Catatan Untuk Seorang Teman

Catatan Untuk Seorang Teman

Beberapa hari lalu, aku menerima pesan dari seorang teman lama, semasa kuliah dulu. Aku agak terkejut juga saat mengetahui siapa pengirimnya. Ada apa gerangan? Tidak seperti biasanya. Kok tiba-tiba sekali? Ada foto tulisan tangan dua halaman penuh, dan satu lagi foto dirinya. Ternyata dari sebuah catatan buku harian seseorang...

Lebih terkejut lagi saat membaca keterangan yang ada di bawah foto itu...

"Aku pikir diriku cuek. Ternyata tidak juga. Terbukti namamu kusebut beberapa kali dalam catatan buku harianku. Aku memang suka menulis buku harian. Hanya, yang kutulis  waktu SMP dan SMA tidak tau terselip di mana." Demikian dia membuka percakapan.

Aku terpana membaca pesannya itu. Keringat masih memenuhi keningku. Seperti biasa, aku baru masuk ke dalam rumah, habis bersih-bersih halaman. Musim hujan, rumput-rumput cepat sekali jadinya. Daun dan ranting-ranting berserakan ditiup angin.

Aku melanjutkan membaca.

Di sudut kanan atas tertera jelas tanggal penulisan.  24 Juni 1989. Setelah itu masuk ke paragraf baru. Tampaknya, dia memberi judul sebelum mulai menulis di buku hariannya.

"Penilaian Seorang Teman." Itu judul catatannya.

Di situ, dia menggambarkan kalau kami pernah terlibat dalam sebuah percakapan yang serius. Membahas cerpennya.

"Apa benar demikian adanya?" Aku seperti tidak yakin. Dia orang yang sangat pendiam. Menurutku, malah  cenderung tak perduli.

Aku pernah beberapa kali main ke kos temanku, yang kebetulan satu kos dengannya. Berpapasan di selasar, tapi dia diam saja. Jangankan menyapa, senyum pun tidak. Hanya melihat sekilas, lalu berlalu begitu saja. Sungguh menjengkelkan! Padahal kami sekampus. 

"Benar. Tak mungkin saya mengada-ngada tentang fakta tersebut. Catatan di buku harianku ini tak mungkin salah..." ujarnya meyakinkanku.

"Oooh..." jawabku pendek, sembari berusaha terus mengingat-ingat.

Aduh, aku jadi malu hati sendiri setelah selesai membaca keseluruhan tulisan tangan itu. Siapa aku, kok berani-beraninya memberi penilaian atas cerpennya yang berjudul "Cecak", terbit di Harian Suara Pembaruan pada hari Minggu, 11 Juni 1989 itu? Aku jadi merasa tak enak hati sendiri.

"Maafkan kesembronoanku di masa lalu," ujarku buru-buru. "Mungkin saat itu, aku masih sangat muda. Sehingga terlontar begitu saja apa yang ada di benakku," lanjutku, sembari berharap semoga dia bisa memaklumi kebodohanku dulu.

"Tidak apa-apa. Beneran..."

"O ya. Guru SD suamiku pernah mengatakan padaku, bahwa sikap spontanitasku itu bisa jadi kekuatanku, tapi sekaligus bisa jadi kelemahanku juga." Dia hanya tertawa. Lalu menjelaskan yang melatar-belakangi sikap acuh tak acuhnya dulu itu. Gantian aku yang dibuatnya tertawa.

"O ya, bagaimana dengan kesehatanmu saat ini?"

"Membaik terus. Pengobatan akan berakhir pada tanggal 14 Februari 2024 ini. Mencari kesembuhan itu benar-benar melelahkan. Kadang, saya merasa bosan juga. Untuk menghibur diri, saya membaca dan menulis. Kadang minta diajak kemping ke kaki gunung, atau sekedar berjalan-jalan ke pantai." Dia menjelaskan panjang lebar.

"Syukurlah. Aku ikut senang mendengarnya. Masih banyak hal yang patut disyukuri. Bersyukur untuk keluarga yang selalu setia mendampingi, dan mendukungmu. Anugerah tak terhingga dikaruniai dua orang anak yang sehat dan cerdas. Isteri yang baik, setia, cantik, pinter masak lagi. Komplit deh..." Aku mencoba mencairkan suasana.

Aku mengatakan itu, tidak bermaksud untuk menghiburnya. Aku mengerti apa yang dia rasakan. Karena aku pun pernah melaluinya, meski dengan versi cerita yang berbeda. 

Aku ingin katakan padanya, banyak hal yang patut kita syukuri. Untuk bangkit dan menata kembali hati kita, memang tidak mudah. Karena, aku pun pernah ada di fase itu.

Saat awal-awal ditinggal pergi suamiku ke keabadian, aku merasa duniaku runtuh. Aku tidak siap dengan segala bentuk perubahan yang terjadi dalam hidup keluarga kami. Sekarang, pelan-pelan, aku bangkit.

"Kau harus kuat. Setidaknya demi anak perempuanmu." Seseorang mengatakan itu padaku. Meyakinkanku untuk berani menatap dan menghadapi hari esok.

Aku yakin, dirimu juga bisa. Kau orang yg hebat, dan kuat. Terus semangat, kawan. Teruslah memberi pencerahan lewat tulisan-tulisanmu. Karena, masih banyak yang menantikan buah pemikiran seorang Pepih Nugraha... 

Hari ini, satu lagi teman kita, Fajar Julianto, pergi meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Aku ingin katakan padamu, kita pun sedang ada dalam daftar antrian berikutnya. Sebelum giliran kita benar-benar datang, mari kita hargai kesempatan yang masih kita punya, untuk menjalani dan mengisi hidup  dengan terus berkarya, sesuai dengan bidang masing-masing.

Kota Baru, Sabtu, 3 Februari 2024, Pk 20:54.






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pertanda apa ini

Bunga Teratai

Kedatangan Nova