Tergoda Pete

     Entah sejak kapan aku suka makan pete dan jengkol. Aku sudah tak ingat lagi. Awalnya hanya coba-coba. Lama-lama jadi ketagihan. Pete dan jengkol sangat nikmat dijadikan sebagai lalapan. Apalagi kalau disajikan dengan sambel terasi, goreng peda, sayur asem, goreng tahu tempe, dan nasi hangat. Wuah, nikmatnya tak terkatakan, bisa bikin nambah makan berkali-kali.

     Saat menemani anak-anakku bermain di halaman, baik itu main sepeda, maupun bola, pandanganku selalu tertuju pada pohon pete yang tinggi besar dan berbuah lebat, milik tetangga di kebun sebelah. Berbatasan persis dengan dapurku. Dalam hati aku berujar, kapan ya aku bisa punya pohon pete seperti itu? Beli di tukang sayur dorongan terasa mahalnya. Tidak puas. Sepapan tiga ribu rupiah. Kalau lagi banjir, sepuluh ribu bisa dapat empat papan.

      Suatu hari, ibu mertuaku ke pasar. Pulangnya membawa bibit pete. Katanya beli seharga lima belas ribu rupiah sepohon. Pohon pete itu ditanam di depan rumah mertuaku.

      Beberapa tahun kemudian, pohon pete itu berbuah. Senangnya bukan kepalang. Buahnya sih tidak terlalu banyak, tapi lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan kami. 

Saat musim pete tiba, semua masakan selalu kuberi campuran pete. Pete memang fleksibel. Bisa diolah dengan berbagai macam jenis bahan makanan. Menambah cita rasa masakan. Mulai dari nasi goreng, orek tempe, sambal goreng kentang, tumis buncis, paria sampai sayur lodeh. Semua kutaburi pete. Kadang-kadang aku bagi ke beberapa teman dekat dan tetangga juga. Agar sama-sama bisa menikmati hasil panen pete.

    Makin lama, pohon pete itu makin tinggi. Walaupun menggunakan galah, tetap tak sampai. Susah metiknya. Setiap kali menengadah ke atas, dan melihat pete-pete itu, aku jadi gemas sendiri. Aduh, bagaimana ini? Masak kalah sama kalelawar? Pete-pete itu habis dimakannya. Kadang kita hanya dapat dari sisa-sisanya. Atau yang jatuh berserakan di tanah, karena sudah tua, tertiup angin. Biasanya kulit pete sudah hampir kering dan berwarna hitam. Aku jengkel sekali.

     Suatu hari, aku cari akal. Memutar otak. Capek juga membuat sambungan galah, dan mengangkat-angkat kursi yang berat. Tapi pete yang didapat tetap tak sesuai dengan harapan. 

     Pelan-pelan aku angkat taraje yang ada di belakang. Sejenis tangga yang terbuat dari bambu.Taraje ini biasa digunakan tukang untuk membetulkan genteng yang bergeser atau mengganti genteng yang bocor dan retak di rumah kami. Aku pun menyiapkan galah. Saatnya beraksi...!

     Taraje itu kusandarkan pada batang pohon pete yang besar dan kuat. Pelan-pelan aku naik. Aku harus bisa sampai ke atas. Demi mengambil pete-pete yang sudah tua itu.

     Saat sampai di atas, aku deg-degan juga. Padahal tidak terlalu tinggi. Kira-kira hanya dua meter dari permukaan tanah. Aku tarik napas dalam-dalam. Aku harus berhasil. 

Kedua kakiku kubuka lebar, agar kuat menapak, berdiri di atas dahan. Punggungku kusandarkan ke dahan yang lurus. Agar tetap stabil, tidak goyah saat ada angin berhembus kencang. Kedua tanganku sudah siap memutar-mutarkan galah, untuk memetik pete-pete yang ranum itu. Biji pete itu tampak besar-besar, kulitnya pun sudah hitam keungu-unguan. Pertanda sudah cukup tua. Benar-benar menggodaku untuk segera memetiknya. Justeru menurutku pete yang enak itu ya yang sudah tua. Rasanya seperti kacang. Gurih.

     Sedang asyik-asyiknya aku memetik pete-pete itu, terdengar suara teriakan anakku yang ketiga. "Ma, ayo turun Ma. Aduh, kenapa Mama manjat-manjat segala? Kalau jatuh bagaimana?" Dia nampak khawatir. Tapi aku menolak untuk turun. Tanggung, pikirku.

"Nggak apa-apa. Tenang aja. Pasti aman. Dulu, waktu masih muda, Mama biasa naik-naik pohon kok." Aku coba meyakinkan anakku. Kehadirannya mengganggu keseruanku.

"Iya, percaya. Tapi, berat badan mama dulu berapa? Sudahlah. Mama turun saja. Jangan membantah lagi. Bahaya, Ma," ujarnya sembari menggaruk-garuk kepala. Dia tampak mulai kesal.
"Nanti aku beliin Mama pete yang banyak dari pasar," bujuknya lagi.

"Nggak mau ah. Mama mau pete dari pohon sendiri," jawabku, tetap bersikeras.

"Aduh, Ma. Jangan bandel begitu napa? Mama sudah tua. Kalau jatuh, patah tulang, gimana?" Dia coba menggoyahkan keinginanku. Tapi aku tetap tidak mau turun.

"Ya udah. Aku aja yang naik. Tapi Mama turun ya..." Dia kembali membujuk.

"Oke kalau begitu. Itu namanya anak baik dan bakti," kataku sambil tertawa, menuruni anak tangga.

Akhirnya anakku yang memetik pete-pete itu. Padahal dia pun tidak terbiasa memanjat pohon. Namun, demi memenuhi janjinya padaku, dia lakukan juga. Dengan perasaan sedikit ngeri.

Setelah dirasa cukup, dia turun. Dan mengembalikan taraje ke belakang rumah. 
"Susahnya jadi anak berbakti yang sesuai dengan kriteria Mama," ujarnya berseloroh. "Jangan sekali-kali lagi Mama naik ke atas pohon ya. Mama harus inget sama umur Mama sendiri," lanjutnya menasehati.  

"Iya," jawabku singkat. Selebihnya aku hanya mengangguk-anggukkan kepala mendengarkan ucapannya yang panjang lebar itu.

Kota Baru, Selasa, 21 September 2021 (Pukul 00:15).

Komentar

  1. Jadi pengen makan petai, setelah baca cerita ini.

    Kisah yang tampak sederhana ini banyak pesan yang aku dapat; Tentang kebahagiaan yang sederhana, tentang mencintai hasil bumi yg ditanam sendiri - tentu beda kepuasannya dengan membeli, dan tentang romantisnya hubungan ibu dan anak. ๐Ÿ‘

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih atas supportnya Pak Haji Mustofa Najib. Merasa dapat kehormatan dari Bapak...๐Ÿ™‡๐Ÿ™‡

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pertanda apa ini

Bunga Teratai

Kedatangan Nova