Ehi, Bidadari Kecilku
Dua hari ini hujan turun terus. Siang malam. Dinginnya menusuk tulang. Menjelang Cap Go Meh biasanya memang bersamaan dengan puncak musim hujan. Semoga hujan berkah. Semua tumbuhan akan dapat tumbuh dengan subur. Bersyukur, aku tetap bisa beraktivitas seperti biasa. Memang ada beberapa hal yang jadi terkendala. Tapi tidak apa-apa. Mungkin dengan begitu, alam menginginkan agar aku beristirahat dulu. Sesederhana itu pikiranku dalam menyikapi kondisi alam.
Dua hari lalu, aku nyaris ambruk. Tulang-tulang rasanya remuk. Seperti biasa, Ehi, bidadari kecilku, membaluri kayu putih, lalu memijit-mijit punggung dan leherku. Sembari mengocehiku. Setelah Imlek, mereka belajar secara on line. Angka covid meningkat tajam, dan ada teman sekolah mereka yang terpapar.
"Harusnya Mama sabar sedikit. Nggak usah ikut-ikutan ngecat segala. Mama sendiri suka bilang, lebih baik terlambat lima menit, tapi selamat. Daripada buru-buru dan membahayakan keselamatan diri sendiri. Nyatanya, Mama suka memaksakan diri. Nggak sabaran. Nggak konsekuen dengan kata-kata Mama sendiri." Begitulah, dia sangat pandai membalikkan kata-kataku.
"Hm...tapi yang ini kan beda kasus. Mama mengatakan itu saat mengingatkan kakakmu, supaya tidak ngebut. Apa hubungannya dengan ngecat ? Mama kan niatnya baik, ingin Dhamma punya ruang belajar dan menggambar yang nyaman. Biar dia semangat. Di mana letak salahnya?" Aku coba membela diri.
"Salahnya, Mama nggak sabaran. Maksain diri. Apa-apa ingin cepat selesai. Yang ngecatlah. Angkut-angkut baranglah. Dikira Mama manusia super gitu? Terimalah kenyataan. Kondisi Mama sudah beda, tidak sama seperti waktu Mama muda dulu. Anicca. Mama sekarang gampang capek. Tapi Mama selalu merasa sehat, kuat. Nggak pernah bisa duduk tenang sambil ngawasi saja. Maunya ikut terjun langsung."
"Banyak faktorlah. Ingin cepat beres, ya ingin menghemat biaya operasional juga. Mama berusaha melakukan yang terbaik yang Mama bisa, untuk keluarga."
"Iya. Tapi apa bijak dengan mengorbankan kesehatan Mama sendiri? Kita ingin Mama sehat. Panjang umur. Apa Mama tidak ingin lihat anak-anak Mama sukses dulu?" Aku tidak menyahut. Tak ingin berdebat lagi. Lebih memilih menyetel lagu kesukaanku. Percakapan terhenti hanya sampai di situ. Aku ingin cepat-cepat tidur.
Melihat dirinya, aku seperti berkaca pada diri sendiri. Dalam beberapa hal, dia sangat mirip denganku. Bedanya, tidak ada yang mendukungku dulu. Sehingga dalam fase tertentu dalam hidupku, aku pernah mengalami krisis kepercayaan diri. Beda dengan Ehi. Dia gadis yang periang, penuh semangat. Selalu optimis. Gaya bicaranya blak-blakan. Keras hati. Tak ingin dikasihani. Galak tapi perhatian. Aku bersyukur sekali memiliki anak sebaik dirinya. Dia tumpuan harapanku. Dia teman berbagi cerita, sekaligus pengeritik utamaku.
Aku menyayanginya.
Semoga alam akan selalu menjaganya.
Kota Baru, Selasa, 8 Februari 2022 (Pk.14.59).
Komentar
Posting Komentar