Musim Mangga
Musim mangga datang lagi. Seperti tahun-tahun sebelumnya, pohon mangga kami berbuah lebat. Secara bergantian. Pohon yang tumbuh di belakang dengan yang ada di depan rumah, tidak berbuah secara berbarengan. Kadang sampai berbulan-bulan baru habis. Bisa sampai tiga bulan lebih. Pohonnya pun tinggi-tinggi. Karena itu, aku biarkan masak di pohon. Dan jatuh dengan sendirinya.
Saat musim mangga, aku jadi sedikit lebih sibuk dibanding hari-hari biasa. Setiap hari aku memunguti mangga-mangga itu. Kukumpulkan. Lalu membagi-bagikannya pada orang yang kukenal atau para pemulung yang lewat. Aku tidak berniat menjualnya. Aku jadikan mangga-mangga itu sebagai jembatan dalam menjalin hubungan dengan siapa saja. Berbagi lewat mangga. Bukan uang atau lainnya. Hanya itu yang aku punya. Mangga.
Meskipun pekerjaan merenovasi rumahku sudah selesai, tapi beberapa tukang masih tetap mampir. Dan aku mempersilakan mereka untuk mengambil mangga-mangga yang banyak berjatuhan itu. Aku tetap mengingat jasa mereka yang telah merenovasi rumah kami. Membebaskan kami dari rasa cemas dan segala macam kerepotan lainnya, setiap kali turun hujan. Sekarang, kami tak perlu repot mengepel bekas bocoran air hujan.
Tampak jelas terpancar kegembiraan di wajah mereka saat mengumpulkan mangga-mangga itu. Mereka bercanda dan tertawa lepas. Aku pun ikut senang melihatnya. Setidaknya, mereka bisa menikmatinya bersama keluarga besar atau tetangga-tetangganya di rumah. Sederhana. Berbagi lewat mangga. Hal yang menurut kita sepele, ternyata bisa dengan mudah membuat mereka merasa bahagia. Mereka bahagia dalam kesederhanaannya.
Kemarin Bodong dan Datuk datang, membawa anak isterinya. Bodong memberiku dua buah keset. Isteri Datuk membawakan sekotak sayur bunga pepaya yang dicampur dengan teri. Aku terharu banget. Itu kan makanan kesukaanku. Ternyata, mereka pun punya keinginan untuk berbagi juga. Dengan cara mereka.
Keset dari Bodong langsung kupasang. Dan makanan dari isteri Datuk pun langsung aku makan sebagian di depannya. "Keasinan nggak Bu?" Tanya Dedeh, isteri Datuk.
"Nggak kok. Pas. Enak banget. Kamu pinter masak ya." Aku memang tak pernah pelit dalam memberi pujian. Dia tampak senang. Wajahnya berseri-seri. Sembari tersenyum, malu-malu.
"Syukurlah kalau masakan Dedeh kepake sama Ibu." Dia tampak lega.
"Oooh, kepake banget. Enak beneran kok," ujarku, kembali memberi penegasan padanya. Aku mengatakan yang sebenarnya. Bukan basa basi, sekedar untuk menyenangkan hatinya.
"Iya, nuhun Bu. Lain kali, kalau Ibu ingin makan sesuatu, bilang aja ya. Chat ke Dedeh. Biar sama Dedeh dibuatin."
"Oooh iya. Nuhun. Nanti, kalau sudah musim genjer dan kangkung di sawah, masakin ya Deh. Pengen ditauco."
"Iya Bu. Pasti akan Dedeh masakin buat Ibu." Matanya berbinar-binar saat mengatakan itu.
Begitulah. Dengan siapa saja aku bisa ngobrol dan cepat akrab. Tak terkecuali dengan tukang-tukang, pemulung, pengemis, tukang ojek, tukang jamu, sampai preman dan tukang parkir. Kadang diomeli anakku juga. Katanya aku berlebihan. Nini-nini alay dan lebay. Seperti itulah mereka menyebutku.
Dari obrolan-obrolan itu, aku dapat pemahaman baru. Banyak hal yang bisa kujadikan sebagai pelajaran hidup. Aku jadi mengerti, semua orang ingin dihargai. Apa pun latar belakang kehidupannya. Dan aku percaya, pada dasarnya, semua orang itu baik.
Pemahaman itu membuat aku lebih yakin dalam melangkah. Masih banyak orang baik di dunia ini. Tidak ada alasan bagiku untuk merasa takut. Meski sudah tidak ada lagi suami yang menjaga dan melindungi. Bukan hanya aku yang berjuang. Di luar sana pun, ada berjuta-juta orang yang harus bekerja keras dan berjuang untuk kelangsungan hidupnya. Aku percaya pada hukum tabur tuai. Yang melindungiku, ya perbuatanku sendiri.
Dalam kesendirianku, aku berharap, semakin hari aku akan semakin mantap dalam melangkah, dan dapat bertumbuh dalam kebaikan. Semoga sisa usiaku bisa bermanfaat bagi sesama...
Kota Baru, Senin, 15 November 2021 (Pk 20:08).
Berbagi mangga pun mendatangkan kebahagiaan
BalasHapusIya. Bahagia itu sederhana kok...🙇☺
Hapus