Intip

Intip
Oleh : Ratnavati

Dieng tertutup kabut. Ditingkahi gerimis. Aku menggosok-gosokkan kedua belah telapak tanganku, sambil sesekali meniupnya. Dengan begitu, berharap rasa dingin akan berkurang.

Kami baru selesai menyantap mie ongklok.
Setelah itu, Yoki mengajak kami ke toko oleh-oleh.

Di etalase, banyak sekali dijual makanan khas Dieng, berupa keripik-keripikan, hasil olahan dan produksi UMKM daerah setempat. Ada kerupuk getuk, teh, sagon, keripik buah naga, dll. Dan di sini, aku menemukan makanan kesukaanku, intip goreng...

Intip atau kerak nasi punya cerita tersendiri buatku. Tidak sekedar "kerak nasi", karena di dalamnya tersimpan kenangan yang indah akan cinta dan kehangatan kasih sayang dari nenek dan ibuku...

Dulu, di kampung, kami memasak nasi menggunakan periuk berbentuk bulat dan terbuat dari besi. Menjerang air, menanak nasi, memasak lauk dan sayur, semua menggunakan tungku sederhana, dengan  bahan bakar kayu, seperti kayu rambung dan pelepah daun kelapa yang sudah kering dan jatuh ke tanah.

Tak jarang, bara api yang masih merah membara, sisa dari memasak itu, kami taruh beberapa buah kemiri yang masih bulat utuh di atasnya. Hasil dari memungut di kebun belakang rumah. Buahnya banyak berserakan di tanah. Pohonnya besar dan tinggi sekali.

Setelah kulit buah kemiri agak gosong, kami korek keluar dari perapian, dengan potongan kayu. Lalu kami pukul-pukul dan pecahkan menggunakan batu. Dagingnya berwarna putih. Kadang  sedikit berminyak. Kemudian dagingnya kami cungkil, menggunakan ujung pisau. Nyam...nyam, rasanya gurih dan lezat sekali...

Meski hidup sederhana di kampung, bagiku, masa kecilku itu sangat membahagiakan. Berlimpah kasih sayang.

Aku lahir dan besar di sebuah desa kecil di ujung Sumatera. Mungkin keberadaan desaku tidak tampak di peta. Sebagian besar penduduknya hidup dari bertani. Sama seperti kakek dan nenekku.  Ayahku bekerja di kota kabupaten. Di sebuah pabrik minyak goreng.

Pekerjaan ayahku tidak spesifik. Kadang menimbang dan membayar kopra, menggaji karyawan, atau menyetor uang perusahaan ke bank. Yang aku tau, ayahku sangat mahir menggunakan sempoa. 

Saat sedang banjir kopra, ayahku juga turut mengangkat kopra bergoni-goni. Kaosnya basah dengan tetesan keringat, sampai bisa diperas. Pundaknya pun memerah...

Kopra bergoni-goni itu dibawa ke pabrik menggunakan sampan dan truk atau mobil pick up.

Ayahku tinggal di pabrik. Dua Minggu sekali baru pulang. 

Saat libur sekolah, kami diajak menginap ke pabrik untuk melihat-lihat. Sambil menimbang kopra, ayahku juga mengajari kami tentang beberapa hal. Ayahku pandai bercerita. Dalam ceritanya itu selalu menyelipkan pesan moral.

Sambil duduk dipangku, ayahku pernah mengajukan pertanyaan yang cukup membingungkan anak kelas dua SD seperti diriku.

"Berat mana Nak, sebuah pena dibanding dengan segoni kopra?"

Aku melihat lekat-lekat ke wajah ayahku. Menggeleng pelan, sembari menggigit-gigit kuku jari tengahku. Aku dan kakakku saling berpandangan. 

Dulu, kebiasaan menggigit-gigit kuku itu kulakukan saat aku sedang menutupi perasaan tidak nyamanku. Bersyukur kebiasaan itu tidak terbawa sampai aku dewasa ya.

"Lebih berat pulpen ini, Nak. Untuk bisa memegangnya, butuh waktu belajar bertahun-tahun. Makanya, kalian harus giat  belajar ya...." Kami hanya mengangguk patuh

Ibuku seorang ibu rumah tangga biasa. Mengurus anak-anak dan rumah tangga. Kakek nenek sangat sayang kepada kami. Mereka memperlakukan aku dan kakakku seperti seorang puteri.

Di mataku, Nenekku itu seorang perempuan yang hebat. Pekerja keras, teguh berprinsip dan penyayang. 

Setiap mau tidur, kami selalu dikipasi. Menggunakan kipas dari anyaman tali besiang, berbentuk hati.

Selalu meminyaki rambut kami dengan minyak kemiri.  Banyak hal indah yang sampai sekarang pun masih bisa kurasakan kehangatannya.

Kami selalu makan bersama di sebuah meja panjang yang terbuat dari papan.
Mulai dari nasi dan sayur, semua hasil dari kebun sendiri. Kakek dan nenekku memang sangat rajin.

Dari mereka juga, kami diajari untuk tidak membuang-buang makanan. Termasuk kerak nasi...!

Kadang kerak nasi itu dijemur. Setelah kering, digoreng. Jadi camilan kami. Atau, saat sedang hangat-hangat itu, ditaburi garam dan kelapa parut, lalu dikepal-kepal, sebesar telur ayam.  Setelah jadi, dibagikan ke semua cucunya secara adil. Rasanya gurih.

Bagiku, itu bukan sekedar kerak nasi. Karena di dalamnya tersimpan cinta, kasih sayang, kesabaran dari nenekku, ibuku, dalam membesarkan kami...

Setelah aku dewasa, menikah, dan menjadi orangtua juga, aku baru mengerti. Ternyata, mendidik dan membesarkan anak itu sangatlah tidak mudah. Banyak tantangan dan lika-likunya.

Apa pun cerita tentang hidupku, tetap aku syukuri. Aku selalu berusaha untuk tetap bisa menjaga kesadaranku, kewarasanku, dengan menyadari dan menerima porsi karma diri sendiri...

Dieng, Sabtu, 6 Juli 2024, pk 06.11.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pertanda apa ini

Bunga Teratai

Kedatangan Nova