lupa mencatat


Tetap Semangat

Banyak hal yg sudah terjadi. Namun, aku belum sempat mencatatnya. Juli, Agustus merupakan bulan yg sangat sibuk. Aku disibukkan dengan belajar, sekaligus membantu aktivitas kerja anak ketigaku. 

Kini, hari-hariku terasa dikejar-kejar deadline. Aku mulai memperhatikan peralihan waktu, dari jam ke jam. Mulai merasakan cepatnya waktu berlalu. Mulai pukul 14.00, pengiriman paket sesi pertama, disusul sesi kedua pada pukul 19.00, dan berakhir pada pukul 23.00...
Begitulah rutinitasku setiap hari.

Aku mulai belajar mengatur waktu, bagaimana packing barang yang cepat dan tepat, agar jam pengiriman tidak terlewat, dan anakku tak sampai harus kena pinalti. Harus mulai membiasakan diri mengikuti sistem dan ritme kerja yang berlaku.

Sudah setengah tahun ini, tepatnya sejak bulan Maret 2025, anak ketigaku banting stir, berhenti kerja, dan mulai jualan on line. Sebagai ibu, aku mengerahkan segala daya upayaku, untuk mendukungnya...

Keputusan ini diambil setelah melalui banyak pertimbangan dan diskusi yg panjang, baik dengan kakak-kakaknya maupun dengan diriku, sebelum melangkah lebih jauh.. Memang tak mudah. Karena kita tau seperti apa kondisi finansial kita sesungguhnya. Sangat terbatas. Pas-pasan. Kita tak punya dana cadangan yang bisa digunakan sewaktu-waktu, sebagai jaring pengaman, bila hal buruk terjadi. Seperti salah perhitungan, dan gagal... 

Kami tak bisa berharap pada siapa-siapa. Hanya bisa berharap dan mengandalkan diri sendiri. Berusaha melakukan yang terbaik yang kita bisa. Kami pun mengerti. Tiap orang punya masalah dan tantangan hidup sendiri. Ditambah kondisi perekonomian secara global yang tidak baik-baik saja. Aku tak ingin menyalahkan keadaan. Cukup menyadari dan  mensyukuri porsi diri sendiri.

"Kalau aku berhenti kerja, Mama keberatan nggak?" Itu kalimat pertama yg ia lontarkan padaku. Aku diam sejenak. Berpikir... 
Jawaban apa yang sebaiknya kuberikan. Dalam situasi seperti ini, memang harus ekstra hati-hati. Harus mempertimbangkan dari berbagai sisi.

"Kalau kamu sudah yakin dengan keputusanmu, ya Mama setuju-setuju aja. Toh kamu yang akan menjalani. Yang penting, kamu merasa nyaman. Mama hanya bisa bantu doa," ujarku. Berusaha membesarkan hatinya. Aku ingin dia tau, sebagai ibu, aku akan selalu mendukungnya, apa pun keputusannya, selagi itu positif.

"Ya, keluar aja, kalau dirasa  gaji yang didapat tak sesuai dengan effort yang sudah dikeluarkan. Sudah cukuplah  pengalaman kerja 3 tahun lebih. Sudah tau rasanya gimana kerja sama orang lain. Mumpung masih muda, belum berkeluarga. Lebih cepat mulai, lebih baik. Meski kecil-kecilan. Belum ada tanggungan. Single. Resiko ditanggung sendiri, nggak harus mikir anak isteri segala. Kata orang-orangtua dulu juga, lebih baik jadi kepala ular, daripada jadi ekor naga. Kalau usaha sendiri, ritme kerja  dan waktu lebih fleksibel. Kita yang atur. Awal-awal pasti capek banget. Karena harus membangun fondasi." Kakak keduanya menimpali. Panjang lebar. Coba kasih masukan dari sudut pandang yang berbeda.

"Seapes-apesnya, andai sampai gagal sekali pun, kamu nggak akan nganggur total. Toh kamu masih bantu kerjaan kami. Tetap ada pemasukan, meski tak banyak. Skenario terburuknya, nggak sampe nggak bisa makanlah..." Kakak sulungnya turut menyemangati dan meyakinkannya.
Adik keempat n kelima, hanya diam menyimak.

"Dengan balik ke rumah, setidaknya Mama ada teman, pikiran Mama pun jadi tenang, ada yang menemani, dan mengayomi. Kamu pun tak perlu pusing mikirin biaya kontrakan. Bayar kontrakan merupakan salah satu komponen yang cukup memberatkan bagi orang yang baru mulai usaha..." Aku coba menawarkan pendapat dari sudut pandang seorang ibu.

"Kau bisa kerja , sekaligus punya kesempatan untuk berbakti pada Mama lho..." ujarku sungguh-sungguh.

Tidak bisa dipungkiri, aku semakin menua, reflek melemah, respon melambat, pandangan dan pendengaran juga sudah jauh berkurang. Bila ada ular, musang atau biawak yang melintas, hatiku sudah tak setegar dulu. Bila anjing-anjingku menggonggong di malam hari, aku tak bisa secepat dulu bangun, dan siap siaga mencari potongan pipa besi, untuk berjaga-jaga. Sekarang jadi gampang kagetan.
Yah, begitulah. Semua mulai melapuk.

Akhirnya, setelah menimbang-nimbang baik buruknya, akhirnya dia putuskan untuk berhenti kerja, menetap di Cikampek, dan mulai buka olshop. Dengan modal tabungan selama 3 tahun lebih dia bekerja.
Dalam hati aku berdoa, semoga Semesta merestui niat anakku ini.

Aku membantu sebisaku.
Dimulai dari hal termudah. Menggunting-gunting. Dilanjutkan dengan belajar membaca resi, picking dan packing.

Setelah menjalaninya, aku baru mengerti, bahwa packing, yang tampak seperti pekerjaan mudah, ternyata rumit juga. Tidak sesederhana yang aku pikirkan selama ini.

Tantangan datang silih berganti.
Ada saja paket yang dikembalikan. Bisa karena alamat tak ditemukan, yang order tidak ada di tempat, dan di luar prediksi dan ekspektasi kita,  selalu ada aja  customer yang menguji kesabaran,  tidak mau bayar paket yang dia pesan sendiri. COD.  Belum lagi review yang jelek, yang  dapat menurunkan rating. Selain itu, ada tantangan cuaca. Banjir, hujan, tetap harus ditempuh. Paket harus tetap dikirim. Pembeli mana mau tau. Kalau pesanan telat, bisa dikomplen. Dan di kolom review dikasih bintang satu...

Aku selalu berusaha membesarkan hati anakku, agar dia tidak menyerah, dan patah semangat.

"Memang nggak mudah cari uang itu. Di sini yang diuji, bukan hanya kemampuan inovasi n kreativitasmu. Mama lebih melihatnya sebagai uji kesabaran, kegigihan, n keteguhan hatimu dalam menjalani semua ini. Kalau kau tidak sabar, tidak tekun, ya ambyar semuanya." Dia menghela nafas dalam-dalam. Tak mengucapkan sepatah kata. Namun, raut wajahnya tampak kusut. Tak ada senyum. 

Aku selalu percaya, tidak ada usaha yang sia-sia, bila dilakukan dengan sungguh-sungguh. Hanya masalah waktu. Cepat atau lambat. Disitulah, kesabaran n keteguhan hati kita diuji. Sampai seberapa jauh kita bisa bertahan. 
Aku pun selalu bilang ke anakku, tidak ada yang instan. Semua berproses.
Tak usah malu, meski yang kita kumpulkan hanya kepingan-kepingan uang receh. Harus bangga pada diri sendiri, sekecil apa pun usaha yang kita mulai rintis. Bukan hanya kita yang berjuang. Bukan hanya kita yang capek. Di luaran sana juga, banyak orang yang berjuang juga.Sama capeknya seperti kita...

Seorang ibu memang selalu begitu. Yang ada di pikirannya, selalu untuk kebaikan anak-anaknya. Hatinya selalu dipenuhi harapan dan doa untuk anak-anaknya. Semoga semua sehat, bahagia, kuat, sabar dan berhati luas, seluas samudera...

Semoga Semesta memberkahi. 
Aku selalu percaya...
Di mana ada kemauan, di situ pasti ada jalan...
Tidak ada yang sia-sia, bila dilakukan dengan sepenuh hati.

Semangattt...

Kota Baru, Sabtu, 23 Agustus 2025, pk 10.06.







Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kedatangan Nova

Ujian Sekolah

Temu Kangen