Merajut Harapan

Melihat semangat dan optimisme anak-anak, membuat aku jadi punya keberanian untuk melangkah, menjalani hari esok yang penuh misteri.

"Mama harus sehat. Harus kuat. Selama ini, Mamah sudah sanggup melalui jalan yang sulit, dan bisa bertahan selama dua puluh tahun lebih. Aku berharap, Mama bisa bersabar sedikit lagi. Kasih kesempatan kita untuk membahagiakan Mama. Kita semua sedang berjuang, Ma..." Anak sulungku Abhi, mengatakan itu berulang kali. "Mama doakan kita semua ya. Aku percaya, ke depan, hidup kita akan semakin membaik," sambungnya meyakinkanku.
Aku hanya diam, tak mampu berkata-kata. Rasa haru memenuhi dadaku. 

"Iya, Ma. Jangan khawatir. Aku akan berusaha sebaik-baiknya. Meneruskan semangat Papa. Selain kerja kantoran, aku juga akan terus jualan. Sayang kalau ditinggal. Susah payah aku merintisnya. Aku usahakan pemasukan aku tidak hanya dari satu sumber. Mama nggak usah banyak mikir. Mama sudah jalankan bagian Mama. Membesarkan anak-anak. Sekarang giliran kita menjalankan kewajiban. Biar nanti uang sekolah Ehi aku yang tanggung..." Anak keduaku Bodhi, menimpali. Cagga, Dhamma dan Ehi hanya diam, sembari menyimak dengan seksama.

"Mama sih tidak berharap yang muluk-muluk. Kebutuhan Mama juga tidak banyak. Mama hanya berharap, kalian lima bersaudara akan selalu akur, dan mau saling dukung satu dengan lainnya. Itu saja...," ujarku, memberi penegasan.

Apa pun yang terjadi dalam hidupku, aku selalu berusaha belajar untuk mensyukurinya. Pemikiranku sederhana saja. Aku jalani bagianku dengan sebaik mungkin. Itu saja. Mengalir apa adanya. Selebihnya, biar alam yang bekerja. Aku percaya, pada akhirnya, semua akan kembali ke diri sendiri. Hukum alam itu adil. Alam punya cara kerja sendiri. Unik. Walaupun terkadang, berada di luar jangkauan nalar manusia. Aku meyakini itu sebagai pegangan hidupku. 

Kota Baru, 10 Agustus 2021 ( 24:20).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pertanda apa ini

Bunga Teratai

Kedatangan Nova