Didi

Kisah tentang Serda Ucok, Intelijen Kopassus yang menghabisi empat orang napi di Lapas Cebongan Sleman, Yogyakarta pada tahun 2013, memicu rasa penasaranku untuk mengetahui gambaran jelas tentang penjara. Apakah semengerikan Nusakambangan, atau Alcatraz yang ada di film-film dan tulisan yang pernah kubaca?

Di grup kami, ada seorang teman yang tengah terkena musibah, dan terpaksa menghabiskan waktu untuk beberapa lama di lapas. Namanya Didi.

Didi ditahan di Lapas Cipinang. Dinilai melakukan kelalaian yang mengakibatkan kerugian negara. Menanda tangani laporan bawahan tanpa melakukan check dan recheck. Sebagai atasan, dia harus bertanggung jawab. Dan dia membayar semua itu dengan kebebasannya sendiri. 

Sebagai teman, jujur, aku sedih dengan masalah yang tengah melilitnya itu. Aku hanya bisa mendoakannya. Aku pun dapat  memahami, seperti apa kesedihan yang dirasakan oleh isterinya. Mereka berdua sama-sama teman semasa kuliah dulu.

Aku merasa tidak berhak untuk menyalahkannya. Toh dia sudah menerima dan sedang menjalani hukuman sebagai bentuk pertanggungjawaban atas kelalaiannya itu.

Sebagai teman, aku berusaha melakukan yang aku bisa. Menanyakan kabar, atau menemani ngobrol ngalor ngidul tentang hal-hal ringan. Berharap, dia terhibur dan dapat membantunya melewati hari-hari yang sulit di dalam sana.

Dalam kasus Didi ini, aku lebih suka menyebutnya sebagai musibah. Karena tidak semua yang ditahan di lapas benar-benar melakukan kesalahan seperti yang dituduhkan.

Dari cerita-cerita yang pernah kubaca, banyak kisah di balik sebuah kasus, hingga vonis dijatuhkan. Semua ada latar belakangnya. Karena itu, aku belajar untuk tidak menghakimi.

Menurutku, siapa saja bisa tertimpa musibah. Musibah yg serta merta dapat  mengubah jalan hidup seseorang dan keluarganya. Baik dalam bentuk sakit keras, kematian, bencana alam, kasus hukum, kecelakaan kerja, pilihan politik, dst dst.

Sebenarnya, aku sudah lama ingin menengok Didi. Aku coba menghubungi beberapa teman. Siapa tau ada yang bisa barengan. Tapi ternyata belum nemu waktu yang pas. Momen lebaran, banyak yang mudik dan open house di rumahnya, kumpul dengan keluarga.

Akhirnya aku putuskan untuk menengok Didi sendiri. Aku ungkapkan keinginanku itu pada anak ketigaku, dan dia langsung mengiyakan.

"Kapan Mama mau jenguk teman Mama itu? Aku masuk lagi tanggal 2 Mei. Soalnya waktu Nyepi, aku nggak libur. Jadi liburnya disatuin saat lebaran ini." Lega rasanya mendengar jawabannya itu. Aku pun segera menghubungi Didi.

Di rumah juga ada kakak dan anak-anak lainnya. Jadi aku bisa pergi tanpa harus mengkhawatirkan keadaan rumah.

"Di, apakah aku boleh datang menjengukmu  di lapas? Kebetulan anakku bisa antar."

"Boleh...," jawab Didi singkat.

"Rencana, hari Selasa, tanggal 25 April. Aku naik kereta pagi. Kira-kira bentrok tidak dengan jadwal kunjungan keluarga atau teman yang lain?" Tanyaku lagi, untuk memastikan.

"Nggak kok. Keluarga sudah datang menjenguk. Saat ini istriku sedang ke Jawa. Ada kerabat kami yang menikahkan anaknya..."

"Oooh begitu ya." Dari Adri, Arief, Agus Mbeng dan Yoki aku mengetahui kalau pengunjung dibatasi. Sehari hanya boleh tiga orang. Kalau mau berkunjung kembali, harus nunggu waktu sebulan lagi untuk orang yang sama.

Aku berangkat dari Cikampek naik KRD, pukul 09.24. Moda transportasi termudah dan termurah di tempatku. 

Turun di Cikarang, nyambung KRL sampai Stasiun Klender. Dari sana nyambung lagi naik grab.

Kereta penuh sesak. Aku sempat tak dapat tempat duduk sampai Karawang. Banyak yang bawa anak-anak. 
Beberapa bayi menangis. Aku amati sekeliling. Tiba-tiba jadi ingat sama suamiku. Selama bertahun-tahun bolak balik Cikampek-Jakarta-Cikampek. Pasti sangat melelahkan. 

Aku tarik nafas dalam-dalam. Berulang-ulang. Sambil memejamkan mata. 

Sampai di LP Cipinang, aku cepat-cepat ambil nomor antrian. Kemudian isi formulir. Aku dapat nomor antrian 123. 

Pengunjung penuh berjubel. Karena momen lebaran, pihak lapas kasih kelonggaran. Pengunjung dibolehkan rombongan. Maksimal delapan orang.

Semua barang pribadi pembesuk harus disimpan di loker. Seperti tas, dompet, HP, jaket.

Sambil menunggu antrian, aku putuskan untuk makan dulu di kantin yang ada di lapas. Aku dan anakku pesan ketoprak. Ibu penjualnya baik dan ramah. Katanya orang Lampung, dan sekarang menetap di Cikarang.

Saat nomor antrianku dipanggil, aku diarahkan masuk ke sebuah ruangan untuk verifikasi data. Di sini antri lagi. Diberi beberapa pertanyaan.

"Sebelumnya Ibu sudah pernah datang berkunjung?" Tanya petugas dengan wajah datar.

"Belum, " jawabku singkat. Berusaha bersikap setenang mungkin. 

"Apa hubungan Ibu dengan warga binaan kami ini?"

"Oooh, saudara. Dia saudara saya." Aku menjawab yakin.

Kemudian ditanya, bawa apa aja.

Setelah selesai ditanya-tanya, diberi secarik kertas, dan masuk ke ruangan berikutnya. Sambil tetap memegang KTP asli.

Di sini barang bawaan yang sudah kususun rapi, dikeluarkan. Dituang di atas sebuah meja panjang. Jadi berantakan, tak beraturan. Tas tempat barang-barang itu digunting. Semua diperiksa, satu per satu.

Aduh, hatiku jadi sedih melihatnya. Lebih sedih lagi saat mengetahui kopi yang bisa lolos itu hanya 5 sachet.

"Kenapa tidak boleh? Kan hanya kopi?" Tanyaku spontan.

"Peraturannya memang seperti itu, Ibu. Barang dengan jenis yang sama, tidak boleh lebih dari lima item." Jelas petugas itu. Aku hanya manggut-manggut. Pasrah. Walau dalam hati ada rasa kecewa.

Aku sengaja bawa kopi agak banyak, supaya bisa dibagi-bagikan ke teman-teman Didi lainnya. Didi pernah cerita, satu gelas kopi atau sebatang rokok, bisa muter, dan dicicipi bareng-bareng.

"Ibu, ini sisa barangnya bisa diambil dan taroh di loker lagi."  Petugas itu menjelaskan. Tapi aku membayangkan, ribetnya bolak balik jalan ke depan. Mana dikejar-kejar waktu. Aku dipanggil masuk pukul 13.23. Sedangkan jam kunjungan berakhir pukul 15.00.

Barang yang lolos pemeriksaan dimasukkan ke dalam plastik bening tembus pandang.

"Nggak usah. Tinggal di sini saja." Ujarku sambil berlalu.

Dari situ aku diarahkan masuk ke sebuah ruangan pas badan. Seorang petugas wanita memeriksa. Aku sempat menggeliat kegelian. Aduh. Ternyata ada penggeledahan.

Setelah itu, aku diarahkan masuk ke ruangan X-ray. Plastik jinjingan diperiksa dan ditinggal di situ.

"Pasti disampaikan pada ybs kan Pak?" Tanyaku. Aku hanya ingin memastikan. Ada sedikit keraguan di hatiku.

"Iya Bu. Nanti ada petugas yang menyampaikan. Jangan khawatir." 

"Oooh." Aku menjawab singkat dan menurut saja saat diarahkan untuk berjalan terus, dan berhenti di depan sebuah pintu besi berwarna putih, berbentuk persegi. Bentuknya tidak seperti daun pintu pada umumnya, yang berbentuk persegi panjang.

Aku mendekati pintu besi itu, dan mendorongnya perlahan. Ternyata lumayan berat juga.

Di balik pintu itu, di sebelah kanan, ada ruangan kecil. Berukuran sekitar 2x2m. Ada dua petugas berdiri siaga di situ. KTP-ku diambil. 

Mereka mengajukan beberapa pertanyaan. Aku pun disuruh menyebutkan nama dan tanggal lahir. Karena aku menjawab benar, KTP dikembalikan. Lalu, aku diminta mengulurkan lengan kananku untuk kemudian diberi stempel sebanyak dua kali. 

Cap yang pertama tampak jelas di atas permukaan kulit, sedangkan yang satu lagi tidak tampak. Seakan tersembunyi di bawah kulit. Saat terkena cahaya senter, baru terlihat jelas.

Setelah itu, aku diarahkan ke tempat penitipan KTP, dan ditukar dengan tanda pengenal pengunjung.

Dua petugas mengarahkanku untuk melewati pintu dan berbelok ke kiri. Di ujung sana sudah ada Didi berdiri, sembari melambaikan tangan.

Sebelum kami bisa ngobrol, aku pun harus isi data diri di sebuah buku besar, semacam buku tamu.

Aku menyalami Didi dengan erat. Ada keharuan yang mendalam. Lalu kami menuju ke sebuah aula yang sudah penuh dengan pengunjung lainnya. Kami duduk di lantai beralaskan terpal biru. Mungkin karena pengunjung membludak, sehingga tidak disediakan meja dan kursi. 

Untuk beberapa saat, aku tak bisa berkata-kata. Apalagi ada beberapa anak kecil yang menangis meronta-ronta saat dipeluk dan diciumi oleh ayahnya. Namun sang ayah terus memeluk dan menciumi anaknya, sembari berurai air mata. Aku menahan nafas. Dadaku terasa sesak melihat pemandangan itu...

Kota Baru, Rabu, 26 April 2023, Pk 16.42.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pertanda apa ini

Bunga Teratai

Kedatangan Nova