Ulang Tahun Dhamma
Hari ini Dhamma genap berumur 18 tahun. Tidak ada perayaan istimewa. Kehidupan berjalan seperti biasa. Aku hanya goreng ayam. Dan memberikan bagian paha padanya. Karena bagian itu saja yang dia suka. Dagingnya lebih lunak, gampang dikunyah.
Di antara lima bersaudara, dia yang paling lama makannya. Sehingga sering kuomeli. Terlebih di pagi hari. Saat semua harus serba cepat. Isi presensi.
Masa-masa dia SD dan SMP merupakan masa-masa yang berat. Dari subuh aku sudah berkeringat. Menyiapkan bekal dan memastikan anak-anak sarapan dulu sebelum berangkat sekolah. Pukul 06.30 sudah harus siap di depan pagar. Kalau tidak, akan ditinggal jemputan sekolah. Dan terpaksa naik ojek, yang berarti akan menambah biaya pengeluaran lagi.
Cagga lebih parah lagi. Jam 05.00 sudah harus berangkat. Dia dua kali berganti angkot agar bisa sampai ke sekolahnya, di Purwakarta. Berjarak sekitar 25 km dari tempat tinggal kami. Kebijakan bupati kala itu menetapkan, KBM dimulai pada pukul 06.00 WIB.
Seperti pagi ini. Aku kembali mengomeli Dhamma. Ada try out dari sekolah. Sekarang dia kelas XII. Tapi dia masih bermalas-malasan di kasur. Sambil mengecek, berapa banyak orang yang sudah melihat dan memberi like pada gambar komik unggahannya. Aku merasa tak enak pada wali kelasnya. Bu Sabdo Handoyo, guru yang baik dan telaten. Selalu rajin menelponi murid-muridnya. Satu per satu. Hanya untuk memastikan kesiapan mereka. Anakku salah satu orang di antaranya.
"Ayo, cepat. Siap-siap. Mama malu diingatkan terus sama wali kelasmu. Dikira Mama ini tidak perhatian sama anak. Padahal bukan Mama yang nggak ngingetin. Tapi kamunya yang kurang kesadaran." Ujarku, bersungut-sungut. Sambil menarik bantal gulingnya. Hari ini cukup panas. Mau aku jemur-jemuri. Sarungnya mau kucuci.
Dia bangun dengan gerakan lamban. Melihat itu, kemarahanku jadi bertambah.
"Ayo, buruan mandi. Air panasnya sudah Mama tuang. Masih kurang baik lagi?" Kali ini suaraku agak meninggi. Mataku terbuka lebar. Tanpa senyum, aku memandang ke arahnya.
"Iya, iya." Dia berlalu dengan langkah terseret, diikuti pandangan tajamku.
Setelah selesai mandi, dia menyalakan lap top. Sudah terlihat lebih segar. Aku lega.
"Sambil ngerjain soal, bisa disambi makan kan?" Aku khawatir dia nggak bisa fokus.
"Nggak. Nggak sempat, Mama. Waktu yang diberikan itu sangat singkat." Dia menjawab dengan tenang. Tanpa mengalihkan pandangannya dari layar lap top.
"Makanya...Telat melulu sih bangunnya." Aku berlalu sambil menggerutu. Anaknya senyum-senyum saja.
Aku ke belakang lagi. Mengerjakan pekerjaanku. Ada seember gede cucian menanti. Butuh tiga kali putaran untuk mengeringkannya. Sudah dua hari aku tak mencuci.
Aku berharap, Dhamma selalu sehat. Seiring pertambahan usianya, dia pun akan semakin dewasa. Menyadari tanggung jawabnya. Tak selamanya aku ada untuk mendampinginya.
Sebenarnya, aku tidak marah dia gemar menggambar. Aku malah bangga dengan talentanya itu. Yang bikin aku kesal dan suka memarahinya, ya itu, dia belum bisa membagi waktu secara bijak. Antara sekolah dan hobinya. Porsi waktunya tidak berimbang. Dia lebih banyak menghabiskan waktu untuk menggambar. Tak jarang, sampai begadang. Sehingga tugas-tugas dari sekolah, tidak maksimal dikerjakan. Padahal aku tau. Dia bisa mengerjakan dengan lebih baik lagi.
"Sudah jam berapa ini? Kok belum tidur? Besok kan hari sekolah?" Hampir tiap hari aku mengulang-ulang kalimat itu.
"Iya. Sebentar lagi. Tanggung. Satu sketsa lagi. Mumpung ada inspirasi. Kalau ditinggal, nanti idenya hilang." Selalu jawaban itu yang ia berikan. Tetap tak bergeming dari depan lap topnya.
"Jangan kemalaman lho. Tugas Bahasa Perancismu gimana? Sudah dikerjakan belum? Batas waktunya akhir minggu ini lho. Di grup orangtua murid sudah ada pemberitahuannya..." Aku selalu mengingatkannya. Aku berharap dia tetap bertanggung jawab pada sekolahnya.
"Iya, Mamaaa..." Jawabnya singkat, sembari menghela nafas panjang. Ada penekanan khusus. Pelan, tapi panjang. Dia tampak agak kesal. Aku meninggalkannya dan kembali ke kamarku. Melanjutkan tidurku. Beberapa hari ini, aku lelah sekali. Aku melihat Ehi sedang asyik merajut. Belajar dari youtube.
"Tidur. Dah larut ini. Besok kan bisa dilanjutkan lagi?" Aku senang melihatnya mau belajar kerajinan. Tanpa disadari, kegiatannya itu bagian dari melatih kesabaran dan ketekunan. Kemarin, Prajna sudah mengirimkan beberapa gulung benang wol dari barang dagangannya, untuk Ehi belajar merajut. Prajna memang sayang sama adik-adiknya, selalu memberi dukungan. Sejauh itu positif.
Cagga dan Prajna juga membelikan peralatan gambar untuk Dhamma. Agar Dhamma bisa menghasilkan gambar-gambar yang lebih baik. Melihat mereka akur dan saling support, cukup membesarkan hatiku. Semoga akan terus begitu.
Di antara kelima anakku, Dhamma yang paling sabar. Anaknya pun lebih pendiam. Sangat tau diri. Tidak pernah minta yang aneh-aneh. Suka melucu. Dia suka menirukan gaya dan kata-kataku saat sedang marah, sembari tertawa-tawa. Hanya, kalau sedang asyik menggambar, dia tak mau diganggu.
Semoga ke depan, dia makin bijak dalam membagi waktu. Sehingga tak perlu mendapat omelan dariku lagi.
Selamat ulang tahun ya Nak. Semoga selalu berkah. Alam akan menjaga dan melindungimu.
Beberapa waktu lalu, Dhamma mengirimkan hasil gambarnya padaku. Ceritanya lucu. Aku suka. Meskipun di situ dia agak menyindir diriku. Ibu yang tidak piawai dalam hal masak memasak.
Kota Baru, Sabtu, 5 Maret 2022 (Pk 13.11).
Wah baiknya aku sebagai anak
BalasHapusBerterima kasihlah ma punya anak sepertiku
Hm...🤔😏
HapusIyaaa...😄😄😄
Happy Birthday Dhamma, all the best buatmu. Komiknya kocak banget
BalasHapusTerimakasih untuk apresiasinya Bu Novajanti Jacobs. Akan jadi motivasi tersendiri bagi Dhamma...🙇🙇
Hapus