Saat Waktunya Tiba...

Keadaanku semakin membaik. Pundak dan lenganku sudah bisa digerakkan kembali. Luka parutnya pun sudah hampir mengering. Masih tersisa sakit sedikit di area punggung, saat aku melakukan peregangan. Terimakasih. Lagi-lagi aku selamat. Alam selalu melindungiku.

Ehi masih memijitiku. Menjelang tidur. Sehari sebelumnya, anak keduaku Bodhi, calon mantuku Esia, Dhamma, dan Ehi memijiti aku secara bergantian. Tanggal merah. Anak-anak pulang. Nginap dua malam. Aku banyak ngobrol, sembari tertawa-tawa dengan kedua calon mantuku. Lia dan Esia. Cagga tidak pulang. Dia masih sibuk mengerjakan tugas akhirnya.  

Abhi mengajak ke luar jalan-jalan.
 Tapi aku menolak. Aku merasa lebih nyaman di rumah. Aku mengerti, mereka berusaha menyenangkan hatiku. Tapi tetap saja, aku merasa ada ruang hampa di sudut hatiku. Aku tidak bahagia. Akhirnya aku setuju makan malam di luar. Setelah itu pulang. Aku ingin istirahat.

Aku senang melihat anak-anak itu sudah besar, punya kekasih. Aku sudah tidak terlalu repot mengurusi mereka lagi. Seperti biasanya. Semoga mereka langgeng dan bahagia selamanya.

"Dina, ternyata, tugas kita hanya membesarkan anak-anak. Saat mereka sudah besar, punya kekasih, maka kita pun harus bersiap-siap menerima, kalau kita tidak menjadi fokus utama mereka lagi..." Dina, sahabat terbaikku, tempat aku berkeluh kesah. Selalu setia mendengarkan cerita-ceritaku. Tak jarang, dia juga suka memarahiku, saat menurutnya aku sudah tidak rasional, terlalu mengikuti perasaan.

"Aku sudah melewati semua pergumulan itu. Pada akhirnya, kita akan kembali sendiri lagi, Ho. Nikmati momen kebersamaannya." Dia selalu bisa memahamiku. Kata-katanya menyejukkan. Dia memang jauh lebih matang dariku. Tegar. Kadang bisa melucu juga.

"Apa aku ini mbokmu, Ho? Ya terserah kamu. Tanya sama hatimu sendiri. Kan kamu yang merasakan..." Saat itu aku sedang dilanda kebimbangan. 
 
 "Nggak usah dibayangkan, Ho. Jalani saja dengan tabah." Aku hampir menangis membaca pesannya itu. Dina benar-benar bisa mengerti aku. Dia sudah melewati semua fase itu.

"Anak laki-laki maupun perempuan, pada akhirnya akan pergi meninggalkan kita, membangun masa depan mereka sendiri."

Dua anaknya sudah menikah. Satu lagi akan melangsungkan pernikahannya pada tanggal 19 Maret yad. Tinggal dia berdua dengan Icel, gadis kecilnya yang masih duduk di kelas dua SD. Tapi tampaknya Dina sudah siap. Justru aku yang masih gamang.

"Ma, kakak kelas aku nembak. Dia bilang suka sama aku dari Desember tahun lalu. Kami sama-sama aktif di Osis..." Sebenarnya aku tidak terlalu terkejut. Aku sudah menduganya.

"Lalu, kau kasih jawaban apa?"

"Aku bilang, berteman saja dulu. Aku takut putus nanti. Aku nggak mau punya mantan. Aku ingin yang jadi pacar aku itu, orang yang akan menikah denganku nanti..."

"Oooh. Bukan karena terpengaruh dengan kata-kata Mama? Sayang, hati kita itu nggak bisa diatur-atur untuk suka sama siapa. Kalau kamu ada perasaan juga sama dia, Mama tidak larang. Mama bisa ngerti. Yang penting, bisa jaga diri. Tau batasan. Pacaran yang sehat. Saling support. Jangan bucin." Kata-kata nasehat meluncur deras dari mulutku. 

"Mama mau kamu terbuka sama Mama. Jujur. Bertanggung jawab pada keputusan dan pilihan kamu. Selalu ingat sama tujuan utama kamu bersekolah di Jakarta." Dia tidak membantah kata-kataku. Lalu dia perlihatkan foto kakak kelasnya itu.

"Sepertinya anak baik-baik. Tapi Mama tidak terlalu yakin juga, harus ketemu dulu, ngobrol langsung. Baru bisa paham. Dia juga harus tau aturan, tau etika. Permisi sama orangtua gadis yang disukainya. Ada tanggung jawablah. Bukan sekedar suka begitu saja. Kamu masih sangat muda. Masih dalam pengawasan orangtua.  Mama tidak akan melepasmu begitu saja. Membesarkan kamu itu tidak mudah.  Mama tidak akan mengizinkanmu pergi-pergi berdua saja. Mama akan minta koko-kokomu bantu antar dan awasi."

Dia sudah mengerti "tata tertib" itu. Saat SMP dulu pun, setiap ada yang mendekati, aku menerapkan hal yang sama. Ke mana-mana, dia selalu dikawal. Kadang, aku  sampai harus menunda pekerjaan rumah, demi menemaninya ngobrol dengan temannya yang datang bertamu.
 
Aku pikir, memang itu jalan yang terbaik. Terserah mau dianggap kuno juga. Untuk hal-hal prinsip, aku tak mau ditawar-tawar.

Apa yang kulakukan, semua untuk memagarinya. Belum saatnya diberi kebebasan. Namun, aku pun tak ingin  menghalangi perasaan yang tumbuh di hatinya. Aku berusaha memahami indahnya jatuh cinta itu. Walau sebenarnya, aku sendiri belum siap menerima kenyataan, anak perempuan yang paling kusayang, akan mulai membagi perhatiannya...!

Semoga alam akan selalu menjaga dan melindungi kami. Menjauhkan kami dari hal-hal buruk...! Yang baik-baik datang mendekat. Yang buruk dan jahat, pergi menjauh...

Kota Baru, Selasa, 1 Maret 2022 (Pk 15.46).


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pertanda apa ini

Bunga Teratai

Kedatangan Nova