HBH
Tema yang diangkat Gebi selaku ketua panitia halal bi halal (HBH) Fikom Unpad angkatan 1985 adalah: Release. Bertujuan untuk merajut kebersamaan dan melepaskan beban.
HBH dilaksanakan pada hari Minggu, 22 Mei 2022. Pukul 10.00 - 15.00 WIB. Bertempat di Unpad Training Centre (UTC) Jl. Dago No. 4 Bandung. Tempatnya benar-benar strategis. Ada di tengah kota. Mudah dijangkau. Sehingga yang tinggal di sekitar Bandung, bisa PP. Tak harus menginap. Mungkin, ini juga bagian dari strategi panitia. Agar banyak peserta yang bisa hadir memeriahkan acara.
Dari jauh-jauh hari, aku memang sudah berniat untuk hadir. Rasa kangen bertemu teman-teman lama tak dapat dibendung lagi. 30 tahun lebih kami terpisah. Pasti banyak cerita dan perubahan yang telah terjadi. Aku pikir, kalau bukan sekarang, kapan lagi? Kami sudah mulai menua semua. Belum tentu akan ada kesempatan bertemu lagi nanti. Umur itu misteri hidup.
Malam menjelang hari "H" aku masih belum putuskan mau pakai baju apa. Ehi, gadis kecilku, yang tampak resah. Berkali-kali mengingatkanku.
Aku ingat percakapan di grup Fikomers '85. Ara mengusulkan atasan polos. Disambung Eni. Polos, warna bebas, yang penting cerah. Agar bagus saat difoto.
Akhirnya aku pilih terusan abu-abu. Baju lama sih. Tapi menurutku masih cukup pantas dipakai. Baju itu kujahitkan pada tahun 1998. Saat kelahiran anak ketigaku, Cagga. Modelnya biasa saja. Sederhana. Terusan dengan semua kancing terpasang di bagian depan. Demi pertimbangan praktis saja. Saat itu aku memang sedang menyusui anakku yang masih bayi.
Baju itu aku pakai kembali untuk foto-foto keluarga saat Cagga wisuda (secara on line) dari program pendidikan D3 Tekhnik Mesin, 24 Oktober 2020. Itu kenangan terakhir kami yang terekam dalam momen bahagia, sebelum suamiku pergi untuk selama-lamanya. Padahal, waktu itu aku sudah pilih baju motif kembang-kembang. Bahkan sudah kucoba. Entah mengapa, aku merasa tidak cocok dan menggantinya dengan warna abu-abu polos ini. Mungkin, alam ingin memberi pertanda padaku. Kalau setelah momen bahagia itu, aku akan mengenakan baju berkabung !
Saat mencobanya malam itu, di beberapa bagian terasa agak sesak. Tidak nyaman dipakai. Tapi aku tak kehilangan akal. Beberapa kancing kubuka dan kujahit ulang. Masing-masing kugeser sekitar lima mili. Setelah itu kucoba kembali. Lumayan. Jadi lebih leluasa. Tidak sesempit tadi.
Setelah mencoba baju, Ehi dan Esia, calon mantuku ingin tau, akan kuapakan rambutku besok.
"Paling diikat seperti biasanya saja, ikat ekor kuda gitu," jawabku ringan.
"Jangan diikat satu melulu atuh, Ma. Coba yang lain. Biar beda dikit," saran mereka.
"Iya. Betul itu. Kan mau ketemu sama teman-teman lama?" Esia menimpali.
"Ya sudah. Ikat sebagian saja. Sebagian lagi dibiarkan tergerai. Supaya anak rambutnya nggak berantakan bangetlah saat tertiup angin." Ujarku yakin.
Mereka setuju. Lalu keduanya mengusap-usapkan baby hair lotion ke seluruh rambutku yang belum kering benar. Aku suka pada harumnya yang lembut dan tidak menyengat. Aku tak terbiasa pakai pengeras rambut. Tak tahan sama baunya. Bikin kepala pusing dan perut mual.
"Mama tidurlah. Masukkan barang-barang yang mau dibawa ke dalam tas. Jangan begadang. Biar besok fit dan fresh." Aku tertawa. Malah kedua anak itu yang sibuk mengingatkanku. Aku tenang-tenang saja. Sudah tidak ada yang perlu kutakutkan lagi. Aku bukan gadis remaja yang rapuh dan lemah seperti puluhan tahun lalu. Di usiaku yang sekarang, hidup sudah mengajariku tentang banyak hal. Pasang surut dan manis getirnya hidup.
Keadaan memang sering memaksaku untuk belajar menghadapi dan menerima semua kejadian yang datang padaku. Walau sebenarnya, jauh di lubuk hatiku yang terdalam, ada begitu banyak ketakutan, yang tak dapat kuungkapkan.
Terkadang, aku bahkan tidak diberi kesempatan untuk bisa memilih, selain
pasrah, dan menjalani semua itu. Meski aku tidak siap ! Hanya bisa berserah diri, sepenuhnya, pada semesta.
Aku mengatur hidupku sesederhana mungkin. Meyakini hukum tabur tuai. Selebihnya, biarlah alam yang menuntunku. Apa yang akan terjadi, terjadilah... Aku takkan menghindar. Tak ingin lari atau bersembunyi lagi. Yang jadi fokusku sekarang, kelima orang anakku.
Pukul 06.15 Yoki sudah ada di depan pintu gerbang rumahku. Dia langsung dari Yogya. Aku cepat-cepat jalan ke depan, diantar Bodhi dan Esia.
Yoki menyerahkan sekardus salak pesananku dan dua kotak kue.
"Apa ini? Aku kan tidak pesan?" Tanyaku heran.
"Oooh. Itu hadiah untuk ulang tahunmu," ujarnya, dengan senyum dan nada datar, seperti biasa.
"Oooh. Terimakasih ya..." Aku benar-benar terharu dibuatnya.
Setelah itu, kami pun siap-siap berangkat ke Bandung.
"Titip Mama saya ya Oom," ujar anakku pada Yoki. Dia ingin memastikan kalau mamanya akan aman dan baik-baik saja.
Begitulah anak-anakku. Sangat protektif.
Yoki mengangguk sambil senyum-senyum. Membunyikan klakson sekali, lalu melaju pergi. Mungkin dia membatin, repotnya bawa emak-emak satu ini. Hahaha.
Sepanjang perjalanan, kami membicarakan banyak hal. Antara lain cerita tentang perjalanan hidup kami masing-masing, setelah lulus. Semua pertanyaan Yoki, aku jawab. Aku merasa, tidak ada yang perlu kusembunyikan. Rasanya, kami pun sudah cukup matang dan bijak dalam memandang suatu persoalan.
Dia bertanya, ke mana saja aku selama ini. Mengapa menghilang begitu lama. Lalu, apa yang mendorongku, sehingga tiba-tiba mau muncul kembali? Dia penasaran. Naluri kewartawanannya terusik. Hahaha. "Mungkin, ini juga jadi pertanyaan teman-teman lain lho. Bukan hanya aku," ujarnya.
Yoki pun mengatakan, kalau aku sudah banyak berubah. Dia heran. Kok bisa, setelah muncul dan gabung di grup, setiap hari jadi rajin memberi komen. Sementara dulu, sangat tertutup dan terkesan menjaga jarak dengan teman-teman?
"Dengan ngobrol dan bercanda di grup, aku merasa banyak terbantu dalam menjalani hari-hari. Hidup jadi lebih ringan. Sehari demi sehari lewat tanpa terasa." Dia manggut-manggut mendengar jawaban yang kuberikan itu. Aku percaya, dia mengerti.
Semua kujelaskan pada Yoki. Dengan gamblang. Termasuk harapan-harapanku. Di ujung percakapan kami, aku mengatakan padanya, kalau semua itu ada alasannya. Bukan tanpa sebab. "Kau tau, untuk sampai pada kesadaran itu, aku butuh waktu lama untuk bisa meyakinkan diriku sendiri." Yoki kembali mengangguk, mengiyakan.
Sampai di Bandung masih cukup pagi. Perjalanan lancar. Yoki mengajakku sarapan batagor dulu di Jl. Diponegoro. Banyak yang berlalu lalang, olah raga, jalan sehat. Di beberapa sudut, ada pedagang yang buka lapak di bahu jalan. Menjual kaos-kaos dengan desain unik. Petugas kebersihan menyapu rontokan daun-daun dari pohon-pohon besar yang berjajar rapi. Aku menarik nafas dalam-dalam. Udara Bandung terasa begitu menyejukkan hatiku.
"Gimana rasanya, enak? Kamu suka?" Tanya Yoki. Mungkin dia tak sabar melihatku lama sekali mengunyah. Sementara dia sudah melahap habis batagor di piringnya.
"Iya. Enak. Ma kasih..." Jawabku singkat. Dia menawariku minum dan menanyakan kalau-kalau aku ingin tambah lagi. Aku menggeleng dan bilang padanya, sudah cukup. Tampak sekali dia berusaha ingin menyenangkan hati kawan lamanya. "Terimakasih.Kau selalu baik padaku," ucapku, dalam hati.
Kemudian Yoki memesan beberapa puluh paket batagor untuk dibawa ke Yogya. Katanya untuk dijual lagi. Dia memang seorang pekerja keras, jeli dalam menangkap peluang.
Kami sampai di UTC dua jam lebih awal. Aku tidak langsung masuk. Berdiri sejenak dan mengamati sekeliling.
Dari balik kaca, samar-samar aku dapat melihat kesibukan Rika, yang jalan mondar mandir. Mengatur dan menyiapkan meja untuk potluck. Memeriksa tag name, daftar absen, dst. Rika memang sangat terampil. Tubuhnya yang mungil, lincah bergerak ke sana ke mari.
Jendela kamar lantai dua yang menghadap ke jalan, terbuka. Di sana Yanuar Arpan dan Nokie Adji Saleh berdiri, melambai-lambaikan tangan ke arahku, sambil meneriakkan namaku. Tampak rona kegembiraan di wajah mereka. Aku membalas lambaian mereka, sembari memanggil-manggil nama mereka juga. Aku bisa merasakan adanya gejolak kerinduan di antara kami. 30 tahun bukanlah waktu yang singkat...
Aku masuk dengan berjalan pelan, dan kembali menarik nafas dalam-dalam. "Semoga alam melindungiku, semua akan baik-baik saja," doaku, lalu melangkah masuk. Ternyata, di dalam sudah banyak juga Fikomers '85 yang hadir.
Eni, Nanik, Anggita, Yayi, Rika, menyambutku dengan hangat. Ada rasa haru yang sulit untuk diungkapkan. Kami langsung berpelukan. Lalu berteriak sambil berjingkrak-jingkrak, kegirangan. Seperti anak TK. Suara tawa kami seakan hendak meruntuhkan gedung UTC. Menggema, ke seluruh ruangan. Kami sudah tak menghiraukan pandangan heran dari beberapa pasang mata, yang kebetulan hendak berjalan ke luar. Rasa kangen membuat kami lupa pada umur dan uban di kepala. Yoki hanya tersenyum melihat kehebohan kami. Dia bergegas permisi untuk mandi.
Anggita dan Yayi tampak serasi dalam balutan baju warna biru tua. Keduanya selalu ramah dan ceria. Aku suka pada celetukan-celetukan mereka. Mereka memang pandai mencairkan suasana.
Yayi memberiku tiga macam obat herbal pereda nyeri sendi, dan kembang teleng yang sudah dikeringkan. "Seduh dengan air hangat ya Cican. Bagus untuk kulit," Yayi menjelaskan padaku. Aduh, selalu ada kejutan yang mengharukan.
Eni tampak anggun mengenakan baju kurung warna hitam, dipadu dengan rok panjang bercorak, dari bahan kain tradisional. Kalung mutiara melengkapi penampilannya. Sederhana, tapi elegan. Senyum manis selalu tersungging di bibirnya. Tampak jelas rona bahagia di wajahnya. Eni baru dikukuhkan sebagai seorang guru besar Ilmu Komunikasi. Kami semua ikut bangga atas pencapaiannya itu. Alam demikian baik. Mempertemukan kami semua dalam suasana bahagia di acara HBH, yang mengusung beberapa tema sekaligus.
Tidak hanya untuk menjaga tali persaudaraan dan soliditas angkatan kami. Namun, kesempatan ini juga digunakan untuk memberi penghormatan pada dosen-dosen kami dulu, penyerahan donasi dari Yayasan Rumah Fikom '85 pada pasangan lansia Ibu Ukarsih, ucapan selamat pada Eni atas pengukuhannya sebagai guru besar, dan menampilkan capaian prestasi teman-teman di angkatan kami. Seperti Mahpudi, Mustofa, dll. Angkatan 1985 memang luar biasa, fenomenal, seperti yang dikatakan oleh Pak Roy.
Anggita, Eni, Yayi sebenarnya baru bertemu denganku bulan Maret lalu, saat sama-sama piknik dan reuni ke Yogya. Rika juga. Tahun lalu, aku mampir ke "Legit" bareng anak-anak. Hanya Nanik yang benar-benar belum pernah bertemu lagi, setelah 32 tahun. Dia lulus tahun 1990.
Nanik mengenakan atasan putih polos. Dipadu dengan kain panjang tradisional bermotif batik khas Jawa Tengah. Warna coklat tua. Tampilannya menyerupai ibu-ibu pejabat. Cantik dan rapi.
Kami duduk di sofa lobi. Sambil menunggu acara dimulai. Mengenang masa lalu dan bercerita tentang keluarga kami kini. Senangnya, bisa bertemu dengan teman sedaerah.
Dalam penglihatanku, Nanik tidak banyak berubah. Lincah, gesit dan masih suka ngakak juga. Dia memang rajin olah raga. Bersepeda. Dia sering membagikan momen bersepedanya di grup. Bermaksud memotivasi teman-teman lain agar mau terus semangat bergerak.
Suaranya masih sekencang dulu. Sama seperti aku. Pertemuan ini memberi kebahagiaan tak terhingga. Kami tertawa lepas, sekeras-kerasnya, dengan perasaan yang masih sama seperti saat di Sekeloa. Lepas begitu saja. No jaim-jaim. Aih, seperi ini rupanya melepas rindu. Senangnya...
Setelah puas menanyakan kabar masing-masing, Eni dengan semangat mengajak untuk berfoto. "Hayu, foto dulu. Mumpung masih sepi, jadi kita tak perlu antri."
Kami pun bergaya bak gadis remaja, dengan arahan fotografer, yang sedang uji coba lighting.
"Kami dengan sukarela mau jadi tester fotonya kok, Pak," kata Rika, dengan manisnya. Diikuti derai tawa kami.
Fotogafernya pun senyum-senyum melihat tingkah kami. Sayang, Dilla, Hendra, Nova, Tri dan Ulan tak bisa hadir. Padahal, gaya mereka seru banget saat berfoto. Berbeda dengan diriku yang mati gaya. Entah mengapa, aku selalu merasa malu saat difoto. Seperti ada yang membelenggu hatiku. Makanya, aku hampir tidak punya foto diri yang bagus.
Saat kami berenam sedang asyik berfoto, aku melihat Abo dan Didi menuruni tangga, dari arah sebelah kanan. Tanpa dapat ditahan, aku berteriak-teriak memanggil Didi.
"Didi, Didi. Siniii..." Didi membalas seruanku. Secepat kilat, ia memutar tubuh dan bergabung dengan kami.
Duh, hebohnya.
"Ho Lian..." Hanya kata-kata itu yang keluar dari mulutnya. Untuk beberapa saat, Didi memandangiku lekat-lekat, sembari menggeleng-gelengkan kepala. Tampak sekali kalau dia terharu.
Seperti tak percaya kalau kami bisa bertemu lagi, setelah sama-sama menua begini. Kemudian, Didi memegang kedua tanganku erat-erat. Genggaman tangannya terasa hangat.
Beberapa saat kemudian, aku mengepal-ngepalkan kedua tanganku. Seakan ingin meninju wajahnya. Dia tertawa terkekeh-kekeh. Sedangkan Abo mendekat dengan tenang. Dia menepuk-nepuk pundakku. Dengan suara lembut, kebapakan, dia menyalami dan menanyakan kabarku. Lalu kami berfoto-foto kembali. Diiringi derai tawa yang seakan tidak ada habis-habisnya.
Satu per satu tamu undangan mulai berdatangan. Aku masih duduk di sofa lobi. Menyapa teman-teman yang baru sampai. Dari kejauhan, aku melihat Vini berjalan memasuki ruangan. Jalannya cepat. Vini tampak gesit. Memakai gamis merah muda, senada dengan warna kerudungnya. Di mataku, Vini masih semanis dulu. Malah tampak lebih lincah. Di ingatanku, dia dulu pemalu. Lemah gemulai.
Aku pun bertemu dengan Udin, Haidar, Iwan Isdawarman, Yuyus, Setio Dewanto, Lilik Leksono, Fathoni, Agus Supriadi yang sibuk sebagai seksi dokumentasi, si alim Kadar Solihat, dan Demi yang tampak tampan sekali mengenakan peci. Kami hanya bisa saling menyapa. Bergurau sebentar. Senang bisa bertemu, meski tak sempat ngobrol. Hanya bisa tertawa-tawa.
Makin siang makin ramai. Panitia meminta kami untuk masuk ke ruangan. Saat aku hendak berjalan masuk, Naomi muncul dan sudah ada di sebelahku. Dia mengajakku duduk di sebelahnya. Kemudian dia memberiku sekotak kue. Katanya untuk hadiah ulang tahunku.
Orang sesibuk dirinya, ternyata masih mau menyempatkan diri membaca grup. Padahal dia hanya setahun di Fikom. Tapi masih mau mengaku sebagai bagian dari Fikom '85.
"Seharusnya aku di Surabaya sekarang. Tapi karena ingin bertemu teman-teman, khususnya dirimu, yang tak pernah muncul, jadi kutunda. Ada beberapa urusan juga. Mau ketemu orang. Aku naik pesawat nanti malam..." jelasnya tanpa kuminta. Dia masih seramah dulu. Jabatan tidak membuatnya jadi berjarak dengan orang-orang yang pernah dikenalnya. Mungkin benar ya seperti yang dikatakan oleh orang-orang bijak, cerdik cendikiawan. Bahwasanya, dalam pertemanan, there is no status. Kami pun terlibat dalam obrolan yang ngalor ngidul.
Tak lama berselang, Inez, Kikiet, Liza Librayani, Nuning, Akhdiati, Nisa datang menyapa. Ada Erna Herliana dan Nuraini juga. Suasana ramai sekali.
Aku hampir tak percaya, Nuning bicara dengan suara yang sangat halus. Nyaris tak terdengar olehku. Dia tampak sangat tenang dan keibuan, seperti Nisa.
Liza yang dulu pendiam, terlihat sangat ceria. "Iya dong. Harus itu. Cukup di kantor aja jaimnya," ujar Liza, menjawab keherananku. Lalu dia mengajakku mencicipi makanan yang berjajar di bekang tempat duduk kami. Beraneka jenis kue tersaji.
Gebi mulai membuka acara. Aku duduk manis memperhatikan. Amy Meilani dan Endang Retno baru datang. Disusul Nuni dan Jeng Yayu. Kami hanya bisa saling melempar senyum.
Dini Maharani menepuk pundakku. Dia datang bersama Susi. Lalu mereka duduk di sebelahku. Kemudian Dini menyerahkan sebuah kotak yang lumayan besar padaku.
"Apa ini?" Tanyaku keheranan.
"Ini kue coklat untuk Cici. Selamat ulang tahun ya Ci." Dini merangkulku.
"Kan sudah lewat?"
"Gpp. Memang sengaja beli untuk Cici. Baru bisa ketemunya hari ini." Ucap Dini dengan suara khasnya yang merdu, sembari mengedip-ngedipkan matanya. Gayanya kocak sekali. Dini memang sosok periang. Memiliki semangat yang luar biasa.
Waktu kami jalan-jalan ke Yogya, dia banyak menghibur kami, dengan lelucon-leluconnya. Bersama Antiq dan Hendra. Kami di bis tertawa semua. Aku nyaris ngompol dibuatnya. Padahal waktu itu dia baru habis operasi. Semangatnya mengagumkan.
"Terimakasih ya Dini." Aku hanya bisa mengucapkan kata-kata itu. Terharu untuk semua perhatiannya.
Saat melihatku, Antiq dan Marie langsung mengajak berfoto.
"Ma kasih ya Lian. Kehadiranmu di grup menghibur banget." Aku malu mendengar ucapan Marie itu.
"Ketauan ya kalau aku ini pengangguran," ujarku sambil tertawa.
"Nggak. Beneran kok. Kehadiran kamu makin mempererat hubungan antar sesama Fikomers." Dia coba meyakinkanku. Marie masih seperti waktu kuliah dulu. Ceria dan selalu fashionable.
Antiq memelukku dengan hangat. Lalu mengambil foto kami berdua. Dia sudah tau kalau aku tidak pandai moto. Jadi setiap ada kesempatan, dia yang menawarkan diri sebagai fotografer. Lalu hasilnya ia kirimkan padaku. Antiq dan semua teman yang hadir di HBH, baik-baik dan tulus. Sudah bisa saling memahami. Meski tanpa harus banyak berkata-kata.
Asep Tatang, Adji, Enton Supriyatna, Imas Wina, Iwan Suryawan, Wati Sukmawati, Deni Supardi, Ella, Dani, masih dengan senyum yang sama, ramah menyapa. Wati pun mengajak foto bersama. Lagi-lagi dia yang mengambil gambarnya.
Aku memang tak pandai moto selfie. Tidak seperti Lilis yang sudah siap dengan tongsis, dan bisa berkeliling mengajak teman-teman berfoto secara bergantian.
Saat menjelang makan siang, Inne dan Ria Bia baru muncul. Mereka tampak kurang sehat. Sepertinya kelelahan. Aku sempat berpapasan dengan Ara dan Pak Roy. Ternyata mereka pernah sama-sama belajar di Inggeris.
Aku kagum pada kelincahan Pak Roy. Menularkan kegembiraan dengan membangkitkan memori kami sebagai maba 37 tahun lalu. Menyanyikan lagu Darling I Can Love One, Susu Arab, dan UNPAD. Aku sempat ngobrol sebentar dengan beliau.
"Saya sudah pensiun dua tahun lalu. Sekarang umur sudah 69 tahun. Tinggal tunggu waktu dipanggil tho? Saya ingin sisa hidup saya berguna. Selalu gembira dan bisa berbagi kegembiraan pada siapa saja." Aku tak mampu berkata-kata mendengar ucapan Pak Roy itu. Bijak sekali.
Saat hendak jalan menuju ruang makan, aku bertemu dengan Lia Kuswela dan Siti Mulyani. Sayang, Sri Alit Mulyani tak bisa datang ya. Aku bertemu Kris belakangan, saat hendak mengambil es cin cau. Lisa Ratriana pamit duluan, karena masih ada acara.
Mas Sugi, Nana, Walid, Darmanto dan Unu Nugraha, teman sejurusan dulu, yang hobi catur, dan merupakan lawan tertangguh Pepih Nugraha, sempat bercakap-cakap sebentar denganku. Unu mengenakan ikat kepala khas Sunda. Dia tampak sehat dan gagah. Suaranya masih sama. Tidak berubah.
Aku menyalami Adis dan Hesty. Kami hanya saling melempar senyum. Tak sempat ngobrol. Musi dan Ninong menyalamiku. Ninong bertanya, apakah aku masih bisa mengenali dirinya. Aku jawab iya. Aku memang masih bisa menandai senyum manisnya yang khas itu. Ada juga si mungil Iis Muntasiroh yang lincah. Anna Mutia yang datang dikawal oleh kakak senior Isyak Istamboel. Mereka tampak serasi. Ada Wina, Rini, Tanty, Rumanti Hanarika yang tenang dan anggun. Juga ada Nuy dan Agus Heropatria. Nuy datang terlambat karena ada acara pernikahan ponakannya di hari yang sama. Agus Hero tertawa saat aku memuji anak laki-lakinya yang tampan.
Pada saat menyalami para dosen, hampir semua tak ingat lagi pada kami. Kecuali mereka-mereka yang istimewa, seperti: Mustofa, Tatat, Gaudensius, Yudi Latief, Eni, Gebi, Wina, Kokom dan Yunus Winoto. Tapi ada satu dosen yang masih bisa mengingatku dengan baik. Pak Agus Rusmana.
"Bapak masih ingat saya?" Aku hampir tak percaya.
"Masih. Kamu kan si judes yang suka protes itu. Penampilan kamu masih sama seperti dulu. Saya baca tulisan kamu di buku "Jejak Sekeloa Fikom '85." Itu menggambarkan diri kamu banget." Pak Agus mempertegas jawabannya. Beliau meyakinkan kalau beliau memang masih bisa mengingatku dengan baik. Senangnya...
Meski para bapak dan ibu dosen tak bisa mengingat kami, tapi hal itu takkan mengurangi rasa hormat kami. Tanpa bimbingan kalian, tentu tidak ada kami seperti hari ini. Terimakasih banyak.
Setelah usai makan siang, para dosen pamit. Kami semua menyalami. Setelah itu acara berlanjut dengan lebih cair. Arief dan Irma nyanyi berduet. Pak Bos Yuyus juga menyumbang satu lagu. Masing-masing jurusan tampil ke depan. Menyanyi. Ada doorprize.
Dari semua jurusan, Jupeners yang paling kompak. Maklum. Di jurusan Penerangan bertaburan bintang. Di situ kan ada Anto "Ariel No Ah." Sonny Makasar nyawer. Iis berjoget lincah. Benar-benar menghibur.
Saat aku tertawa-tawa begitu, Wenny muncul. Katanya sudah minta izin sebentar. Tamu The Valley hari ini tidak terlalu ramai. Jadi bisa ditinggal. Gebi dan teman-teman lain mengajak Wenny maju. Mereka nyanyi dan joget bersama.
Tedy Nawardin juga tampil dengan menirukan gaya seorang kapiten. Cocoklah. Dia dan Adri Maharta sepertinya lambat dalam mengalami proses penuaan. Awet. Style mereka pun masih sama seperti saat kuliah. Tetap cool.
Nanot menyapaku dengan gaya lucu, berkacak pinggang. Kepalanya bergoyang-goyang.
"Lian, inilah diriku sekarang. Masih ingat sama aku tho?" Aduh Not, gayamu itu lho. Hahaha. Jadi ingat sama julukanmu sebagai koboi rantang.
"Ingetlah." Jawabku sembari tertawa. Nanot masih mempertahankan model rambutnya seperti dulu. Sama seperti Iwan Suryawan.
Rina Wuryanti dan Yuli Hastuti tampak menikmati sekali jalannya acara. Mereka ikut berjoget-joget. Aku baru tau kalau Ari Heryadi itu teman SMA Yuli. Ari datang menghampiri saat Yuli dan Rina sedang makan. Ada Eni juga yang sedang menceritakan perjuangannya sewaktu melamar jadi dosen Fikom. Atas request Yuli.
Yuli Hastuti beberapa kali memelukku. "Sehat-sehat ya Lian. Kami tau kau seorang ibu yang kuat." Aku hanya bisa membalas ucapannya dengan anggukan. Aku tau, dia sedang coba menghibur dan memberi penguatan padaku.
Ari Heryadi, sama seperti Naomi. Meski hanya sebentar di Fikom, tapi tetap mau ngaku seduluran dengan kami. Aku benar-benar respek pada orang-orang seperti mereka. Jabatan tidak membuat mereka tinggi hati, dan memisahkan diri.
Di tahun kedua, Naomi berkuliah di Seni Rupa ITB, sedangkan Ari pindah ke FKG. Antiq dan teman-teman lain menyebutnya sebagai Fakultas Peternakan Gigi. Hahaha. Jangan marah atau tersinggung ya. Anak-anak Komunikasi memang jago mengutak-atik kata.
Aku sempat menyapa Yudi Tarikun. Sang juragan sukro. Aku menyebutnya Yudi Garuda. Agar tidak tertukar dengan Yudi Latief. Dia masih suka tertawa lebar seperti dulu. Bedanya, sekarang lebih rapi, dan rambutnya sudah tidak keriting lagi.
Mungkin benar yang dikatakan Demi. Sebelum tidur, mereka mengikat rambutnya dulu, dan diberi batu sebagai pemberat. Sehingga saat bangun keesokan harinya, rambut mereka sudah berubah menjadi lurus. Aduh Demi. Kamu lucu sekali.
Saat giliran Jurusan Jurnalistik maju untuk foto dan nyanyi bersama, tanpa ragu aku menarik tangan Suherman Emje agar duduk di sebelahku. Barisan belakang sudah penuh. Yoki saja nyaris terpental.
Kami bernyanyi sambil berpegangan tangan. Menggerak-gerakkan tangan sambil mengikuti irama lagu "Terajana." Tangan kiriku dipegang oleh Endang Retno. Tangan kananku memegang tangan Emje. Tangan Emje terasa dingin sekali.
Kami semua bergembira. Bersyukur, masih sempat bertemu dan menyapa teman-teman lama. Sampai acara usai, rasanya belum rela untuk berpisah.
Pulangnya, aku diantar Arief dan Agus Mbeng. Arief menceritakan rasa penyesalannya, kenapa tidak dari dulu mengenal dekat teman-teman Fikomnya. Terlebih yang berstatus sebagai mahasiswa perantau. Dia baru mengetahui kesulitan yang mereka hadapi, saat membaca buku "Jejak Sekeloa Fikom '85."
Arief berharap, anak-anaknya bisa lebih peka dibanding dirinya. "Andaikan saja waktu bisa diulang...." kata Arief pelan.
Arief dan Yenny isterinya, akan berangkat naik haji pada tanggal 19 Juni 2022. Selamat menjalankan ibadah haji ya Rief. Sehat dan berkah selalu...
Mbeng menceritakan putri semata wayangnya yang fasih berbahasa Inggeris dan kerap mengikuti berbagai macam lomba. Dia bangga pada kecerdasan anaknya.
Kami semua berharap, anak-anak kami bisa punya kehidupan yang lebih baik dan bahagia.
Meski sudah lama menetap di Jakarta, Arief dan Agus Mbeng tetap memiliki tutur kata yang sopan dan halus.
Akhirnya aku tiba di rumah dengan selamat. Membawa berjuta rasa bahagia, setelah bertemu dengan teman-teman lama di acara HBH.
HBH sudah berlalu lebih dari satu minggu. Tapi di grup masih saja ramai dibicarakan. Setiap hari ratusan percakapan menghiasi grup angkatan kami. Bersahut-sahutan.
Semoga semangat kebersamaan ini tetap terjaga. Kita semua sehat, dan masih berkesempatan untuk bertemu lagi.
Terimakasih teman-teman. Bangga jadi bagian dari Fikomers '85. I love you, all...!
Kota Baru, Minggu, 5 Juni 2022 (Pk18:52).
Komentar
Posting Komentar