reuni ke 40 tahun
Arief
Hampir 40 tahun. Waktu cepat sekali berlalu...
Aku berangkat naik travel. Ditemani anak perempuanku yang bungsu. Aku datang agak telat. Kondisi kesehatan sedang tidak baik. Jadi, aku tak ingin memaksakan diri untuk buru-buru. Aku pun harus bijak memperlakukan tubuh jasmaniku sendiri. Harus mulai sadar usia. Yah, sekarang aku bukan gadis remaja lagi. Yang bisa menerjang lebatnya hujan dan kencangnya angin tanpa pikir panjang.
Sebelum acara reuni berlangsung, komunikasi di grup induk dan jurusan angkatan kami sedemikian intensnya.
Saling bersahut-sahutan. Ramai sekali.
Semua mengungkapkan kerinduannya...
Jauh-jauh hari aku sudah katakan di grup akan hadir. Memang sudah kuniatkan. Apalagi di tanggal tersebut bertepatan dengan hari ulang tahun Amie Amarie, teman sekontrakanku selama tiga tahun di Sekeloa dulu. Ada Tri, Wieda, Helly, Ira, dan teman-teman lain. Yang sudah rela menempuh perjalanan jauh demi untuk datang ke acara reuni. Cikampek masih terhitung dekat.
Aku pikir, mumpung masih diadakan di Bandung. Belum tentu di reuni-reuni berikutnya aku bisa hadir juga. Umur itu kan misteri. Aku hanya mencoba menghargai kesempatan yang ada, semampu yang aku bisa.
Menghargai kerja keras dan pengorbanan panitia, juga semua pihak yang terlibat dan mendukung, sehingga acara reuni bisa terselenggara dengan lancar dan sukses.
Selain itu, aku pun ingin bertemu teman-teman lama yang sudah puluhan tahun tidak bersua. Bagaimana kabar mereka, dan seperti apa mereka sekarang? Apakah sikapnya masih akan sama seperti saat kuliah dulu? Tetap ramah menyapa dan mau mengaku sebagai teman lama, atau dingin dan acuh? Aku sungguh penasaran...
Dari sekian banyak penggalan cerita saat reuni, aku dibuat terkesan dan terharu oleh seseorang. Arief Rahman. Si tinggi jangkung, berambut kriwil-kriwil, dan banyak jadi lirikan para mahasiswi kala itu. Termasuk adik-adik angkatan. Hahaha...
Dulu, aku suka mengamati satu per satu teman-temanku. Meski dari kejauhan. Biasanya dari lantai dua dan tiga kampus. Sehingga pandanganku bisa leluasa melihat gerak gerik mereka. Mulai keluar dari gang senggol, memasuki halaman kampus, pelataran parkir, sampai menuruni tangga, kemudian hilang dari pandangan, menuju selasar di lantai bawah.
Sedikit flash back ya. Waktu itu, sebagai mahasiswa dari ujung Sumut, Tionghoa, sejujurnya ya, ada perasaan minder yang selalu menghantui diriku. Aku melihat teman-temanku semua pintar. Supel, ceria. Bisa tertawa lepas. Seperti tak punya beban hidup.
Tak jarang, hatiku jadi ciut sendiri.
Dan memang, temanku tidak banyak. Dalam artian, yang sering ngobrol dan berinteraksi denganku sangat terbatas, bisa dihitung dengan jarilah.
Belakangan aku menyadari, masing-masing sibuk mengejar cita-citanya. Saat itu, kami pun masih sangat muda. Banyak hal yang belum kami pahami.
Matkul Pak Poespo saja sudah cukup membuat kami pusing. Belum lagi kalau bicara tentang keberlangsungan hidup di Bandung. Bagaimana kami dituntut untuk cermat mengatur keuangan, agar cukup dan bisa bertahan sampai akhir bulan. Kompleks memang. Jadi, bagaimana sempat untuk memikirkan hal lain?
Saat kuliah dulu, aku tidak pernah bersapaan sekali pun, dengan Arief. Apalagi ngobrol.
Mungkin, dia juga tidak kenal sama aku. Kelas selalu penuh dengan hampir tiga ratusan mahasiswa. Jadi wajar kalau kami tidak kenal semua teman ya, meski satu angkatan. Selain itu, kami pun hidup di dunia yang berbeda. Seperti langit dan bumi.
Setelah menikah dan menetap di Cikampek, aku hilang kontak dengan teman-teman. Wenny yang pertamakali mencari dan menemukanku. 10 tahun lalu. Didi yang nyemplungin aku masuk grup, dan Yoki orang pertama yang berhasil menarikku keluar. Bertemu teman-teman lama di dunia nyata. Begitulah, semua mengalir begitu saja...
Sedikit demi sedikit, aku mulai mengumpulkan ingatanku tentang masa lalu...
Sekeloa merupakan salah satu bab penting dalam perjalanan hidupku. Sekeloa turut membentuk dan mempengaruhi keberadaanku saat ini. Banyak yang aku dapat dan pelajari selama hidup di sana.
Tanjakan Sekeloa dan gang senggol menyiapkanku untuk menghadapi realita kehidupan yang sesungguhnya. Terimakasih Sekeloa, terimakasih Fikom...
Setelah terhubung kembali, banyak hal yang patut aku syukuri. Aku merasa diberkahi. Ada di antara teman-teman yang baik.
Aku jadi bisa belajar tentang banyak hal. Termasuk, menata dan membangun kepercayaan diriku kembali.
Terimakasih teman-teman, sudah bersikap baik padaku...
"Semua akan menjadi baik dan bijak pada waktunya. Kita pun sudah sama-sama menua." Kata seorang teman, yang selalu menyemangatiku. Agus Supriadi.
Setelah gabung di grup, aku ikut reuni untuk pertamakalinya di Dago No 4, 3 tahun lalu. Di sana ketemu sama Arief. Dia menawariku pulang bareng, dengan Agus Surahman juga. Aku terkejut, tapi tidak menolak kebaikannya itu.
Di perjalanan itu kami banyak terlibat dalam percakapan.
Ternyata dia orangnya baik, ramah dan terbuka. Benar seperti kata pepatah, tak kenal maka tak sayang...
Ada kalimat yang cukup mengejutkanku, yang ia ucapkan saat itu...
"Kalau waktu bisa diulang, saya ingin mengenal lebih dekat teman-teman kuliah dulu. Buku "Jejak Sekeloa" membuat saya menangis saat membacanya. Dulu saya nggak kepikiran, kalau ada dari teman-teman kita, yang untuk makan saja, sedemikian sulitnya..."
Aku tidak mengira, ternyata hati Arief selembut itu...
"Ya, semua orang berjuang, untuk sesuatu yang lebih baik..." ujarku. Aku berkata demikian, karena itulah alasan utamaku datang ke Bandung.
Reuni kali ini pun Arief mengajakku pulang bareng lagi.
"Nanti bareng saya saja, Ci. Pakai mobil anak saya. Agak ceper nggak apa-apa ya. Saya ke Bandung naik travel juga."
Kali ini, obrolan lebih cair. Ada Ani Nugroho juga. Aku suruh anakku turut menyimak obrolan kami. Agar dia bisa belajar juga.
Kali ini, aku pun bertanya lagi pada Arief. Kenapa dia mau repot-repot nganterin aku. Padahal kan dia bisa langsung bablas ke Jakarta?
Lagi-lagi jawabannya mengejutkanku.
"Ya apa salahnya nganterin teman sendiri. Paling juga selisih 15 menit atau setengah jam." Dia berkata dengan ringan, merasa tak terbebani.
"Doakan saya sehat terus, Ci. Pekerjaan lancar. Diperpanjang terus sama perusahaan. Sehingga saya bisa tetap menafkahi keluarga."
"Iya, berkah berlimpah..." Jawabku singkat.
"Kalau nanti ada reuni, dan saya masih diberi umur panjang, saya akan anterin Cici lagi. Harus rajin olah raga, supaya sehat ya Ci..." Aku tak mampu berkata-kata lagi. Dadaku dipenuhi oleh rasa haru.
Terimakasih orang baik.
Semoga Semesta akan selalu melindungimu dan keluarga...
Kota Baru, Senin, 10 Februari 2025, pk 15.33.
Komentar
Posting Komentar