Menjalani dan Mensyukuri Porsiku

    25 tahun dari hampir 29 tahun usia pernikahan, kami hidup terpisah. Suamiku di Jakarta, sedangkan aku di Cikampek. Dia pulang setiap akhir pekan. Setelah anak-anak beranjak remaja, satu per satu pindah ke Jakarta  untuk melanjutkan pendidikan mereka. Aku tak pernah menahan. Aku izinkan mereka mengejar mimpi dan mewujudkan cita-citanya. Sampai pada satu titik di mana hanya tinggal aku berdua dengan Ehi. Saat Ehi sekolah, aku benar-benar sendiri di rumah. Aku selalu mengantarnya ke depan sampai naik jemputan sekolah. Setelah ia berangkat, aku beraktivitas seperti biasa. Menjelang dia pulang, aku ke depan lagi, menunggunya. Membukakan pintu pagar, dan terkadang membantu membawakan tasnya yang berat. Buku paket mereka tebal-tebal. Sambil berjalan masuk, dia tak henti bercerita. Ada saja yang dia jadikan topik. Aku selalu menyimaknya dengan cermat. Tak jarang dia berjalan sambil berputar-putar dan merentangkan kedua tangannya. Aku suka melihat keceriaannya itu. Suka pada semangat dan kepolosannya. "Mama dengerin cerita aku kan?" Ia selalu menanyakan hal yang sama secara berulang-ulang. Aku tau, dia ingin memastikan saja. "Iya, Mama mendengarkanmu."  Aku meyakinkan dia kalau aku memperhatikan ceritanya. Begitulah Ehi, si bungsu, satu-satunya anak perempuan kami. 
     Kami menempati lahan warisan peninggalan mertuaku. Rumah kami terletak di tengah kebun. Di sini, kami benar-benar tinggal sendiri, tidak ada tetangga. Tempat tinggal kami dibatasi oleh tembok komplek perumahan dan rumah-rumah penduduk sekitar. Banyak pohon tumbuh di sekeliling rumah kami. Aku masih bisa melihat belalang, kupu-kupu, capung berwarna warni, tupai berloncatan, dan burung-burung yang bebas beterbangan. Ular, musang, bahkan biawak. Masih bisa mendengar suara jangkrik dan kodok bersahut-sahutan, terlebih di musim penghujan seperti sekarang. Jarak dari rumah ke jalan raya kira-kira 150 m. Untuk keamanan, kami memelihara anjing. Saat ini ada 11 ekor. 
Anjingku baik dan nurut. Seperti mengerti bahasa manusia. Ke mana pun aku pergi, mereka selalu mengikuti. Batasnya sampai pagar depan. Kalau aku pergi ke luar naik motor dengan anakku, maka mereka akan menungguiku di depan sampai aku pulang. Aku merasa seperti punya pengawal pribadi. Bila aku ke kebun bersih-bersih atau sekedar menyapu halaman, mereka juga menunggui. Sambil tidur-tiduran, dengan formasi mengelilingiku. Seakan tahu kalau tugas mereka adalah menjagaku. Aku suka bercakap-cakap dengan mereka. Tak lupa aku mengucapkan terimakasih atas kesetiaan mereka menjaga kami. Suamiku bila menelpon pun, pertanyaan pertama yang meluncur darinya adalah: "Bagaimana di rumah, anjingnya pada rame tidak?" Begitulah cara dia mengecek keamanan kami. Tanpa basa basi. Kami memang tidak terbiasa mengumbar kata-kata puitis.
     Aku selalu coba memaknai hidupku dengan menjalani dan menjalankannya dengan sebaik-baiknya, semua, sebisa dan semampuku... Yang jadi fokus utama, anak-anakku. Aku selalu berdoa, agar kelak mereka bisa punya kehidupan yang jauh lebih baik dari kami, orangtuanya. Biarlah rantai karma buruk terputus dan terhenti di kami saja. Aku berharap, mereka, lima bersaudara, bisa tetap kompak, saling menyayangi, dan bisa saling mendukung satu sama lain. Untuk diriku sendiri, aku ingin tetap sehat, bermanfaat, dan berharap bisa punya masa tua yang bahagia...

Kota Baru, 1 April 2021, pk 12.20.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pertanda apa ini

Bunga Teratai

Kedatangan Nova