penurut. Tak suka bikin onar. Sampai sekarang, masih punya beberapa teman baik yang tetap setia, sama-sama menua dan saling mendukung, meski tempat tinggal kami berpencar. Aku bersyukur banget.
Padahal, saat SMA aku benar-benar sibuk. Tidak ada waktu untuk main atau sekedar kumpul-kumpul.
Kuliah merupakan hal yang tadinya tak berani kuimpikan. Kondisi ekonomi orangtua dan tradisi pernikahan dini di kampungku, nyaris mengubur impianku itu. Tapi ternyata, alam begitu baik padaku. Aku mendapat kesempatan kuliah lewat jalur PMDK di Fikom Unpad, dengan biaya yang masih relatif murah dan terjangkau.
Aku berangkat dengan membawa cita-cita setinggi gunung mahameru.
Sebagai gadis muda yang baru datang dari kampung, awal-awal kuliah di Bandung membuatku tergagap-gagap menjalaninya. Banyak air mata yang tertumpah. Tapi aku harus bisa bertahan. Ini pilihanku. Aku berangkat karena kemauanku sendiri.
Selama menjadi mahasiswa, aku pun biasa-biasa saja. Yang penting semua matkul bisa selesai. Aku ingin bisa cepat lulus.
Di kampus, entah sejak kapan dan seperti apa awalnya, aku sendiri tidak tau. Aku menyukai salah seorang teman sekampusku. Mungkin karena ada perasaan senasib. Kami sama-sama mahasiswa perantau.
Kami cukup dekat. Dia baik dan penuh perhatian. Walau terkadang sangat menjengkelkan. Suka jahil, menggodaku.
Namun, aku tak pernah bisa lama-lama marah padanya. Kehadirannya membuat hari-hariku di Bandung terasa menjadi lebih menyenangkan. Ke kampus tidak lagi menjadi beban. Kami pun banyak menghabiskan waktu bersama, berjalan berdua menyusuri kota Bandung. Dia tidak banyak bicara. Hanya sering memandangiku, lalu menghela napas dalam-dalam, untuk kemudian mengepul-ngepulkan asap rokoknya. Dia memang sangat menjagaku. Sampai kami berpisah pun, dia belum pernah menyentuh tanganku.
Sehari menjelang dia wisuda, aku datang ke kosnya. Di daerah Surapati. Aku ingin memastikan apakah dia butuh sesuatu. Aku menunggu lama sekali di bawah. Dia baru muncul setengah jam kemudian dengan rambut masih basah. Kemudian kami jalan-jalan. Menyusuri Jl. Braga dan sekitarnya. Hampir setengah hari kami berputar-putar. Seperti biasa, dia hanya memandangiku, lekat-lekat. Lalu tertawa kecil. Kami tidak banyak bicara. Hanya saling berpandang-pandangan. Senyumnya begitu menyejukkan. Aku merasa nyaman ada di dekatnya.
Karena skripsiku jalan di tempat, aku memilih pulang kampung dulu. Nenekku yang sudah tua, sakit. Tidak kuat berjalan lagi. Tubuhnya kurus sekali. Tapi nenekku tidak pikun. Daya ingatnya masih bagus.
Aku menggendong nenek dan memandikannya. Tubuhnya ringan sekali. Rambutnya kukeramasi. Sama seperti yang dia lakukan padaku dulu. Setelah itu, nenek kujemur. Nenek tampak senang dan bangga. Tanganku dielus-elusnya dengan sayang. "Apakah Emak akan sempat melihatmu menikah, sayang?" Nenekku bertanya lirih. "Pasti sempetlah Mak. Makanya Emak harus sehat. Makan yang banyak...." Nenekku mengangguk-angguk. Ada binar harapan di matanya. "Mak, doain aku ya. Biar skripsiku lancar. Dapat jodoh yang baik." Aku mengatakan itu dengan perasaan bergemuruh. Campur aduk.
"Iya. Pastilah. Emak selalu mendoakan yang terbaik untukmu."
Setelah kondisi nenekku membaik, aku balik ke Bandung lagi untuk menyelesaikan skripsi. Hampir sebulan aku di kampung. Akhirnya aku memutuskan untuk berhenti kerja. Dan memilih sebagai part timer di sebuah percetakan. Mengedit naskah-naskah terjemahan yang akan dibukukan. Aku ingin fokus mengerjakan skripsi.
Hari itu aku ke kampus. Bermaksud untuk bimbingan. Sekalian memberi ucapan selamat ulang tahun pada seseorang. Aku pun ingin memberitahunya kalau dua hari lagi ulang tahunku. Aku ingin mentraktirnya. Tapi ternyata, di kampus aku melihat pemandangan yang sangat menyakitkan. Kursi kayu coklat panjang di depan jurusan, jadi saksi. Mereka bercanda dan tertawa sedemikian mesranya. Sehingga kehadiranku pun tidak mereka sadari. Aku bisa melihat dengan jelas pengkhianatannya. Aku benar-benar shock. Tapi aku berusaha bersikap sewajar dan setegar mungkin. Aku tetap menyapa mereka. Semudah itukah dia berpaling dan melupakan aku? Hanya sebulan aku menghilang, tidak muncul di kampus. Dia sudah berubah. Secepat itu. Aku benar-benar benci padanya...!
Tidak sampai lima menit di kampus, aku langsung balik lagi. Bergegas menuju ke rumah Dina. Ternyata Dina sedang pulang ke Malang. Tanpa pikir panjang, aku menyusulnya hari itu juga. Naik bis malam. Dengan perasaan yang hancur lebur.
"Sudahlah. Lupakan dia..." Dina berkata bijak. Kata-kata dosen muda yang baik dan sekampung denganku seperti terngiang-ngiang kembali. "Kenapa tidak kau perjuangkan, Dek?" Aku diam saja. Aduh, apa yang harus kuperjuangkan? Jelas-jelas dia mengkhianatiku. Aku jadi mengerti sekarang. Ternyata ini jawaban dari sikap diamnya selama ini. Akhirnya aku menjadi paham...Tapi, mengapa dia tidak bicara terus terang saja padaku? Aku akan lebih bisa menerimanya. Kalau aku tidak cukup baik untuknya. Mengapa dia diam saja selama ini? Begitu banyak kesempatan untuk mengatakannya. Kami sering jalan berdua, ke luar masuk gang-gang sempit yang ada di Sekeloa. Apa yang dia lakukan padaku benar-benar menyakitkan...! Aku pikir karena kami beda keyakinan, sehingga dia selalu menahan diri untuk tidak bicara terus terang. Dia seorang penganut Katholik yang taat. Sedangkan aku dibesarkan dalam tradisi Buddhis yang kental.
Hari itu menjadi hari terakhir bagiku bertemu dengannya. Aku tak tau kelanjutan cerita tentang dirinya lagi. Kami sudah memilih jalan sendiri-sendiri.
Aku benar-benar terluka. Aku menganggap semua yang pernah ia ceritakan padaku itu hanya sebuah kebohongan. Aku tak bisa percaya lagi.
Dengan sisa-sisa asa yang masih kumiliki, aku coba terus mengerjakan skripsi. Aku tak mau dikeluarkan dari kampus hanya gara-gara patah hati. Apalagi karena pengkhianatan. Aku marah. Besar dorongan dari dalam diriku untuk membuktikan, tanpa dia, aku juga bisa bertahan. Di sisi lain, ada seorang pria yang tak pernah berhenti memperhatikanku. Dia seniorku di vihara. Di kemudian hari, aku menikah dengannya. Nenekku pun sempat bertemu dan memberi restu. Nenek meninggal saat aku sudah melahirkan anak pertamaku.
Selalu "jatuh cinta" membaca tulisan Ho Lian. Dan, sekarang aku paham, kenapa Ho yg rendah hati ini piawai menulis dengan susunan bahasa yg nyaris sempurna. Ternyata dia pernah bekerja sebagai editor di sebuah penerbitan.
BalasHapusPengalaman hidupnya layak dibaca dan pantas diceritakan. Thanks for sharing
Terimakasih Pak Haji Mustofa Najib untuk semua dukungannya. Merasa sangat tersanjung...😊
HapusSalam sehat n terus semangat berkarya ya Mus...👍🙇
Lelaki yg dianggap menghianati/berpaling, mungkin kurang PD untuk mengungkapkan isi hati/menyatakan. Bahasa anak sekarang, ngak berani nembak 😀. Jadinya keduluan wanita lain yg bisa mengarahkan. (Prasangka baik). Keren ceritanya, jadi pengen tau kelanjutannya.
BalasHapusHahaha.
HapusBisa jadi seperti itu ya...😄
Terimakasih sudah membaca...
Salam sehat selalu...👍🙇
Menarik ceritanya, ternyata ada yang mencintaimu dari kejauhan tapi tak terucap bila dekat. Apa jadinya bila salah satu dari keduanya secara eksplisit menyatakan isi hati?
BalasHapusYah, begitulah. Masih sama2 muda n lebih mengedepankan ego masing2. Saling cinta, tapi tak mau mengakuinya. Akhirnya, ambyar...😁
HapusTidak berjodoh...
Seru bacanya, kalimatnya mudah dipahami
BalasHapusTerimakasih ya...🙇🙇
BalasHapus