Akhirnya, Menerima...

Pukul 14:17 :

Hari ini cuaca panas. Kalau aku mencuci, pasti semua kering. Tapi hatiku berat sekali untuk mulai mengerjakannya.  Padahal baju kotor menumpuk, seember besar. Biasa, oleh-oleh anak lanangku dari Jakarta. Aku beneran males. Rasanya kok lemes banget. 

Setelah selesai memasak, aku duduk-duduk santai. Nonton youtube, sambil sesekali mengecek pekerjaan Atuk. Memasang keramik dinding kamar mandi depan. Aku pikir, sekalian saja dirapikan. Agar lebih mudah dibersihkan. Dapur bisa menyusul belakangan. Pelan-pelan. Disesuaikan dengan kemampuan. 

Aku tak ingin memaksakan diri. Aku tau, kebutuhan anakku juga banyak. Bisa mempekerjakan satu orang tukang saja pun, aku sudah bersyukur sekali. 

Atuk termasuk orang yang apik dan jujur. Tidak pilih-pilih kerjaan. Mulai semprot rumput, mupuk tanaman, nebang pohon, sampai rapi-rapi rumah. Seperti mengecat, nembok, pasang keramik, mlafon.  Serba bisa. Katanya sudah 14 tahun ikut kerja proyek dengan Pak Karman. Pernah kerja di pabrik juga. Tapi kena PHK. Pabriknya tutup. Bahkan sempat jadi pemulung. Karena situasi pandemi, pekerjaan di proyek sepi. Sementara hidup berjalan terus.

"Kerja apa aja, Bu. Yang penting bisa untuk menafkahi anak isteri, dan halal." Terharu aku dengarnya. Mudah-mudahan dia kerja di tempatku dengan sungguh-sungguh, sepenuh hati. Memang banyak pekerjaan yang harus dikerjakan di rumahku. Pohon-pohon cepat sekali meninggi di kebun. Dan aku tak sanggup mengerjakannya sendiri. Tenagaku terbatas. Kakiku sudah tak sekuat dulu. Sekarang, aku sudah tak sanggup berdiri lama-lama.

Kemarin Mustofa menelponku. Saat aku sedang menggoreng tahu.

Mus, teman sekampusku dulu. Aktif menulis. Dulu dia berprofesi sebagai wartawan. Kemudian beralih jadi pengusaha. Sesekali diundang sebagai motivator. Untuk memberi pencerahan pada anak-anak muda. Arief yang bercerita padaku. Arief pun pernah mengundang Mus sebagai pembicara di pondok pesantren yang dia kelola.

Mus baik dan ramah. Tidak jaim. Seperti kesanku waktu kuliah dulu. Mungkin karena sudah tua ya. 

Mus sudah punya seorang cucu sekarang, seorang gadis kecil cantik, dengan sepasang mata bulat besar, dan hidung mancung, seperti kakeknya yang asli  keturunan Yaman. Mungkin kehadiran cucunya itu yang telah mengubah Mus, jadi bijaksana. Tidak suka protes atau demo, seperti saat muda dulu. Hahaha...

Dari mahasiswa, dia sudah kritis. Sering mengajukan pertanyaan-pertanyaan cerdas pada para dosen di kelas. Aku hanya bisa menyimak dan mengamatinya dari kejauhan. Kami belum pernah terlibat dalam sebuah percakapan. Sekalipun juga.

Dia selalu berkelompok dengan teman-teman mahasiswa yang pintar-pintar di angkatan kami. Berambut keriting, berhidung mancung, dan berperawakan  tinggi jangkung. Suka senyum malu-malu. Giginya berderet putih. Berpembawaan tenang, dan bicaranya halus sekali. Dia berasal dari Solo. Dia tidak pernah mengganggu atau mengejekku. Dia sangat sopan. Di angkatan kami, dia dan Haidar lekat dengan julukan Susu Arab.

Setelah 30 tahun berlalu, kami  bisa bertemu dan berkumpul dalam WAG angkatan. Dari cerita-cerita yang mengalir setiap harinya di grup, aku jadi tau kalau Mus seorang penulis novel yang produktif, selain Pepih. Dalam waktu dekat, dua novel Mus akan naik cetak. Seperti tulisan sebelumnya, Mus pun masih menulis cerita dalam bingkai sejarah.

"Mungkin karena aku basicnya wartawan ya Ho. Jadi harus riset dan mengumpulkan data-data dulu." Begitu ujarnya padaku dalam satu kesempatan.

"Ho, apa boleh namamu kupakai di novelku berikutnya? Kebetulan aku  mengangkat kisah tentang seorang perempuan beretnis Tionghoa, pada zaman sebelum kemerdekaan RI..."

"Boleh, Mus. Satu kehormatan buatku," jawabku ringan. Lalu Mus bertanya tentang arti dari namaku itu. Juga beberapa hal tentang kakek nenek dan orangtuaku.

Aku ceritakan apa adanya. "Hidupku memang penuh drama, Mus. Butuh waktu panjang untuk belajar menerima semua itu." Mus tidak berkomentar apa-apa. Dia berusaha membesarkan hatiku.

"Aku bersyukur, sudah melewati semua itu, Mus. Aku sudah bisa berdamai dengan diriku sendiri. Menerima semua sebagai porsiku. Sekarang, aku hanya ingin hidup tenang dan bahagia."

"Iya, Ho. Itu yang terbaik. Tengkyu ya." Percakapan siang itu ditutup sampai di situ. Suara azan dari mesjid di komplek perum sebelah, terdengar, memanggil umatnya untuk menjalankan kewajibannya.

"Selamat beribadah, Mus." 

Meski kami berbeda iman dan keyakinan, tapi kami tetap bisa bercakap-cakap sebagai dua orang sahabat lama. Dalam hal ini kami sama-sama berpandangan, tidak baik mempertajam perbedaan. Agama itu masalah personal. Kami sepakat, untuk meletakkan nilai-nilai kemanusiaan dalam membangun hubungan dengan sesama...



 
 






Komentar

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. 👍👍👍 Ho memang Lian, seindah namanya; teratai yang baik. Bisa hidup di mana saja dan memberikan semangat untuk siapa saja. Merupakan kehormatan namaku disebut dalam "Cerita Ho" ini. Aku yg baru belajar kembali untuk menulis. Tidak seperti Ho yang tulisannya lancar dan renyah. Seperti menikmati rempeyek gurih dan secangkir kopi di tengah hujan gerimis...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Justeru aku yang banyak belajar darimu, Mus.

      Terimakasih, selalu mendukungku...🤗🙇🙇

      Hapus
  3. Iya, ternyata rasanya senang banget saat dimention teman di tulisannya.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pertanda apa ini

Bunga Teratai

Kedatangan Nova