Cagga dan Dhamma

Cagga, anak ketigaku, sudah berangkat ke Jakarta tadi, dengan kereta subuh. Dua malam di rumah. Banyak hal yang sudah kami bicarakan. Terutama tentang perkembangan tugas akhirnya. Sebisanya, aku coba membesarkan hatinya. Tidak menyalahkan keterlambatannya. Memang dia tidak bisa bergerak leluasa. Sementara untuk membeli alat-alat tugas akhirnya, membutuhkan banyak biaya.

"Setelah aku hitung-hitung, lebih baik aku nambah satu semester. Tetap jauh lebih murah. Bisa gunakan bengkel kampus untuk bikin alat tugas akhir aku. Gratis. Cukup beli bahan-bahannya saja. Kalau mau maksa cepat selesai, bisa saja sih. Dengan sewa bengkel di luar. Tapi mahal. Sayanglah buang-buang uang jutaan. Aku sudah cek di Glodok."Jelasnya padaku. 

"Iya. Tidak apa-apa. Mama percaya." Kartu ATM aku serahkan padanya. "Pegang saja. Sewaktu-waktu butuh, kamu bisa pakai. Tidak harus pulang dulu. Fokus saja sama tugas akhirmu."

Selama ini juga, dia yang mengelola keuangan keluarga. Setiap akhir bulan, dia buat rekap pengeluarannya. Termasuk pengeluaran untuk kedua adiknya. 

Aku memang menekankan pada anakku agar bisa sama-sama bertanggung jawab mengelola keuangan. Untuk kemudian sama-sama dievaluasi. Pos-pos mana saja yang perlu diperbaiki. Aku percaya, dengan membuat catatan seperti itu, ada kontrol diri. Dan tentu saja memudahkan aku dalam mengawasi mereka. Dari laporan itu, akan bisa terbaca jelas, bagaimana sikap mereka dalam membelanjakan uangnya. Cukup jujur dan bijakkah? Hati-hati, atau malah konsumtif?

Cagga, Dhamma, Ehi masih dalam pengawasanku. Abhi dan Bodhi, aku anggap sudah cukup dewasa untuk mengelola keuangan mereka sendiri. Sesekali, saat mereka pulang, aku tetap tanya bagaimana pekerjaan mereka. Seperti biasa, tak bosan-bosannya aku mengingatkan mereka untuk menabung, dan lebih perhatian pada kesehatan. Mungkin ibu-ibu lainnya juga melakukan hal yang sama. 

Hari ini, Dhamma juga mulai ujian. PAS (Penilaian Akhir Semester). April Ujian Sekolah (US) sebagai pengganti Ujian Nasional (UN). Minggu-minggu kemarin sudah melaksanakan ujian praktek. Semoga anak itu selalu sehat, dan bisa melalui seluruh rangkaian ujian dengan baik. Aku sudah mengingatkannya berkali-kali agar menghentikan kegemaran menggambarnya untuk sementara waktu. Selesaikan dulu ujian-ujian itu.

"Mama mau kamu bertanggung jawab pada kewajibanmu dulu. Setelah ujian selesai, kamu bisa menggambar sepuas-puasnya. Dalam hidup, selalu ada skala prioritas. Kita harus bisa berdamai dengan semua itu. Bukan hanya menuruti apa yang kita mau." 

Mungkin dia kesal mendengar ocehanku yang sama, setiap kali menelponnya. Tak jarang, celetukan-celetukanku masuk dan mewarnai gambar-gambar cerita komiknya. Seperti kemarin, dia kirimkan sebuah cerita, yang menggambarkan sosok ibu galak. Aku tertawa membacanya.

"Gambar dan cerita di komikmu itu kok mirip Mama? Kau sedang menyindir Mama ya?" Tanyaku. To the point.

"Iya. Memang Mama seperti itu. Hahaha..." jawabnya terkekeh-kekeh. 

"Perasaan, Mama nggak segalak itu ah. Kau bisa merusak image tentang Mama lho..." Aku protes. Tapi dia tetap tertawa dan menjawab dengan santainya.

"Aslinya sih, Mama lebih galak dari yang aku gambarkan itu. Hahaha..."

"Apa? Kamu subyektif banget. Ya udah. Kalau gitu, saat kamu pulang nanti, nggak akan Mama masakin beneran."

"Dih. Ngambek..."

"Iyalah..."

Begitulah. Dengan anak-anakku, aku biasa bercanda. Kami sering saling meledek. Tidak kaku. Hubunganku dengan anak-anak dekat, dan mereka cukup terbuka padaku. Saatnya harus tegas, aku juga bisa tegas. Tergantung sikon. Fleksibel.

Aku menyayangi mereka semua. Mereka anak-anak yang istimewa. Semoga alam akan selalu menjaga dan melindungi mereka. Di mana pun mereka berada, dan apa saja yang sedang mereka kerjakan.


Kota Baru, Kamis, 24 Februari 2022 (Pk 07.37).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kedatangan Nova

Ujian Sekolah

Akhirnya, Menerima...