Berkunjung

Berkunjung

Oleh : Ratnavati

Hari ini aku jalan pagi lagi, setelah dua hari absen. Dapat lima balikan. Kira-kira setara dengan 1,5 km. Cukuplah untuk hari ini. Aku nggak mau terlalu forsir. Kakiku belum sembuh betul. Jalanku sudah nggak nyeret lagi sih. Tapi masih ada sisa rasa sakit di bagian lutut.

Melati di samping rumah bermekaran. Baunya harum, menenangkan. Aku petik, dan dapat segenggam. Kemudian, aku duduk untuk cooling down, sambil menyeka keringat di dahi dan leherku. Aku amati sekeliling. Menarik nafas panjang beberapa kali. Setelah itu, perlahan-lahan memejamkan mata. Mulai memperhatikan keluar masuknya nafasku. Aku dapat merasakan sejuknya hembusan angin menerpa pipi, tangan dan menerbangkan anak rambutku. Hatiku terasa ringan.

Aku buka mata, lalu bangkit dari dudukku. Kemudian berjalan ke belakang dapur. Memunguti buah kueni yang jatuh. Harum kueni menambah suka citaku. Pagi ini dapat sembilan buah. Lebih dari cukup untukku dan kakakku. Terimakasih Semesta untuk semua berkat yang kudapat pagi ini.

Dua hari lalu, sepulang dari rumah Gebi dan Ulan, aku begitu bersemangat. Banyak hal yang bisa jadi bahan catatanku. Aku memang suka mencatat. Aku lebih suka menyebutnya sebagai catatan saja. Bercerita tentang keseharianku. Aku mencatatnya supaya aku tidak lupa. Bila sewaktu-waktu aku merindukan momen itu, aku bisa buka dan membacanya kembali...

Sebenarnya catatan kemarin itu sudah selesai kuedit. Aku bermaksud mengirimkannya ke beberapa teman. Mungkin kepanjangan ya, jadinya terpotong. Hanya terkirim sebagian. Aku coba utak atik sendiri. Di rumah tidak ada siapa-siapa yang bisa mengajariku. Anak-anak di Jakarta semua. Entah apa yang terpencet. Tau-tau catatan yang sudah kubuat dengan susah payah, hilang begitu saja. Terhapus dengan tak sengaja. Aku lemes.  Ingin nangis rasanya. Ah, bodohnya aku. Bagaimana bisa seceroboh itu? Ini sudah kejadian yang kedua. 

Ah, sudahlah. Mungkin catatanku itu tak baik kalau dibaca orang lain, cukup untuk diriku saja. Biarlah tersimpan di ingatanku. Aku coba menghibur diriku sendiri.

Kemarin memang hari yang sangat melelahkan. Ada tukang yang perbaiki atap. Seng penutup yang ada di antara talang terangkat, saat angin berhembus kencang. Menimbulkan suara berisik dan rawan bocor. Sebentar lagi masuk musim hujan. Jarak pemasangan baut seng memang kejauhan. 

Sebenarnya aku jengkel juga. Terkesan asal-asalan. Dan ingin cepat-cepat selesai. Resiko kerja borongan. Ini sudah kali ketiga aku panggil tukang untuk permasalahan yang sama. Tapi sudahlah, aku tak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa menghela nafas dalam-dalam. Aku pun tak bisa naik untuk memperbaikinya sendiri. 

Sebenarnya, datang berkunjung ke rumah Gebi itu sebuah ketidaksengajaan. Dari awal memang tidak ada rencana sama sekali. Terlintas begitu saja saat Wenny dan Taufik datang mengunjungiku hari Kamis lalu, tepatnya tanggal 5 Oktober 2023.

"Ci, aku dah nyampe nih. Ada di depan pagar," Wenny menelpon, memberitahu kedatangannya. Aku tergopoh-gopoh jalan ke depan, untuk buka pintu pagar, sambil payungan. Aku sudah nggak sempat ganti baju. Padahal kaosku penuh dengan bercak-bercak kecoklatan, bekas noda dari  getah pisang. Ah, sudahlah. Biarkan saja. Baju itu hanya "bungkus". Tadinya aku memang siap-siap mau tidur siang. Waktu itu pukul 13.30.

Pertemuan dua teman lama memang selalu heboh. Sambil membuka gembok pagar yang sedikit macet, aku langsung bertanya pada Wenny. Mereka masih di luar pagar.

"Apa kau mau berbuat baik?" Tanyaku spontan. Pikir-pikir, kebangetan juga ya aku.

"Maksudnya apa Ci?" Wenny kebingungan ditanya tiba-tiba seperti itu.

"Mau nggak? Kalo mau, bisa nggak anterin aku ke Bekasi? Aku pengen ke rumahnya Gebi." Wenny terbengong-bengong mendengar ucapanku.

"Ke rumah Gebi? Emang sudah janjian? Cici tau alamatnya?" Tanya Wenny hati-hati. Mungkin dia ingin menolak, tapi merasa nggak enak. Hahaha...

"Nggak janjian sih. Nanti aku bisa telpon dia. Tanya alamatnya. Yang penting, kamu mau antar aku ke sana, Wen. Anggap aku kasih kesempatan pada kalian untuk berbuat baik. Nanti tolnya aku bantu bayar," ujarku beruntun. Akhirnya Wenny mengiyakan. Aku tidak tau apakah dia mengiyakan itu dengan perasaan terpaksa, karena ada di bawah tekanan ya. Hahaha...
Sorry ya Wen, kalau aku terlalu terus terang dan membuatmu terkejut-kejut.

Begitu sampai di rumah, aku langsung telpon Gebi. Aku tau dia ada di rumah. Sebelumnya dia sudah cerita, minggu depannya baru berangkat ke Samarinda lagi, kasih kelas motivasi pada para karyawan di salah satu perusahaan batu bara di sana.

"Geb, aku mau ke rumahmu. Boleh nggak?" Tanyaku langsung.

"Ke rumahku Ho? Kapan?" Aku menangkap ada nada terkejut di dalam suara Gebi.

"Sekarang, Geb. Boleh nggak? Kalau boleh, kami berangkat sekarang. Sekalian aku mau minta alamat rumahmu." Berondongku beruntun.

"Sama siapa Ho?"

"Wenny. Suaminya yang nyetir."

"Oke. Aku tunggu." Tak lama berselang Gebi mengirimkan alamat rumahnya. Setelah itu, aku bergegas ganti baju dan ajak Wenny menemaniku memunguti buah kueni yang jatuh. Oleh-oleh untuk Gebi. Waktu itu memang lagi banyak-banyaknya jatuh. Aku siapin dalam beberapa kantong plastik. Untuk dibagi-bagi nanti.
Ulan belum kami kabari. Dia pasti sibuk bikin laporan setelah lima hari ikut konferensi di Bali.

"Kita kabari Ci Ulan nanti, kalau sudah sampai di rumah Gebi." Usul Wenny. Aku setuju.

Begitulah, kami berangkat ke rumah Gebi.  Semua terjadi begitu saja. Tanpa direncanakan. Meski ada sedikit unsur pemaksaan. Hahaha. Kalau sekarang kupikir-pikir kembali ya, aku merasa geli sendiri dengan kekonyolanku itu.

Beberapa hari sebelumnya, aku memang ada chat Gebi. Menanyakan kabarnya. Aku ingin tau apakah dirinya baik-baik saja. Kok sudah lama nggak nongol di grup.

"Baik. Jangan cuma tanya kabar, Ho. Nggak penting. Kalo memang mau tau keadaanku, ya datang dan lihat langsung. Kapan mau main ke rumahku? Aku sudah tunggu-tunggu dari kapan waktu..." Dasar Gebi. Orang tanya baik-baik, kok malah dijawab begitu. Benar-benar menyebalkan...! Aku nggak jawab chatnya. Nggak lama berselang, dia menelpon. Dia cerita sedang renov rumah. Bangunan rumahnya rusak dimakan rayap...

"Aku lagi di Samarinda, Ho. Sampai Januari 2024 aku masih harus bolak-balik ke sana. Ngasih kelas."

"Mantap itu Geb. Ikut seneng dengernya. Jangan lupa ditabung sebagian ya. Kita kan nggak sehat terus, Geb..." ujarku, sok menasehati.

"Untuk nyaur utang di toko matrial, Ho."

"Oooh, yo wes. Sehat-sehat selalu, Geb." Pada siapapun, aku berkata begitu. Di usia kita yang sekarang, apa yang lebih berharga, kalau bukan kesehatan?

Gebi sudah menunggu kami di depan jalan masuk menuju rumahnya. Begitu melihatku, dia menepuk-nepuk pundakku, sembari menggeleng-gelengkan kepala, dan berujar : "Ho Lian...Ho Lian..." Tapi raut wajahnya menyiratkan kegembiraan. Bertemu dengan teman lama memang seperti memberi energi baru. Haru, senang, semua bercampur jadi satu.

Sesampai di rumah Gebi, pertanyaan pertama yang keluar dari mulutku adalah : "Mana Ema?"

"Oooh, Ema lagi nganter si bungsu ke Cirendeu," jelas Gebi sembari mengeluarkan dua bungkus es kelapa muda dari dalam kulkas. Di ruang tamu ada Mas Dodi, kakaknya Lilik, teman kami juga.

"Wajah Mas Dodi sudah sangat familiar. Karena fotonya sering beredar di grup kami," ujarku sambil menyalaminya. Pertemuan sore itu diisi canda dan gelak tawa yang tak ada putusnya. Taufik tak henti-hentinya meledekku. Wenny mengadukan sikapku ke Gebi. Tapi aku tertawa aja mendengarnya, asyik menikmati rengginang. Rengginangnya habis dimakan kami berdua. Tak lama kemudian, Mas Dodi mengeluarkan kerupuk Bangka dari dalam mobilnya. Kami serbu lagi. Duh, kelakuan sudah seperti anak-anak SD yang lapar habis bubaran sekolah. Hahaha. Lucu dan indahnya momen itu.

"Coba Geb, kita masih di depan nih, pintu pager juga belum dibukain, sudah ditanya sama dia. Mau berbuat baik nggak?"

"Kalau dijawab nggak, kayaknya langsung disuruh pulang ya Wen," timpal Gebi. 

"Nggak nyangka Ho Lian seperti itu. Kirain teh pendiam..." Sambung Gebi.

"Pendiam? Hm, itu dulu. Masih jaim. Aslinya ya begini ini..." Aku tidak berusaha membela diri. Tertawa-tawa saja. Kami saling ledek-ledekan, sambil mengenang masa-masa kuliah dulu. 

Kurang afdol rasanya kalau pertemuan ini tidak diabadikan. Kami minta Mas Dodi untuk moto kami. Orangnya baik dan ramah. Setelah itu, kukirim ke grup.

"Ada apa? Kenapa tiba-tiba muncul di rumah Gebi? Apa Gebi sakit? Tungguin ya. Aku minta Yunus jemput dan nyusul ke sana..." Ulan langsung chat begitu melihat foto kami beredar di grup.

"Nggak, sehat kok. Lagi pengen main aja." Jawabku singkat. Tak lama berselang Ulan dan suaminya Yunus, muncul. Sore itu, rumah Gebi tambah ramai lagi.

Ulan tampak khawatir dan menanyai Gebi dalam Bahasa Sunda. Untuk memastikan apakah Gebi baik-baik saja.

"Emang harus nunggu sakit dulu ya baru boleh ditengokin?" Gebi balik bertanya dengan setengah berseloroh.

Kami pamitan setelah matahari terbenam. Ulan menawari kami mampir ke rumahnya dulu.

Waktu mau pamitan ke Gebi, jahilnya Wenny kumat.

"Geb, dia mau kutinggal di Bekasi Timur. Nanti tak telpon Yoki untuk jemput. Berbuat baiknya cukup sampai di sini aja..." Semua langsung tertawa ngakak. Hm, ceritanya mau balas dendam ya...

"Lha iya. Bukannya selama ini ke mana-mana suka bareng Yoki?" Weslah, mati kutu aku dismash begitu. 

Dari rumah Gebi, kami menuju ke rumah Ulan. Di sana kami ditraktir makan siomay. Setelah ngobrol-ngobrol sekitar sejaman, kami pamitan pulang. Kasian Wenny dan Taufik yang masih harus balik ke Bandung setelah mengantarkan aku.

Bertemu dengan teman-teman lama itu memberi kebahagiaan tersendiri. Kita bisa mentertawakan kebodohan dan kepolosan di masa muda dulu. Padahal, waktu menjalaninya, bisa nangis darah ya. Yah, begitulah hidup. Kita semua sudah berubah. Kita pun sudah banyak belajar.

Terimakasih orang-orang baik...

Kota Baru, Selasa, 10 Oktober 2023, Pk 15:42.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pertanda apa ini

Bunga Teratai

Kedatangan Nova