Menghitung Nikmat
Kota Baru, Jumat, 1 Oktober 2021 (Pk 22:30).
Entah salah makan apa aku hari ini. Perutku terasa sakit melilit-lilit. Jadinya lemas. Rencana yang sudah kusiapkan semalam, tak satu pun juga bisa kurealisasikan. Aku memilih tiduran untuk memulihkan tenagaku. Padahal, ada begitu banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan.
Memang, kemarin aku terlalu memaksakan diri untuk bersih-bersih di halaman. Sepertinya aku lupa makan. Setelah gelap, aku baru masuk ke dalam rumah. Tiga jam lebih aku berjibaku dengan rumput-rumput itu.. Tapi belum selesai juga. Ah, mana rumput-rumput itu cepat sekali tumbuh. Kalau dibiarkan, takut jadi tempat persembunyian ular. Karena itu, aku terpaksa membersihkannya. Dan ternyata, sangatlah tidak mudah. Entah sampai kapan baru bisa selesai semua. Aku menghela napas dalam-dalam.
Halaman rumahku tak pernah bisa bebas dari rumput liar. Padahal aku sangat ingin punya halaman yang indah dan tertata. Keinginan sederhana namun sulit terwujud. Sementara, sekarang aku merasa semakin mudah lelah. Tak kuat mengerjakan semua pekerjaan yang tak ada habisnya itu. Kadang, aku merasa bosan juga dan ingin menyerah.
"Jangan lupa untuk menghitung nikmat berkat yang kau terima ya," Dina coba mengingatkanku. "Setidaknya, hidupmu tenang. Jauh dari kebisingan. Bagi sebagian orang, keheningan itu sebuah kemewahan lho." Lanjutnya. Aku tau dia sedang coba menghibur dan memberi penguatan padaku.
"Nggak taulah Din. Kadang aku merasa, hidupku begitu hampa. Nggak berarti. Seperti terjebak di lorong gelap, panjang dan tak berujung. Aku capek, Din. Sampai kapan aku harus seperti ini?" Dina tempatku berkeluh kesah. Aku selalu bercerita terbuka padanya. Aku mempercayainya. Di tengah kesibukannya mengasuh cucu, dia masih menyediakan waktu untuk mendengar semua cerita dan keluh kesahku. Dia memang baik. Selalu bisa memahamiku. Mungkin karena kami sama-sama single parent. Aku pun bisa merasakan perhatian dan kasih sayangnya itu.
"Jangan banyak mikir ya. Kamu jalani saja. Fokus sama anak-anakmu. Kerjakan yang kamu bisa. Nggak usah maksain. Sayangi dirimu. Jaga kesehatanmu." Aku hanya mengiyakan kata-katanya. Dia selalu berkata seperti itu. Kata-kata yang
menyejukkan hatiku. Aku jadi terharu. Terimakasih. Semoga dia tak akan pernah bosan memberi dukungan padaku.
Banyak yang terjadi hari ini. Aji, teman kuliah dulu, mengakhiri masa dudanya. Dia menikah lagi. Syukurlah. Semoga selalu bahagia. Teman-teman banyak yang mengucapkan selamat. Grup angkatan sudah seperti keluarga sendiri. Di situ kami berbagi berbagai cerita. Baik dalam momen sedih maupun gembira.
Sabtu, 2 Oktober 2021 (Pk 22:34).
Pagi-pagi aku sudah terima pesan dari anak keduaku. Dia mulai angkut-angkut barang. Mau pindahan. Dia ngontrak sebuah petakan, khusus untuk mendukung usahanya. Bersyukur, pelan tapi pasti, usahanya mulai menampakkan hasil.
Hari ini bertepatan dengan pembukaan Pekan Olah Raga Nasional (PON) ke-XX di Papua. Presiden Joko Widodo juga menghadiri acara tersebut di Stadion Lukas Enembe.
"Nanti aku bisa nyablon kaos di sini, Ma. Aku sudah beli mesin pressnya. Sederhana sih alatnya. Sama packing orderan juga...." jelasnya bersemangat. Sudah dua tahun dia jualan perlengkapan konveksi secara on line. Anaknya selalu optimis. Tak pernah berhenti berpikir untuk kemajuan tokonya. Dari hasil jualannya itu dia membiayai sekolah adik bungsunya.
"Nanti Mama bisa datang dan lihat-lihat tempat jualan aku. Mama bisa nginep di sini. Kecil sih. Tapi untuk sementara ini, cukuplah. Mama doain aku ya. Supaya usaha aku tambah maju. Biar bisa sewa tempat yang lebih luas lagi. Seperti ruko..." Dia menyampaikan harapannya. Dia memang selalu menceritakan semua rencana dan kegiatannya padaku. Aku bangga, namun tak bisa bantu apa-apa, hanya bisa mendoakan yang terbaik.
Aku tak bisa menutupi rasa haru dan syukurku. Semoga semua kerja kerasnya membuahkan hasil yang baik pula. Setelah papanya pergi, mereka yang ambil alih tanggung jawab. Anak pertama dan keduaku. Menyokong biaya sekolah adik-adiknya dan memenuhi semua kebutuhan hidup sehari-hari.
"Bersyukurlah. Punya anak-anak yang baik. Itu berkah tak ternilai," kakakku juga mengatakan hal yang sama.
"Betul, kita harus selalu bersyukur. Jangan silau dengan kehidupan orang lain. Belum tentu yang terlihat itu sesuai dengan realitanya," Yuyus pun punya pandangan seperti itu.
"Pengalaman kerja bertahun-tahun di bank, membuat saya sadar. Hidup sesuai dengan kemampuan kita, justeru itu yang terbaik. Banyak orang yang stress dan tak bisa tidur nyenyak karena terbelit hutang bank. Mereka ditelponi pihak bank terus, dikejar-kejar untuk bayar cicilan dan bunga pinjaman." Yuyus berbagi pengalamannya selama kerja di bank.
"Sejak saya pensiun, semua kartu kredit saya tutup. Beli yang perlu dan butuh saja, sesuai dengan kemampuan. Daripada gesek-gesek terus. Yang ada hutang numpuk dan dikejar-kejar tagihan sama orang bank," lanjutnya. "Sekarang saya ingin hidup tenang. Menekuni hobi yang dulu tidak sempat saya lakukan. Mulai baca-baca kembali buku agama. Belajar lagi. Untuk bekal. Saat kematian datang menjemput, kitanya sudah siap. Amal ibadah itulah yang akan menolong kita nanti." Yuyus pun orang yang terbuka. Selalu cerita apa adanya.
Dari ceritanya, aku jadi banyak belajar. Itulah gunanya teman. Berbagi cerita dan pengalaman. Saling mencerahkan.
Sudah beberapa hari Hendra tak muncul di grup. Dia sedang sibuk menata kedai kopinya. Semoga kerja kerasnya membuahkan hasil. Hendra juga sering bertukar cerita denganku. Orangnya terbuka dan blak-blakan. Kami sudah seperti saudara, saling mendoakan.
"Kirim alamat saja. Nanti Adek kirim bubuk kopi yang rasanya wine," dia menawariku. Sudah beberapa kali. Tapi aku tolak. Karena, aku sudah lama tak minum kopi. "Doakan Adek agar semua usaha berjalan lancar ya Ci." Hendra dan isterinya sama-sama pekerja keras. Aku pun selalu menyemangatinya.
"Pasti. Kamu yang sabar. Jangan patah semangat. Asal tekun dan nggak gengsian, pasti akan ada hasil." Aku berusaha meyakinkannya.
"Iya Ci, nuhun. Tidak ada kata gengsi dalam kamus Adek. Yang penting halal. Adek cari yang berkah untuk anak isteri." Hendra tampak punya pandangan yang jauh ke depan. Dia pun tidak ngoyo.
Ternyata, teman-temanku telah tumbuh menjadi bijaksana semua. Semoga kami selalu sehat dan diberi kesempatan berkumpul, untuk mengenang saat masih sama-sama berjuang di Sekeloa...
Jangan lupa untuk menghitung nikmat berkat yang kau terima ya...
BalasHapusIya, tentu... Terimakasih...🙇😊
Hapus