Merawat Semangat
Semalam hujan angin. Petir menyambar-nyambar. Aku terbangun pukul 02.00. Lalu ke kamar mandi. Membasuh wajahku. Kantukku hilang. Aku duduk sambil menunggu hujan reda. Sembari coba mengamati keluar masuknya nafasku. Aku berdoa. Untuk keselamatan anak-anakku. Lama sekali. Aku sempat mengeluarkan air mata. Tidak tau mengapa, hatiku kok terasa sakit sekali. Meski begitu, aku masih menyempatkan diri untuk mengucapkan selamat pagi pada teman-teman lewat aplikasi WA.
Pagi-pagi aku jalan ke depan. Sambil menjinjing termos dan membawa gelas. Seperti biasa, untuk membukakan pintu gerbang depan. Masih ada beberapa pekerjaan yang belum selesai. Selama dua minggu ini, aku hanya mempekerjakan seorang tukang. Bodhi, anak keduaku, sudah menyanggupi untuk bantu membayar upahnya secara rutin. Memang tak mungkin juga bila aku mengurus semuanya sendirian. Banyak dahan pohon yang harus dirapikan. Juga meratakan jalan. Agar tidak semakin tergerus oleh air hujan.
Kuambil sapu, lalu membersihkan sampah-sampah plastik yang terbawa air hujan semalam. Setelah itu, mengangkut batu dan pecahan genteng. Untuk menimbun jalan. Aku benar-benar ingin merapikan jalan setapak menuju rumah. Agar rata. Meskipun hanya dapat sedikit. Tidak lebar. Aku puas. Tidak apa-apa. Aku sudah berusaha mengerjakan semampuku. Semua memang harus mulai dikerjakan.
Datuk, nama tukang yang bekerja di tempatku, membawa sebuah bungkusan plastik, yang berisi pare hutan, tekokak, terong lalap dan cabe rawit. Lalu menyerahkannya padaku. Titipan Dedeh, istrinya. Aku senang sekali. Pare hutan merupakan sayur kesukaanku.
Setelah agak siang, aku pulang. Datuk membuat adukan untuk mengecor jalan. Dia bisa mengerjakannya sendiri. Aku pulang untuk mengolah pare hutan pemberian Dedeh. Aku selalu menghargai pemberian orang. Apa pun itu. Yang aku lihat, niat baiknya. Bukan nilai barangnya.
Seperti itulah hari-hariku. Hidupku tidak jauh-jauh dari sapu, cangkul dan golok. Setiap hari ada saja yang harus kukerjakan. Dengan bergerak terus, waktu jadi cepat berlalu.
Berada di tempat terbuka, membuat hati dan pikiranku tentram. Aku bisa menghirup udara segar, dan merasakan sejuknya hembusan angin. Tak jarang, aku pejamkan mata untuk beberapa saat, merentangkan kedua tanganku, lalu membiarkan angin menyentuh pipi dan mempermainkan anak rambutku. Aku bisa merasakan anugerah alam yang luar biasa padaku. Aku mencintai kebun ini. Aku bahagia hidup di sini, di hutanku sendiri. Keheningannya banyak membantuku dalam menyembuhkan luka.
"Mama bisa sesekali makan di luar. Atau pergi jalan dengan teman Mama. Sudah saatnya Mama menikmati hidup. Selama ini, Mama sudah cukup capek memikirkan kita semua. Sekarang giliran kita nyenengi Mama," ujar anak keduaku. Aku hanya diam.
"Kalau ingin Mama bahagia, biarkan Mama berekspresi sesuai dengan keinginan Mama. Jangan dilarang-larang. Standard kebahagiaan Mama tidak sama dengan orang-orang pada umumnya. Mama sudah tidak butuh pakaian bagus, atau makan enak yang berlebihan. Secukupnya saja. Yang Mama butuhkan itu ketenangan. Mama merasa semua sudah cukup. Jadi, jangan protes kalau uang jajan yang kalian berikan itu, Mama belikan pasir, semen dan cat..." Aku coba memberi penjelasan pada anak-anak. Aku pun ingin mereka bisa memahamiku, dan bisa membiarkan aku melakukan sesuatu yang aku suka.
"Ya sudah kalau itu maunya Mama. Asal jangan kecapean aja," anakku yang pertama dan kedua kembali mengingatkan.
"Iya. Kalau capek ya Mama berhenti dulu." Aku meyakinkan mereka agar tidak berlebihan dalam mengkhawatirkan aku. Aku bisa menjaga diriku sendiri. Mereka harus tau kalau ibunya tidaklah serapuh dan selemah itu.
Kota Baru, Selasa, 11 Januari 2022 (Pk 12.53).
Aku mencintai kebun ini. Aku bahagia hidup di sini, di hutanku sendiri. Keheningannya banyak membantuku dalam menyembuhkan luka.
BalasHapusaku suka kalimat ini....
Terimakasih...🙇🙇
Hapus