Cerita Hari Ini
Dua hari lalu, saat sedang sapu-sapu, aku terpeleset jatuh. Sapu dan pengki terlempar, nyangkut di pohon jeruk. Aku menduduki tanaman. Tangan kananku tertusuk beberapa duri pohon jeruk limo. Ada parut di lututku. Mendengar suara gaduh, anak perempuanku bergegas keluar. Dia membantuku berdiri. Setelah itu, cepat-cepat aku olesi dengan obat luka antiseptik.
Musim hujan. Ranting pohon tumbuh dengan suburnya. Belum lagi tumpukan genteng bekas yang memenuhi halamanku. Karena buru-buru, sebelah kakiku tersangkut di pot yang tertutup rimbunnya daun tanaman. Dan aku jatuh,
hilang keseimbangan. Mungkin tumpuan kakiku tidak cukup kuat menahan berat badanku.
Aku sering jengkel pada diri sendiri. Kok jadi serapuh ini. Jatuh lagi, dan terjatuh lagi. Berulang-ulang seperti itu. Aku merasa sudah cukup hati-hati. Ah, ada-ada saja. Padahal, banyak PR yang harus kuselesaikan.
Aku tetap beraktivitas seperti biasa. Mengerjakan pekerjaan yang ringan-ringan. Sembari terus melakukan peregangan dan gerakan-gerakan sederhana. Melawan rasa sakit yang mendera ragaku.
Sudah dua hari ini, setelah selesai memasak, aku lebih banyak duduk. Bersila di lantai. Sejenak melupakan cucian yang menumpuk dan gudang yang belum kupel.
Kalau sudah bosan duduk, aku bangkit, jalan-jalan mengitari rumahku. Kubiarkan gudang berantakan. Padahal sudah selesai dicat. Aku belum menyortir dan menyusun barang-barangnya. Seharian ini, aku menghibur diri dengan mainan hp. Aku ingin istirahat dulu. Dadaku terasa penuh. Aku ingin berteriak. Sekencang-kencangnya. Aku lelah. Benar-benar merasa lelah...Tidak hanya ragaku. Tapi jiwaku juga.
Untuk melupakan kerisauanku itu, aku memilih untuk ngobrol di grup dan ledek-ledekan dengan teman-teman kuliahku dulu. Candaan mereka, cukup menghiburku. Setidaknya, sehari lewat tanpa terasa. Terimakasih. Sudah meluangkan waktu untuk ngobrol dan bercanda denganku ya. Itu sangat membantuku. Sehingga aku bisa melupakan rasa sakitku. Ya rasa jenuhku juga.
Semalam Ehi memijitiku. Sejam lebih. Menghabiskan setengah botol minyak kayu putih ukuran sedang.
"Sayang, kau harus ikhlas ya. Selalu sadari, kau melakukannya karena dorongan kasih sayang dan rasa baktimu pada Mama. Jangan pernah merasa terpaksa..." ujarku, membuka percakapan.
"Iya. Aku ikhlas kok." Sahutnya, sambil terus memijitiku.
"Terimakasih, sayang. Semoga hidupmu berkah." Itu yang selalu kukatakan padanya. Sembari mengusap-usap kepalanya. Dia anak perempuanku satu-satunya. Kami banyak menghabiskan waktu bersama. Bercakap-cakap. Tentang berbagai macam topik.
"Apakah Mama punya kriteria khusus tentang pria yang ingin menjalin hubungan denganku? Kapan saat yang tepat untuk aku boleh pacaran?" Dia sudah beberapa kali dalam berbagai kesempatan, menanyakan hal yang sama.
"Tidak. Tidak ada kriteria khusus. Kenapa? Apa ada orang yang menyukaimu?" selidikku.
"Tidak. Hanya ingin tahu jalan pikiran Mama." Lanjutnya.
"Oooh. Mama rasa, waktu yang tepat itu setelah kuliah nanti. Sekarang, fokus belajar dulu. Membina hubungan itu tidak hanya didasari oleh rasa suka sama suka. Ada serangkaian tanggung jawab yang mengikutinya. Apa kamu siap, dengan pacaran nanti, hubungan pertemananmu jadi dibatasi? Selagi muda, bertemanlah sebanyak-banyaknya." Aku coba memberi pemahaman padanya. Agar tidak buru-buru mengikatkan diri pada seseorang, yang mungkin saja akan jadi penghambat baginya dalam menggali potensi dirinya. Dia masih sangat muda. Belum genap 16 tahun.
"Iya. Aku ngerti." Jawabnya singkat
"O ya Ma, bagaimana untuk mengetahui seseorang itu baik atau tidak?"
"Tentu saja yang sayang dan bertanggung jawab. Kalau seseorang benar-benar sayang padamu, dia akan selalu menjaga dan melindungimu. Ciri orang yang bertanggung jawab itu ya rajin, ulet, giat berusaha. Kau tidak akan sampai kelaparan. Kaya miskin bukan ukuran. Yang utama, attitudenya bagus. Kaya pun, kalau malas, lama-lama bisa ludes. Biar miskin, asal ulet, rajin, suatu saat pasti akan berhasil. Kan banyak contoh nyata di sekitar kita." Aku berusaha menjelaskan.
"Bagaimana untuk bisa tau attitude seseorang itu baik atau buruk? Kalau lagi pendekatan, pasti sisi-sisi baik dari dirinyalah yang diperlihatkan. Kan sulit membedakannya..."
"Sayang, nggak usah bingung. Lihat saja bagaimana cara dia memperlakukan orangtuanya. Bila dia sayang dan hormat pada orangtuanya, maka bisa dipastikan, dia pun akan baik dan sayang padamu. Sebaik apa pun dia padamu, namun bila hubungannya tidak baik dengan orangtuanya, maka sebaiknya jangan diteruskan. Restu orangtua itu penting." Dia tak bertanya lagi, hanya diam menyimak. Aku lega sudah menyampaikan semuanya pada anakku. Andai sewaktu-waktu aku pergi, mereka sudah tau apa yang harus dipedomani.
Hari ini juga SK jandaku turun. Sulit untuk menggambarkan seperti apa perasaanku. Aku hanya bisa bilang, sampai meninggal pun, suamiku masih menjagaku. Aku mengerti sekarang, kenapa dulu dia ngotot ikut tes-tes itu, agar bisa lolos diterima sebagai pegawai negeri sipil. Ada haru. Ada rasa terimakasih yang tak terhingga. SK itu juga jadi pengikat tersendiri. Aku tidak mempersoalkan jumlah nominal yang bakal kuterima. Berapapun yang tertera di situ, aku mensyukurinya. Setidaknya cukup membantu.
"Aku tidak akan izinkan Mama menikah lagi," anak keduaku menegaskan sikapnya kembali. Aku diam saja. Memang, selama ini dia yang mengurus surat-suratnya. Mulai dari tingkat RT. Sampai SK turun dan diserahkan di kantor Walikota Kota Administrasi Jakarta Pusat.
"Aku tak ingin Mama mengacaukan segalanya." Dia sudah mengatakannya berulang-ulang kali. Entah mengapa, dadaku terasa sesak mendengar kata-katanya itu.
Aku tak ingin membiarkan rasa sedih menguasai diriku. Seburuk apa pun keadaannya, aku tak boleh terpengaruh. Aku harus bisa menguatkan hati, menyemangati diri sendiri.
Aku bangkit, lalu mulai mengambil adukan untuk menutup nat-nat keramik yang merekah, ditumbuhi rumah rayap dan semut. Tidak lama. Hanya sekitar sejam. Sambil mengawasi Atuk, yang sedang mengecat lorong kamar mandi.
Setelah suasana hatiku agak membaik, aku kembali ke ruang depan. Duduk-duduk kembali sambil memeriksa pesan-pesan yang masuk di ponselku. Ternyata Mama Ken Ken mengirimkan buah srikaya untukku dan digantung di pagar depan. Aku minta Atuk mengambilnya. Ehi masih sibuk belajar on line di kamarnya.
Ada lima buah srikaya besar. Satu sudah matang, sedangkan empatnya lagi masih mengkal. Aku ambil satu, lalu aku berikan pada Atuk. Agar bisa dibawa pulang untuk anaknya. Sedangkan yang masak, langsung kubelah dan kumakan, lalu bijinya kusisihkan.
Setelah selesai, aku keluar mengambil pacul dan membuat galian kecil, untuk menanam biji-biji itu. Ada empat lubang kecil yang kugali. Sebagai penanda, di pinggir galian, aku tancapi dengan beberapa batang katuk. Semoga bisa tumbuh, dan cita-citaku untuk punya pohon srikaya sendiri, bisa terwujud.
Seperti itulah hari-hariku. Tidak ada yang istimewa. Hening. Bahkan saking heningnya, hampir seperti tidak ada kehidupan.
Semoga esok akan lebih indah. Aku semakin membaik, hatiku pun bisa kembali riang.
Kota Baru, Kamis, 24 Februari 2022 (Pk 21.55).
percakapan ibu dan anak yang sangat inspiratif, makasih berbagi inspirasi
BalasHapusTidak ada yg istimewa. Percakapan biasa. Semua ibu pasti akan menyiapkan anak perempuannya seperti itu...☺
HapusTerimakasih, sudah membaca n memberi dukungan. Semoga selalu sehat n berkah...🙇🙇
Bagus Say.Sederhana tp menghanyutkan romantisme Ibi & anak, aku kok merasa ada di dekatmu.Penuturan cerita runut dan sangat kuat menggambar suasana.
BalasHapusTerimakasih...😊🙇🙇
HapusSelalu indah membaca ceeita-cerita Ho Lian. Mengalir, dan kita seperti ada di setiap bagiannya. Duduk di sampingnya ketika tengah menasehati anak perempuannya, menanam biji Srikaya bersama, dan memghikmati hening di Kota Baru. Rasanya aku yang di situ, bukan Ho Lian.
BalasHapusAku suka mencatat. Menceritakan apa saja yg sudah terjadi dan kulalui. Sebagai pengingat. Kadang aku jadikan sebagai bahan renungan untuk introspeksi.
BalasHapusTerimakasih sudah berkenan membaca tulisanku, dan tak henti2nya memberi dukungan...🙇🙇
Salam sehat selalu untukmu dan keluarga ya Mus...👍☺