Doa dan Harapanku

Setiap hari hujan. Banyak hal jadi tertunda. Apa pun, aku tetap bersyukur. Kami semua sehat.

Di saat hujan reda, aku melanjutkan pekerjaanku. Sebenarnya sih aku ingin mengecat tembok pagar. Ingin cepat-cepat beres. Tapi, karena basah, tidak memungkinkan. Bahkan beberapa bagian yang sudah kucat, mengelupas  lagi terkena siraman air hujan. Sudahlah. Biarkan. Aku pasrah saja. Saat cerah nanti, aku akan mengulasnya kembali dengan sapuan cat.

Kemarin aku memindahkan beberapa  tanaman ke pot. Datuk menimbun bagian sayap kiri pagar. Dari tumpukan tanah dan daun-daun mahoni di sebelah kanan pagar. Aku ingin mengisinya dengan tanaman baru. Semacam apotik hidup. Setiap kali menanam tanaman baru, aku merasa seperti sedang menancapkan harapanku di situ. Semoga semua akan tumbuh subur.

Datuk terlihat tidak nyaman. Karena hujan, dia pun tak bisa melanjutkan pekerjaan. Banyak duduk diam. Aku bilang, faktor alam. Tidak apa-apa. Bersyukur kita tidak kebanjiran. 
Mungkin dia khawatir aku akan memotong upahnya. 

Sejauh ini, aku berusaha untuk bersikap memahami. Walau sering datang telat dan pulang cepat. Yang utama bagiku  jujur dan tanggung jawab pada pekerjaan. Selebihnya, aku masih bisa bertoleransi. Rumahnya pun jauh. Butuh perjuangan untuk sampai ke tempat kerja. Terkadang motornya mogok kena genangan air di jalan, anak dan isterinya sakit. Banyak faktor. Dia satu-satunya pencari nafkah untuk keluarganya. Ada ibunya yang sudah janda ikut tinggal bersamanya. 

Aku belum pernah memotong upahnya. Tidak tega. Upahnya juga tidak besar. Rp 120.000 per hari. Sementara dia harus menghidupi beberapa orang anggota keluargaya.

Meski tak terucap, dia pun mengerti. Dia mengerjakan semua seperti mengerjakan pekerjaannya sendiri. Tak jarang dia yang belanja ke toko matrial. Bila ada kekurangan. Sejauh ini jujur. Dan bisa dipercaya. Peralatan bengkel almarhum suamiku yang tergeletak di gudang, juga aman. Semoga dia akan tetap bisa menjaga kejujurannya itu.

Selama ini, kami selalu bermasalah dengan kejujuran karyawan. Selalu saja ada yang hilang. Terlebih yang kecil-kecil. Seperti tes pen, meteran, gunting, obeng, kunci pas, dll. Mungkin itu yang bikin suamiku malas berurusan dengan orang kerja. Dia lebih suka mengerjakan segala sesuatunya seorang diri. Terlebih saat libur sekolah.
Dia memang suka mengulik kerjaan di rumah. Mulai dari betulin kompor gas, keran, mesin cuci, atau melas sambungan-sambungan besi. Karena waktunya terbatas, sehingga perbaikan yang ia lakukan dengan kerusakan yang ada, tidak sebanding. 

Saat dia pergi, aku kebingungan. Aku berdoa dengan sungguh-sungguh. Agar dipertemukan dengan orang-orang yang baik dan jujur. Aku butuh keahlian tukang untuk membereskannya. Aku tidak punya kemampuan untuk melakukannya.

Bersyukur, ada Soni, yang sudah seperti adik sendiri, datang memberi solusi. Dia memperkenalkan aku pada Pak Karman, kepala tukang dari Gunung Kidul, Yogya, yang punya banyak anak buah. Salah satunya Datuk. 

Alam menjagaku dengan cara yang unik. Aku dipertemukan dengan orang-orang baik, dan bersedia bekerja merapikan rumah dan kebun. Sedikit demi sedikit. 

Semoga aku tetap bisa menjaga rumah dan kebun ini dengan baik. Peninggalan mertuaku, yang diwariskan pada suamiku. Aku berharap bisa selalu sehat. Menghabiskan masa tuaku di sini, dengan bahagia.

Kota Baru, Kamis, 13 Januari 2022 (Pk 06.53).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pertanda apa ini

Bunga Teratai

Kedatangan Nova