Gebi
Gebi
Kota Baru, Rabu, 21 Desember 2022 (Pk 23.26).
Seharian ini aku bongkar-bongkar foto lama. Satu per satu kuperhatikan dengan seksama. Sebagian foto ada yang sudah pudar, beberapa ada pula yang sudah rusak. Karena lembab dan dimakan usia. Anicca ya. Tidak ada yang abadi. Semua mengalami perubahan. Namun, foto yang kucari masih belum berhasil kutemukan. Foto Mbak Esti dan Mas Narto.
Aku pun melihat foto masa kecil anak-anakku. Foto itu seperti mengajakku kembali ke masa lalu. Ah...perasaanku jadi berkecamuk. Campur aduk. Betapa cepatnya waktu berlalu. Tau-tau mereka sudah besar sekarang. Satu per satu meninggalkan rumah. Mengejar mimpi dan cita-citanya.
Aku membetulkan letak kaca mataku yang mulai berembun. Kata-kata Gebi seperti mengingatkanku. Kemarin, dia datang berkunjung.
Saat turun dari mobil, Gebi melihat ke sekeliling, dan aku mendapati kalau Gebi tak dapat menyembunyikan keterkejutannya.
"Kenapa Geb? Apa ada yang salah?" Tanyaku penuh rasa ingin tahu.
"Tidak. Tidak ada yang salah, Ho." Dia tampak sedikit gugup.
"Sudah berapa lama kau tinggal di sini, Ho?"
"30 tahun. Semua anakku lahir di sini. Kenapa?" Aku balik bertanya.
"Oooh. Setelah menikah kau langsung tinggal di sini? Nggak apa-apa, Ho. Cuma, nggak kebayang aja sama aku. Jadi, selama ini kau bersembunyi di sini? 30 tahun itu bukan waktu yang singkat, Ho. Tidak mudah untuk bisa menemukan dirimu. Padahal sangat dekat," Ujarnya, sembari menjentikkan abu rokok.
"Aku tidak pernah bersembunyi, atau sengaja melarikan diri, Geb. Semua mengalir begitu saja. Aku menjalani dan menerima porsiku. Memang ini bagianku. Aku tak ingin mempertanyakannya. Mengapa, kenapa, dan seterusnya. Bagiku, cukup jalani saja. Aku percaya, suatu saat nanti, aku akan sampai pada tujuan akhirku. Sekarang, biarkan aku belajar dan terus berproses." Gebi terdiam untuk beberapa saat.
"Mungkin karena usia dan belajar dari pengalaman hidup ya, sekarang, aku pun malas berdebat. Lebih memilih menepi dan diam. Kita tidak harus selalu sepakat dalam semua hal kok, Ho. Cukup tunjukkan sikap respek kita saja," ujarnya. Dan aku iyakan dengan menganggukkan kepala. Pertanda setuju.
"Apa yang bisa kulakukan untukmu, Ho? Kalau kau butuh sesuatu, jangan pernah sungkan untuk mengatakannya." Gebi menutup percakapan sore itu dengan coba meyakinkanku, kalau aku tidak hidup sendirian. Banyak teman yang sayang dan perduli. Salah satunya, ya dirinya.
"Tidak ada, Geb. Aku merasa sudah cukup. Terimakasih. Hidupku baik-baik saja. Doakan supaya aku tetap sehat." Ujarku yakin.
"Baiklah, Ho. Janji jangan menghilang lagi. Jangan pernah berpikir untuk keluar dari grup. Hiduplah untuk saat ini. Jangan menengok ke belakang terus. Tatap masa depan dengan optimis. Aku percaya, kamu pasti bisa, Ho." Ujarnya bersungguh-sungguh.
"Iya, Geb. Terimakasih." Jawabku dengan senyum tipis. Aku pun ingin meyakinkan dia, kalau kekhawatirannya itu berlebihan. Tidak pada tempatnya.
Gebi Yani Bawole, teman kuliahku dulu. Si jabrik yang selalu tampil bak seorang rocker. Dia suka bersiul-siul, tersenyum jahil setiap kali berpapasan denganku, dan menirukan suara Sinterklas.
Hohoho hoho...
Aku jengkel sekali dibuatnya. Sebisa mungkin aku menghindarinya, meski harus jalan memutar. Siapa mengira, setelah tua dan terhubung kembali, justeru dia menjadi salah satu orang yang sangat perduli padaku. Bersama Yoki, Agus, Hendra, Udin, Mahpudi dan Didi Pujohadi.
Kalau aku tidak muncul beberapa hari dan mengucapkan selamat pagi di grup Fikomers '85, mereka bertanya-tanya.
"Cici ke mana ya?" Agus Mbeng dan Hendra yang biasanya mulai mempertanyakan.
"Are you ok?" Yoki japri. Tak jarang, langsung menelpon.
"Cici sehat-sehat sajakah?" Arief, ikut bertanya. Rina Widi, Ani, Susi, Sri Alit, Rika, Helly, Vini dan Eni juga bertanya. Mereka japri. Terharu juga sih aku dengan perhatian teman-temanku itu. Aku tau, mereka semua sibuk. Seperti Eni, satu-satunya teman angkatan kami yang sudah menjadi guru besar. Di tengah padatnya jadwal, Eni masih menyempatkan diri untuk mengecek dan menyapa di grup.
Setiap hari, ada saja yang jadi topik pembicaraan. Obrolan mengalir begitu saja. Kami menyadari, kebersamaan ini harus dirawat bersama-sama. Tidak mudah untuk mengumpulkan satu per satu anggota grup. Mustofa yang pertama kali membuatnya. Waktu itu aku masih belum bergabung.
Aku bersyukur bisa jadi bagian dari mereka. Meski obrolan kami hanya dalam bentuk chit chat. Namun terasa hangat dan meriah. Apalagi ada sosok kocak seperti Didi dan Udin.
"Jigana mah, Cici keur sibuk nuar awi." Seperti itulah Didi Pujo kalau menimpali, selalu dengan gayanya yang jenaka.
Kebersamaan itu terasa mengharukan. Setidaknya bagi aku.
Kami berusaha untuk saling dukung, dan saling menjaga. Tidak menyinggung atau memojokkan, apalagi menghakimi. Kami lebih suka guyon dan membicarakan hal-hal yang ringan saja. Ada kesepakatan tak tertulis yang dilarang keras dibicarakan di grup. Yakni: tentang sara, pilihan politik dan pornografi. Dan tentu saja, tidak boleh menyerang personalitas individu.
"Yang penting kan silahturahminya, Ci. Obrolan para pensiunan mah, yang ringan-ringan sajalah. Yang penting, kita semua hepi. Hidup kita sendiri sudah cukup ruwet. Males juga kalau harus mikir dan bahas topik yang berat-berat...," ujar Yuyus pada satu kesempatan.
Aku satu-satunya Buddhis di grup itu. Tapi aku tidak merasa terasing. Nyaman-nyaman saja. Kami sudah cukup dewasa untuk saling mengerti dan menghargai.
Akhirnya bisa tahu bgm cara memberi komentar. Thanks cc
BalasHapusTerimakasih Dek...🙇
BalasHapus