Bersyukur dengan porsi diri sendiri

Bersyukur dengan Porsi Diri Sendiri

Kemarin, aku kirimkan foto ke Gebi saat aku sedang menebang ranting-ranting pohon di halaman. Belum sempat aku memberi keterangan pada gambar itu, pesan dari Gebi masuk.

"Memang apa yang ingin kau katakan lewat foto itu, Ho?"

"Tidak ada maksud tertentu sih. Aku cuma mau bilang, lagi bersih-bersih halaman. Sekalian ingin tanya kabar dan mengucapkan selamat pagi. Itu aja. Memangnya nggak boleh ya Geb?"

"Oooh...
Aku pikir kau sedang ingin membuktikan sesuatu."

"Membuktikan apa? Tidak ada yang perlu aku buktikan. Keseharianku ya memang seperti itu, nggak jauh-jauh dari golok, sapu dan pengki..." 

"Itu namanya self acceptance..." Gebi menimpali.

"Iya. Penerimaan diri. Memang ini porsiku. Aku akan jalani bagianku dengan sebaik-baiknya. Dengan kesadaran penuh dan tanggung jawab. Jalan hidupku memang seperti ini. Aku tidak malu mengakuinya. Tidak juga berusaha menyembunyikannya."
Aku mengatakannya dengan sungguh-sungguh.

"Ho, nggak usah pengen dinilai baik sama orang. Yang penting, teruslah berbuat baik." Aku agak terkejut juga membaca pernyataannya ini. Apa maksudnya, kok tiba-tiba berkata seperti itu?

"Apa menurutmu aku seperti itu, Geb?" Aku balik bertanya padanya. Spontan.

"Apa kau merasa sapaanku tidak tulus, hanya sekedar basa basi ? Apa kau berpikir aku sedang berusaha membangun citra diri yang positif?" Lanjutku, mencecarnya.

"Bukan itu maksudku, Ho. Ya bagus kalau kamu tidak seperti itu. Aku tidak dalam posisi untuk menilai. Kebenarannya, dirimu sendirilah yang tau." Jawabannya  membuat aku semakin bertanya-tanya. Apa yang ingin ia sampaikan? 

Dulu, Gebi pernah mengatakan padaku, agar tidak bersembunyi terus. Harus mau mulai membuka diri. Sudah sama-sama menua. Menggunakan waktu yang tersisa untuk ngobrol dan bercanda bersama dengan teman-teman lama, meskipun hanya lewat pesan WAG. "Tak usah takut," begitu katanya.  

Sebenarnya, aku tidak pernah bermaksud menghindar atau menyembunyikan diri. Anak-anak masih kecil, ada mertua dan suami yang harus kuurus. Sekarang, anak-anak sudah gede. Mereka sudah bisa mengurus dirinya sendiri. Sudah mengerti akan tanggung jawabnya. Tak perlu aku ingatkan terus-menerus lagi. Sehingga, aku lebih punya waktu untuk diriku sendiri.

Aku berterimakasih pada Gebi, Yoki, Agus Supriadi, dan teman-teman lain yang sudah meyakinkanku. Sehingga aku bisa lebih percaya diri.

Kata-kata Gebi membuatku berpikir keras. Sebenarnya apa yang mau dia katakan? Aku sungguh tidak mengerti yang dimaksudkan Gebi itu.

"Lalu apa? Kau meragukan integritasku?" Aku terus mengejarnya dengan pertanyaan-pertanyaanku.

"Menurutmu, apa ada gunanya aku berbuat seperti itu? Untuk apa? Apa kau pikir aku punya motif tertentu?" 

"Ya bagus Ho, kalau tidak." Jawabannya sepenggal-sepenggal. Bikin jengkel saja...
Huuuh, dasar Gebi. 

"Kau masih bolak balik ke Pontianak?" Aku coba mengalihkan topik pembicaraan.

"Masih. Ini, orangtua lagi diasuh sama anak-anaknya." Tak lama berselang, dia mengirimkan foto keluarganya yang sedang pelesiran. Dua anak gadisnya tersenyum manis.

"Senangnya...
Anak-anakmu hebat.
Selamat berlibur..." 

"Itu tergantung siapa yang melihatnya laaah," jawabnya merendah.

Aku amati foto mereka berempat dengan cermat. Emma tampak cantik berbalut baju berwarna biru langit, anak-anak mengenakan kaos lengan panjang berwarna hitam bergaris putih. Sedangkan Gebi tetap dengan jaket kebesarannya berwarna krem. Semua tampak kompak dan serasi.

Tak lama berselang, dia mengirimkan selembar foto lagi. Foto dirinya mengarahkan kedua tangannya pada sebuah patung beruk betina, disertai caption: Itu yang kumaksud...dan diakhiri dengan emot tertawa terbahak-bahak sembari menutup mulut.

"Apa maksudnya Geb? Apa kau ingin menyamakan aku dengan beruk itu?"

"Wakwakwak..." 

"Aku seriusan nanya. Apa kau ingin bilang, aku sebodoh beruk itu, karena tak kunjung mengerti?"

"Wakwakwak...
Lama-lama, bisa saja pengertiannya jadi seperti itu, Ho..."

"Justeru aku bersih-bersih itu agar tidak ada beruk yang masuk ke kebunku, Geb." Aku mulai kesal. Merasa diolok-olok.

"Oke, oke. Aku cuma mau bilang, nggak usah pusing sama isi kepala orang, Ho..."

"Oooh...," jawabku singkat. 

Begitulah, Gebi temanku. Walau terkadang sangat menjengkelkan, tapi harus kuakui, dia teman yang baik.

Semoga kau selalu sehat, dan bahagia bersama keluarga. Semesta melindungi.

Kota Baru, Jumat, 29 Desember 2023, Pk 14.44.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pertanda apa ini

Bunga Teratai

Kedatangan Nova