Penggalan Cerita Kami
Banyak suka duka yang telah kami lalui bersama selama hampir 29 tahun membina rumah tangga.
Suamiku termasuk orang yang pendiam. Sosok pekerja keras dan tekun. Sangat disiplin dan suka membaca. Aku pernah didenda sepuluh ribu rupiah olehnya gara-gara buku yang baru dibelinya kubuat lecek dan sampulnya hampir terlepas. Katanya, biar aku tidak lupa dan mengulang kesalahan yang sama. Saat itu, aku ketiduran. Buku tidak kutaruh dulu di rak. Karena ngantuk, aku asal letak saja. Yah, itulah kebiasaan burukku. Ceroboh.
Dia selalu mengajariku. Ternyata, banyak hal yang aku tidak tahu. Pernah suatu ketika ia memperhatikanku saat membuatkan kopi untuknya. Dia mengatakan, sebaiknya menyendok gula dulu, baru bubuk kopi. Bukan sebaliknya. Bila bubuk kopi dulu yang ditaruh di gelas, bisa saja ada yang menempel di ujung sendok dan terbawa ke dalam toples gula. Dapat mencemari rasa gula. Sementara gula multifungsi, bisa digunakan untuk berbagai keperluan. Beda halnya dengan kopi. Begitulah suamiku. Orangnya teliti dan detail. Bila menurutku penjelasannya cukup logis, aku akan mengiyakan. Bila tidak, maka biasanya akan melalui perdebatan dulu.
Dalam hal makan dan pakaian, suamiku termasuk orang yang sangat sederhana. Apa yang kusajikan, selalu ia habiskan. Dia tidak pernah mencela masakanku. Padahal aku menyadari betul kalau aku tidak pandai memasak. Dia hanya pernah mengatakan, kenapa rasa masakanku beda-beda terus. Tidak ada yang ajeg. Sekalinya pedas, kepedasan. Sekalinya asin, keasinan. Yah, butuh waktu untuk menemukan formula yang pas. "Masakan mama yang ada rasanya cuma nasi dan mi goreng. Itu juga karena tertolong sama rasa kecapnya. O ya, kentang gorengnya mama juga lumayanlah. Teman-teman aku suka minta kalau aku bawa bekal itu." Puteri bungsuku yang berani terang-terangan meledekku. Aku hanya tertawa mendengarnya. Keceriaannya memberi warna tersendiri bagi keluarga kami. Kami sangat menyayanginya. Di mataku, dia bagaikan bidadari.
Menyadari kelemahanku itu, membuat aku jadi rajin menyuapi anak-anak dan suamiku. Aku berkeliling mendatangi mereka satu per satu. Bahkan, sampai hari ini pun aku masih suka menyuapi anak-anakku, terlebih Dhamma dan Ehi. Saat kami kumpul, biasanya Abhi dan Dhamma main game, Ehi nonton anime, Bodhi membaca berita, Cagga mengerjakan tugas kuliah, sedangkan suamiku sibuk dengan pekerjaannya.
Aku senang melihat mereka makan dengan lahap. Meski rasa masakanku sangat standard.
Ternyata, kebiasaanku menyuapi mereka itu jadi sebuah ikatan. Mereka memaknainya sebagai wujud kasih sayang. Belakangan, suamiku juga mengikuti tindakanku. Terlebih setelah aku mulai sakit-sakitan. Mungkin sudah sama-sama menua, sehingga bisa saling memahami. Suamiku suka menyuapiku juga. Membuatkan segelas teh manis hangat saat aku kembali dari kebun atau sehabis membersihkan halaman. Tak jarang mengupaskan salak, jeruk, dan duku. Aku merasa, dengan caranya, dia cukup memanjakanku. Saat malam tahun baru atau terang bulan, kami menikmatinya sembari makan kacang atau jagung rebus. Sesederhana itulah hidup kami.
Kami selalu mensyukuri apa yang ada pada kami. Tidak memaksakan diri, apalagi sampai mengada-ada. Memang ini porsi kami.
Kota Baru, 30 Maret 2021, pk 22.35.
Komentar
Posting Komentar