Selalu Ada Jalan

     Daun mahoni berguguran. Sekarang memang musim ganti daun. Butuh waktu lebih lama untuk membersihkannya. Ada empat pohon mahoni besar berusia puluhan tahun, berdiri berjejer di pinggir jalan, tepat berada di luar pagarku. Pelan-pelan aku menyapu. Tumpukan daun-daun kering yang kusapu itu, berbentuk seperti barisan gunung. Aku nyalakan korek, kemudian membakarnya. Cepat sekali api melahap habis daun-daun itu.

     Di sudut pagar ada beberapa bungkus plastik sampah. Sampah rumah tangga dari orang yang lewat dan sengaja dibuang di tempat kami. Mungkin mereka pikir tempat kami tak berpenghuni. Sehingga mereka buang sampah seenaknya.  Kebetulan ada truk sampah lewat. Aku minta pada bapak-bapak itu untuk mengangkut bungkusan-bungkusan sampah plastik itu, lalu memberinya upah sepuluh ribu rupiah. Kadang aku jengkel sekali. Kok bisa ya buang sampah sembarangan begitu? Apa mereka tidak pernah berpikir, bagaimana bila hal itu terjadi pada diri mereka sendiri? Apa reaksi mereka bila melihat ada orang yang buang sampah di depan rumahnya? Bahkan, aku pernah beberapa kali memergoki, bapak-bapak mengenderai sepeda motor, dan menjatuhkan bungkusan sampahnya di depan pagarku. Aku spontan berteriak, "Woiii..." Tapi sepeda motor itu tetap melaju. Pengendarainya tidak menoleh sama sekali. Aku hanya bisa menarik nafas dalam-dalam. Kesal.

     Kalau dulu, aku pasti akan mengumpat dalam hati. "Dasar manusia sialan. Semoga dapat karma buruk," kutukku jengkel. Lama kelamaan, setelah bertahun-tahun lewat, mungkin karena akunya juga sudah semakin menua, perasaanku jadi biasa-biasa saja. Tidak emosi lagi. Datar. Aku mulai bisa berdamai dengan keadaan itu. Mungkin, ini sebagai ladang bagiku untuk melatih kesabaran. Aku hanya bisa berharap mereka mengerti dan diberi kesadaran, agar tidak buang sampah sembarangan lagi di depan pagarku.

     Saat bersih-bersih di depan itu, aku banyak bertemu orang, dengan berbagai karakter. Tak jarang, ibu-ibu yang tak mengenalku, jalan pagi, entah datang dari mana, lewat begitu saja, tanpa bilang permisi atau punten. Sekilas melihat ke arahku, tak berkedip. Jelas tampak pandangan mereka merendahkan. Ada yang jalan tergesa-gesa sembari cemberut, ada pula yang sudah berteriak memanggil-manggil dari kejauhan. Macam-macam. Tapi aku tidak perduli. Tetap fokus pada pekerjaanku. 
    
     Pernah di suatu hari seorang bocah laki-laki berseragam SD berhenti di depanku dan mengajukan beberapa pertanyaan. "Bibik kerja bersih-bersih di sini? Bibik tinggal di mana?" Ternyata dia anak penjual buah langgananku. Kios buah orangtuanya ada di seberang jalan sana. Aku tertawa mendengar pertanyaannya.
"Itu rumahku, di pojok itu," jawabku sembari menunjukkan letak rumahku.
"Di situ? Bener di situ Bik? Apa Bibik tidak takut?"
"Iya, bener. Kenapa harus takut? Banyak anjing kami yang berjaga di rumah..." Dia ternganga, dan meneruskan langkahnya menuju sekolah. Aku tidak tau apa yang ada di pikirannya.

     Ada lagi bapak-bapak botak, gendut pendek, mengenderai vespa biru, berhenti tepat di depanku.
"Bu, tanah di sebelah itu mau dijual ya?" Dia membuka percakapan dengan ekspresi serius. "Iya," jawabku, sembari mengambil sapu, siap-siap melanjutkan pekerjaanku yang tadi terhenti karena harus menjawab pertanyaan anak kecil itu.
"Berapa Bu semeternya?" Tanyanya lagi.
"Tidak tau, Pak. Di situ ada plangnya kok. Ada nomor telepon yang bisa dihubungi. Silakan Bapak cek sendiri." Aku benar-benar ingin menyudahi percakapan dengannya. Pekerjaanku masih banyak mengantri di belakang.

     "Apakah lahan Ibu juga mau dijual?" Aku mulai jengkel. Benar-benar buang waktu.
"Tidak." Jawabku singkat dan tegas. "Oooh, saya pikir mau dijual. Ibu ini isterinya Pak Mame kan? Kakak saya teman sekelas Pak Mame. Saya adik kelasnya di SMA. Kakak saya kuliah di ITB, sama seperti Pak Mame. Kalau saya di UGM. Bapak saya juga guru suami Ibu dulu." Tampak dia tak ingin menyudahi percakapan.
"Oooh..." Aku kembali memberi jawaban singkat.Tidak menunjukkan ekspresi terkejut atau rasa ingin tau lebih banyak. Bahkan aku lupa tanya, bapaknya dulu ngajar bidang studi apa.
 
     "Pak Mame kerja di mana sekarang?" Lagi-lagi dia mengajukan pertanyaan.
"Di Jakarta." Aku mulai curiga. Sebenarnya ke mana arah pembicaraannya? Kenapa banyak tanya?  Aku perhatikan wajahnya baik-baik. 
"Di Jakarta kerja apa?" Dia tampak penasaran.
"Ngajar. Jadi guru," jawabku apa adanya.
"Apa? Pak Mame jadi guru? Apa nggak salah tuh?" Matanya terbeliak dan mulutnya setengah terbuka saat mengatakan itu.
"Iya. Kenapa?" Aku balik bertanya. Aku agak terganggu dengan reaksinya yang berlebihan itu. Aku benar-benar tak suka dengan responnya.
Merendahkan sekali. Apa maksudnya? Kenapa dia usil? Apa urusannya?

"Kenapa Pak Mame tidak kerja di perusahaan saja? Kakak saya kerja di Bukit Asam. Gajinya puluhan juta. Sayang amat, lulusan ITB kok cuma jadi guru." Dia menceritakan perihal kakaknya dengan nada bangga. Tanpa kuminta. Aku tetap tidak tertarik mendengar ceritanya.

"Anak Pak Mame berapa? Apa gajinya cukup ? Apa bisa untuk menguliahkan anaknya?" Dia nyerocos terus tanpa mempertimbangkan perasaanku.

"Nyatanya cukup kok. Anak kami lima, dua sudah wisuda dan kerja. Bapak sendiri kerja apa? Di Bukit Asam juga?" Tanyaku dengan wajah datar.
"Oooh, saya sudah keluar dari pekerjaan, Bu. Tadinya kerja di kawasan industri Bukit Indah City. Perusahaan tempat saya kerja tutup. Bangkrut." Kali ini suaranya terdengar agak melemah.
"Oooh, begitu. Kenapa tidak coba lamar di Bukit Asam saja? Bukankah di sana gajinya puluhan juta?" Dia tak menjawab pertanyaanku, dan tampak tersenyum kecut. Mungkin dia tak mengira kalau aku akan berkata seperti itu. Lalu, dia buru-buru permisi. Saat mesin vespanya dinyalakan, anjing-anjing yang menjagaku saat bersih-bersih, menggonggong panjang. Ada-ada saja.

     Menjelang siang, setelah aku membersihkan tubuh dan ganti pakaian, aku buru-buru ke kios buah yang berjarak sekitar dua ratus meter dari rumahku. Penjual buah langgananku. Kenal isterinya di sekolahan. Waktu sama-sama nungguin anak. Kebetulan anak tertuanya dulu sekolah bareng dengan anak bungsuku di TK, di komplek perum sebelah rumahku.

     Ternyata, di kios itu ada bocah laki-laki yang tadi pagi berhenti dan bertanya padaku. Masih pakai seragam. Tiduran di dipan. "Halo anak ganteng. Sudah pulang sekolah ya?" Sapaku sembari memilih jeruk dan melon. Dia terkejut dan buru-buru bangun. Dia tampak sedang coba mengingat-ingat kembali. Kemudian dia tersenyum. Sepertinya dia berhasil mengenali suara dan wajahku.
"Oooh, ini kan bibik-bibik pembantu yang bersih-bersih depan kebun itu, Bu," ujarnya yakin. "Iya." Aku senyum aja.  Ibu anak itu malah yang tampak grogi. Salah tingkah.
"Hush, sembarangan. Ayo minta maaf sama Ibu ini." Dia memarahi anaknya.

"Nggak apa-apa Dek. Namanya juga anak kecil." Ujarku, siap-siap beranjak pergi setelah menerima dua bungkus plastik buah yang sudah kubayar. 
"Maaf ya Bu..." Penjual buah itu kembali meminta maaf. Tampak sekali dia tidak nyaman. Kikuk. Mungkin dia merasa sungkan.
"Nggak apa-apa, Dek. Terimakasih ya..." Aku segera menyeberang, kebetulan jalan sedang sepi. Aku tak ingin lama-lama mengobrol. Sebentar lagi putri bungsuku akan pulang sekolah.

Kota Baru, Minggu, 26 September 2021 (Pukul 15:54).


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pertanda apa ini

Bunga Teratai

Kedatangan Nova