Terkungkung

Hari ini terasa begitu membosankan. Bangun pagi-pagi, langsung ke dapur. Masak nasi, rebus air, lalu ke depan. Buka pintu gerbang, sambil sapu-sapu dan menyiram tanaman. Atuk masuk kerja pukul delapan.

Lagi-lagi ada onggokan sampah di depan pagarku. Belum lagi kantong-kantong plastik bekas yang tertiup angin dan memenuhi got. Aku kesal.
 Betapa rendahnya kesadaran orang-orang. Buang sampah seenaknya saja.

Aku bakar sampah-sampah itu. Sembari menggerutu dalam hati. Benar-benar menjengkelkan. Hanya menambah buruk suasana hatiku.

Sambil menyapu, aku mengingat-ingat kembali kata-kata Dhamma semalam. Jujur, aku agak terpukul.

"Aku sedih. Sudah sebesar ini, tapi tidak punya teman dekat yang bisa diajak curhat, atau sekedar bercanda, selain keluarga sendiri. Dulu, Mama selalu melarang aku main ke rumah teman. Sekarang, aku suka merasa kesepian. Seperti minggu lalu. Sendirian di kontrakan. Hanya bisa memandangi langit-langit kamar. Ingin ngobrol dengan teman, tapi tak tau harus mulai dari mana. Rasanya kikuk. Tidak terbiasa. Makanya, waktu SD dan SMP, aku senang sekali kalau Nuel dan Zacky datang main ke rumah." Aku tak mengira dia akan mengatakan semua itu padaku. Aku terkejut, sekaligus sedih mendengarnya.

Aku bukan ibu yang baik. Tak bisa memahami perasaan anakku sendiri. Ada rasa bersalah.

"Maafkan Mama, sayang. Mama tidak bermaksud mengungkungmu. Saat itu, keadaan kita juga sedang sulit. Emak sakit parah. Kondisi keuangan keluarga pas-pasan. Itu yang mendorong Mama membuat keputusan seperti itu. Mama pun tak berdaya. Tidak semua hal dapat Mama kendalikan. Tolonglah,  untuk mengerti." Aku mengatakannya sembari menitikkan air mata. Aku bingung. Tidak terpikirkan olehku akan menghadapi hal-hal seperti ini, seorang diri. 

Aku berharap dia bisa menerima semuanya. Berdamai dengan hatinya sendiri. Tidak meratapi diri, larut dalam kesedihan. Menyalahkan keadaan. Aku coba mengatakan padanya, memang jalan seperti itu yang harus kami lalui. Masing-masing orang punya karmanya sendiri-sendiri.

"Saat kuliah nanti, kau akan bertemu dengan banyak teman baru. Kau bisa mulai membangun hubungan pertemanan dengan mereka. Mama percaya kamu pasti akan bisa cepat beradaptasi." Aku coba meyakinkannya.

"Mama dulu juga begitu. Waktu awal-awal  tinggal di Bandung. Terkejut-kejut. Maklumlah,  baru datang dari kampung. Gugup mengikuti perkuliahan, dan pergaulan di kampus. Minder banget. Merasa asing. Tapi lama-lama bisa juga berteman. Banyak yang baik kok." Lagi-lagi aku meyakinkan anakku.

"Meskipun hidup kita serba terbatas, setidaknya, kita tetap utuh sebagai keluarga. Kita saling mengasihi. Dan sampai hari ini pun kita masih bersama-sama. Itu yang harus kita syukuri. Tidak semua orang punya kesempatan seperti itu..." Aku berusaha menghiburnya, dengan menawarkan sudut pandang yang berbeda. Berharap dia tak sedih lagi.

Banyak hal yang butuh perhatianku, saat itu. Sebenarnya, kalau boleh jujur, aku pun tak sanggup menanganinya seorang diri. Banyak keterbatasan yang membatasi keleluasaan gerakku. Suamiku kerja di Jakarta. Setiap akhir pekan baru pulang. Di rumah tidak ada siapa-siapa lagi. Aku lakukan semua, sebisaku. Kami semua sedang berjuang.

Aku memang lebih memilih anak-anak bermain di lingkungan rumah sendiri. Agar mudah diawasi. Aku tak sempat kalau harus antar jemput atau menunggui mereka main di rumah teman. Banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan. Ada ibu mertua yang sakit dan sangat bergantung padaku. Aku pergi hanya untuk hal-hal penting, yang tak bisa ditunda. Belanja kebutuhan sehari-hari, dan antar jemput anak-anak les Bahasa Inggeris di komplek perum sebelah, selama mereka SD. Berangkat sekolah pun, mereka berangkat sendiri. Pakai jemputan. Aku hanya mengantar sampai depan pagar. Dan kembali ke depan lagi, membukakan pintu pagar, saat mereka pulang sekolah. Aku ke sekolah saat ada undangan rapat orangtua dan ambil raport.

Saat itu, waktu 24 jam terasa tidak cukup buatku. Tak jarang aku ketiduran di kursi, dengan posisi duduk, karena kelelahan.

Di rumah, kami tetap berusaha menyediakan kebutuhan anak-anak. Meski mereka tidak ke mana-mana, mereka masih tetap bisa bermain, seperti anak-anak lainnya. Mulai dari komik, alat gambar, gitar, catur, bola, dll. Halaman kami luas. Mereka bisa bersepeda, main bola, atau tepak-tepakan cock dengan leluasa. Mereka corat coret dinding pun, tidak kularang. Aku sudah tak punya energi lagi untuk melarang-larang. Yang penting, mereka hepi. Padahal kami sudah menyediakan papan tulis dan kertas gambar. Tapi, sudahlah...
 Mereka bebas berekspresi di rumah.

Yang ada di pikiranku saat itu, keselamatan dan kenyamanan anak-anakku.

"Mama over protective." Kalimat itu tercetus dari mulut Abhi, setelah dia besar dan bekerja.

"Bisa jadi. Banyak faktorlah. Mama berusaha melakukan yang terbaik untuk kalian. Mama tidak mengizinkan kalian keluar bermain, karena tak ingin kalian dapat pengaruh buruk di luar. Mama ingin kalian tumbuh secara wajar,  sesuai dengan usia kalian. Mama meyakini, semua ada waktunya. Tak bisa diburu-buru. Biarlah berproses secara alami. Mama belajar dari mengamati sekeliling. Pohon itu kuat, nggak gampang roboh, kalau akarnya kuat." Aku berusaha menjelaskan.

Mungkin pola asuhku tidak sempurna. Aku pun masih belajar sampai saat ini. Apa pun, semua aku lakukan untuk kebaikan anak-anakku. Seluruh masa mudaku, kuhabiskan untuk membesarkan mereka. Melayani keluarga. Karena, aku ingin hidup anak-anakku lebih baik, lebih bahagia, dibanding kami dulu. Berharap masa depan mereka lebih cerah dari orangtuanya. Untuk itu, segala sesuatunya memang harus dipersiapkan sejak dini.


Kota Baru, Rabu, 2 Maret 2022 (Pk 22.23).
 
 
 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pertanda apa ini

Bunga Teratai

Kedatangan Nova