Gebi
Gebi
Tinggal beberapa buah yang tersisa di pohon.
Bahkan pagi ini, tidak ada yang jatuh. Yah, semua ada musimnya, dan setiap musim juga akan berlalu...
Melati di samping rumah mulai bermekaran. Sudah dua hari ini aku petikin. Dapat segenggam. Aku taruh di altar. Sebagai bahan renunganku, tentang ketidak-kekalan.
Aku suka harum melati. Lembut, menenangkan.
Seperti memberi energi baru.
Setiap kali aku memunguti kueni, aku teringat pada Gebi. Bagaimana keadaannya sekarang? Apakah dia baik-baik saja di sana?
Saat Gebi datang ke rumahku dulu, sedang musim buah kueni. Aku nggak punya apa-apa, selain kueni. Aku agak malu juga saat menawarinya. Khawatir dirinya nggak doyan. Maklumlah, Gebi kan orang kota. Mungkin seleranya nggak sama.
Waktu aku dan Wenny berkunjung ke rumahnya, kami pun membawakan buah kueni, sebagai oleh-oleh. Tengah hari, panas-panas, kami memungutinya.
Saat itu Gebi sedang merenovasi rumahnya.
Banyak yang kami obrolkan. Sambil tertawa-tawa.
Lupa sama umur dan uban di kepala.
Gebi membelikan kami air kelapa muda dan gorengan. Ada Mas Dodi juga menemani ngobrol.
Di mataku, Gebi orang yang sangat bersahaja, apa adanya, berperasaan halus, dan masih mau ngaku kalau kita seduluran lah. Sama-sama dari Fikom. Dia perlihatkan satu demi satu ruangan yang ada di rumahnya, tanpa ada rasa khawatir akan dinilai jelek atau apa. Baginya, teman ya tetap teman. Tak perduli bentukan rumahnya seperti apa.
Sikapnya itu membuat aku makin respek padanya. Aku bisa merasakan kejujuran dan ketulusannya sebagai seorang teman lama. No pencitraan sama sekali.
Aku ingat, Gebi, termasuk salah satu orang yang terus meyakinkanku, agar tidak takut atau minder. "Teman-teman kita baik semua, Ho. Sudah sama-sama tua. Sudah jadi bijak semua..."
Hal yang sama pun dikatakan oleh Agus Supriadi. Aku sungguh berterimakasih atas dukungan mereka. Bersyukur dikelilingi teman yang baik-baik.
Bahkan, saat suamiku meninggal, Gebi selalu mengingatkanku tentang takdir.
"Kau harus kuat, Ho. Setidaknya, demi anak-anakmu..."
Di lain kesempatan dia mengingatkanku untuk tidak menyalahkan takdir.
"Kamu tidak sendirian, Ho..." Itu yang selalu ia katakan saat aku hampir menyerah pada keadaan.
Terimakasih, Gebi.
Kata-katamu itu seperti mengingatkan aku. Jadi motivasi tersendiri.
Sampai dua bulan lalu, hal mengejutkan terjadi, dan meninggalkan begitu banyak tanya di benak teman-teman.
Tanpa sepatah kata, Gebi keluar grup...
Aku pun tak kalah terkejutnya. Kenapa? Kok tiba-tiba? Ada apa sebenarnya?
Tanpa menunggu, aku langsung chat dia.
Dia hanya bilang, ingin istirahat dulu.
Mungkin dia kesal diganggu chat aku, yang hampir tiap hari menanyakan kabarnya. Atau sekedar mengucapkan "Good morning."
Aku sudah menyiapkan diri kalau sewaktu-waktu dia memarahiku. Aku pasrah.
Itu tidak penting bagiku.
Aku hanya berharap, dia baik-baik saja, bahagia bersama keluarga, dan... mau kembali bergabung di grup Fikomers '85. Tertawa bareng, mikir bareng dengan teman-teman lain.
Kita sudah hampir 60 tahun lho, Geb.
Tidak tau berapa lama lagi kesempatan yang masih diberikan pada kita, untuk kumpul, bergurau, dan tertawa bersama, sebagai keluarga Fikomers '85?
Semoga hatimu terbuka.
Geb, sebentar lagi, angkatan kita akan reuni yang ke-40.
Apakah angka itu tidak berarti buatmu?
Bukankah kau sendiri pernah mengatakan, dalam tulisanmu di buku "Jejak Sekeloa", menjadi bagian dari keluarga besar Fikom UNPAD '85 merupakan jalan takdirmu?
Apa kau sudah lupa?
Aku baru membaca ulang buku itu semalam...
Kota Baru, Selasa, 22 Oktober 2024, Pk 15:24
Komentar
Posting Komentar