Pagar

Pagar

Saat membaca pesan itu, aku tidak tau, apakah harus merasa senang atau sedih.

"Ci, Pak Ali meninggal. Tgl 29Juni 2023, pukul 21.45 di RS Gatot Subroto." Pak Bani Salim, teman sekolah suamiku dulu, mengabari. Dia asli orang Cikampek, tinggal di dekat stasiun.

Aku sungguh tak mengira akan mendapat berita seperti itu.
Aku hanya menjawab singkat. 
"Oooh..."

Ingatanku membawaku kembali pada kejadian 14 bulan lalu. Saat di mana pagarku dirusak oleh lima orang anggota sebuah LSM, orang suruhan Pak Ali. 

Saat itu, aku marah, kecewa dan sedih. Kenapa bisa setega itu? Aku buat salah apa? Dengan bercucuran air mata, aku berucap dalam hati. "Semoga Semesta akan memberi hukuman yang setimpal. Aku benar-benar tak rela. Ini sangat tidak adil buatku."

Setelah kejadian itu, aku berusaha mencari tahu tentang Pak Ali. Sampai akhirnya aku berhasil mendapatkan nomor kontaknya. Aku pun sudah melaporkan kejadian tersebut pada polisi pembina desa di desa kami.

Aku minta bertemu langsung dengan Pak Ali. Aku ingin bertanya padanya. Apa alasan dia sehingga berani-beraninya merusak pagar orang dengan semena-mena begitu.

Awalnya dia berkelit dan berbelit-belit. Tapi aku tekankan padanya, kalau aku tidak akan menuntut lebih atau ambil keuntungan dari kejadian ini. Aku hanya ingin pagarku dikembalikan seperti semula. Itu saja. Akhirnya dia setuju dan datang menemuiku.

Saat berhadapan langsung dengan orangnya, aku lebih terkejut lagi. Samar-samar aku masih mengenalinya.
Beberapa kali dia pernah mengantar jemput anaknya ke rumah untuk les Mipa pada suamiku beberapa tahun lalu. Bagaimana bisa dia setega itu?

Begitu bertemu, dia langsung bilang, "Aduh, maaf Cici. Anak-anak salah sasaran. Yang suruh dibongkar itu pagar sebelahnya Cici." Dia berujar seperti itu berkali-kali. Sambil menunduk dan menangkupkan kedua belah tangannya di dada. 

"Kok bisa salah sasaran? Nggak logis banget. Zaman secanggih ini. Kan bisa difoto dulu buat memastikan, sebelum dieksekusi?"

Mungkin dia berharap aku akan percaya begitu saja dengan alibinya.

"Sengaja atau tidak, faktanya pagar saya sudah dirusak. Bagaimana pertanggung jawaban Pak Ali? Saya hanya ingin pagar saya dikembalikan seperti semula." 

Dia mohon-mohon minta diberi waktu. Desember akan dia perbaiki. Dia bersumpah dengan membawa-bawa nama Tuhan. Dia beralasan, sekarang sedang tidak pegang uang. Habis untuk berobat. Katanya ada sakit gula. Dan dua hari sebelumnya, dia terserempet angkot saat sedang joging di dekat komplek perumnya. Dia pun menunjukkan bekas luka-luka di kakinya. Aku hanya diam, cukup mendengarkan. 

Ada anak keduaku juga menemani dan merekam pembicaraan siang itu. Akhirnya aku setuju memberi waktu. Sementara dipagar pakai bambu.

Dari pertemuan itu, tak sengaja tercetus pertanyaan darinya, yang membuatku bisa membaca tujuan sebenarnya dari perusakan pagarku itu.

"Ko Mame kan sudah nggak ada. Apa Cici tidak berniat menjual lahan ini? Di sebelah Cici, rencananya mau dibangun pujasera." Tanpa kuminta, dia dengan semangat menjelaskan panjang lebar tentang kemungkinan di masa yang akan datang bila tempatku menyatu dengan lahan sebelah. Mungkin dia berpikir, aku hanyalah seorang ibu-ibu ndeso, yang mudah diintimidasi dan dibodohi, mudah tergiur dengan gemerlapnya duniawi. Sehingga akhirnya akan menyerah dan melepas tanah ini.

"Tidak." Jawabku singkat. Aku berusaha tetap fokus pada masalah pagar saja. Tidak mau melebar ke mana-mana. Selama aku hidup, aku bertekad akan tetap berusaha menghormati dan menjaga hasil perjuangan serta kerja keras dari mertua dan suamiku. Selebihnya, aku pasrahkan pada Semesta. 

Tak lama berselang, ada pesan masuk lagi.

"Malem Mama Ehi. Sudah denger belum, Pak Ali meninggal. Kabarnya dikeroyok geng motor." Aku terkejut membacanya.

"Kok bisa?" Tanyaku setengah tak percaya.

"Iya Ci. Sebelumnya juga Pak Ali sudah sakit. Denger-denger sih stress. Suka teriak-teriak. Sempet dirawat di RSJ."

"Oooh..."Aku tak mampu berkata-kata lagi. Mendadak pikiranku menjadi kosong.

Perasaanku jadi galau. Antara kasihan dan marah. Sungguh, aku tidak pernah berharap, dia akan berakhir seperti ini. 

Saat Desember 2022 aku chat dan tanya pada Pak Ali, tentang bagaimana kelanjutan nasib pagarku. Dia menjawab dan mengatakan siap. Namun setelah itu kontaknya tak bisa dihubungi lagi.

Aku marah dan sempat menitikkan air mata. Tapi belakangan aku memutuskan untuk melupakan saja. Aku mencoba berdamai dengan diri sendiri. Toh aku sudah berusaha. Akan aku perbaiki sendiri nanti, bila keadaan sudah memungkinkan. Tidak ada gunanya berharap lagi. Sedari awal Pak Ali memang tidak ada niat baik.

Aku segera mengabari anak-anakku.

"Sudahlah Ma. Berarti masalah pagar sudah selesai. Kita fokus sama keluarga kita saja ya." Anak keduaku buka suara.
Aku hanya mengiyakan, sembari berdoa dalam hati. "Semoga ke depannya, hidup kami semakin membaik, semakin stabil, dan kami dijauhkan dari hal-hal buruk. Semoga kami bisa hidup dengan tenang dan damai. Semesta akan selalu melindungi."

Berdoa dan terus berdoa. Hanya itu yang bisa kulakukan.

Untuk Pak Ali, semoga jiwanya beristirahat tenang.


Kota Baru, Jumat, 30 Juni 2023 (Pk 11.58).





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pertanda apa ini

Bunga Teratai

Kedatangan Nova