Buku "Bukan Dramaturgi"

Gebi menghubungiku H-3. Tidak bilang apa-apa. Hanya mengirimkan screen shoot percakapannya dengan Ulani tentang buku "Bukan Dramaturgi." Saat itu aku sedang menikmati sebungkus sukro sambil mendengarkan lagu kesukaanku. Melupakan penat sejenak, menghibur diri sembari bernyanyi-nyanyi kecil. 

Aku terkejut. Aku pikir, urusan buku sudah selesai. Jadi, aku tenang-tenang saja. Tak mengira sakit Ulani kali ini cukup serius dan butuh istirahat total.

Aku langsung menelpon Dina, Yenny dan Wenny. Tanpa basa basi, aku ceritakan pesan Gebi, dan meminta mereka mengumpulkan buku-buku itu. Sesegera mungkin. Mereka bertiga tinggal di Bandung, sehingga merekalah yang paling memungkinkan untuk bisa mengantarkan buku-buku itu ke rumah Inne. 

Aku minta pengertian mereka. Setengah memaksa. "Beneran kirim ya. Jangan sampai meleset lho. Kalo nggak, aku yang diuber-uber sama Gebi nanti." Ujarku dengan nada serius. Sedikit menekan juga. Aku sendiri pun agak merasa tertekan setelah membaca chat Gebi. Hahaha. 

"Tadi pagi sudah dibawa anakku, Ho. Nanti sore, kira-kira pukul 15 akan diantar. Setelah anakku selesai mengajar," kata Dina. 

"Oke. Aku hubungi Inne dulu ya." Tanpa menunda, aku langsung telpon Inne. Ternyata Inne lagi di jalan. Sedang ambil suvenir untuk dosen, dan  baru akan tiba di rumah setelah pukul 17. Bergegas aku balik menelpon Dina. 

"Din, bukannya kau bilang Anggi mau hang out dengan teman-temannya hari ini? Bagaimana kalau minta anakmu jalan-jalan dulu, setelah itu baru kirim bukunya ke rumah Inne, pukul 17? Bisa kan?" Anggi, puteri Dina, dalam waktu dekat akan menyusul suaminya dan menetap di Norwegia, sehingga ingin menghabiskan banyak waktu dengan teman-temannya, sebelum mereka benar-benar berpisah. Tepatnya tanggal 4 Juni 2022. Pukul 01.00 dinihari akan terbang meninggalkan Indonesia.

Lalu kuhubungi Yenny.
"Aduh, Lian. Aku di luar kota ini. Akan aku usahakan kirim pakai gojek. Kalau tidak hujan, sore ini. Tapi kalau hujan, besok pagi ya baru kukirim." 

"Baiklah," jawabku, lemas.
Aku kontak Inne lagi dan menanyakan padanya, apakah besok pagi dia ada di rumah?
"Saya ada di rumah sampai pukul 8. Setelah itu keluar. Masih banyak hal yang harus dikerjakan."

Aku mengerti betapa sibuknya panitia, harus memikirkan dan menyiapkan segala sesuatunya. Dari hal-hal besar sampai perintilannya. Aku kembali  menelpon Yenny. Aku takkan bisa tenang sebelum urusan buku beres.

"Yen, apa nggak bisa sekarang aja digojekin? Lebih cepat kan lebih baik? Kalau kirim besok, tidak ada yang menerima, Yen. Bagaimana kalau buku-buku itu hilang ? Inne sibuk. Pagi-pagi sudah keluar..." Aku coba membujuk. Akhirnya Yenny setuju. Duh, leganya...!

"Sudah dikirim, Lian. OTW..."

"Nuhun, Yen. Maaf ya. Sudah merepotkanmu. O ya, ongkirnya nanti kuganti..." ujarku sungguh-sungguh.

"Nggak usah, Lian. Cuma enam belas ribu rupiah," jawabnya lembut. 

"Nuhun, Yen. Sehat dan berkah selalu ya." Aku menutup percakapan malam itu dengan rasa haru. Tak lama kemudian, pesan dari Inne masuk, mengabarkan kalau buku dari Dina dan Yenny sudah ia terima dengan baik. Leganya...
Tinggal Wenny yang belum. Aku pun mewanti-wanti dirinya. Agar jangan sampai lupa.

"Iya, Ci. Jumat aku antar ke rumah Inne. Sekalian berangkat kerja." Wenny satu-satunya dari Wabi yang selalu panggil "Cici" padaku. Dia pun membahasakan anak-anaknya untuk panggil "a-ie". Artinya sama dengan "bude/uwak". Mungkin dia menganggap aku sebagai kakaknya. Ke Wabi yang lain anak-anaknya panggil "tante". 

Jumat Wenny mengabariku. "Sudah kukirim ya Ci." Tak lama berselang, pesan dari Inne pun masuk. "Lian, buku dari Wenny sudah kuterima. Terimakasih ya..." Syukurlah. Aku merasa seperti baru terbebas dari sebuah tekanan. Aku segera mengabari Gebi.

Sebelum buku-buku itu dikirim, kami pun terlibat diskusi.

"Sejujurnya, saya malu, Lian. Itu kan cerita tentang penggalan hidup kita. Siapalah kita ini. Kita bukan siapa-siapa. Banyak orang hebat di luar sana. Apa ada yang mau baca buku kita?" Yenny mengungkapkan keraguannya.

"Iya, Ci. Maluuu..." Wenny menimpali.

"Nggak usah malu. Anggap ini sebagai kesempatan kita untuk berbuat baik. Justeru banyak kisah dari orang-orang biasa seperti kita yang bisa menginspirasi," aku coba meyakinkan teman-teman Wabi. "Yang penting, niat kita baik. Tulus. Mudah-mudahan akan  direspon baik juga." Ucapanku diaminkan oleh Ulan, Nova, Dina dan Amie. 

"Semoga buku kita memberi kebaikan. Bermanfaat. Aku lega. Buku itu ada di tangan orang-orang yang tepat," Dina yang keibuan coba menghalau kekhawatiran kami dengan kata-katanya yang selalu menyejukkan. Semua terdiam.

"Terimakasih, Ci. Cici sudah mau menjembatani kami." Tidak mengira, Wenny yang irit bicara bisa mengatakan itu padaku.

"Terimakasih untuk apresiasi  Fikomers '85," ujar Ita terharu membaca komen dari teman-teman.

Terimakasih Wabi. Terimakasih Fikomers '85. Kalian banyak membantuku melewati hari-hari dengan berbagi cerita, tawa dan canda. Semoga kita selalu sehat ya. Dan tetap semangat dalam menjaga dan merawat nilai-nilai kebersamaan ini...

Kota Baru, Minggu, 29 Mei 2022 (Pk 15:15).

Komentar

  1. So happy buku Bukan Dramaturgi bisa dibaca oleh teman2 Fikom yang lain. Semoga beberapa tahun ke depan bisa nulis bareng2 lagi dengan cerita hidup yang semakin bermakna

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pertanda apa ini

Bunga Teratai

Kedatangan Nova