Menggali Ingatan
Kota Baru, Kamis, 23 September 2021 ( Pukul 10:50)
Yang khas kuingat dari dirinya adalah, kurus jangkung, berkulit terang, murah senyum, dengan model rambut gondrong berponi, seperti Adi Bing Slamet. Sedikit pemalu.
Setelah 30 tahun lebih tak bersua, banyak perubahan fisik yang terjadi pada teman-temanku. Arief, Anto, Didi, Gebi, Pepih, semua berubah drastis. Aku benar-benar tak bisa mengenali mereka lagi. Termasuk Yuyus. Kemana perginya rambut hitam lebat milik mereka dulu? Apa betul ini foto diri Yuyus? Aku tak percaya. Setelah Gebi membagikan foto Yuyus saat muda, aku baru percaya.
Yuyus merupakan salah satu orang teman yang baik padaku. Ramah dan lucu. Kami selalu bertukar cerita. Dia pun memberi dukungan moral padaku. Menghibur dan menguatkan, saat awal-awal kepergian suamiku.
"Aku benar-benar tak bisa mengenalimu. Sekarang kau terlihat seperti seorang pejabat lho. Staf ahli menteri. Aku beneran pangling," aku mengatakan padanya dengan spontan. Dia hanya tertawa mendengarnya.
"Cici mah bisa aja. Biasa wae Ci," jawabnya merendah. Ternyata, dia tetap ramah. Tetap mau kenal sama teman lama. Tanpa memandang status. "Aku sudah pensiun Ci. Sekarang coba-coba bisnis kuliner. Jual siomay dan cuan ki," lanjutnya menjelaskan. "Baguslah, jiwa enterpreneurmu masih terjaga baik," timpalku.
Yuyus orang yang terbuka. Suka bercerita. Termasuk menceritakan perjuangan hidupnya dalam meniti karir. "Kita mah sama Ci. Dari muda sudah harus kerja keras. Sejak kelas enam SD, sudah ditinggal Ibu pergi. Ayah menikah lagi. Kakak-kakak perempuan yang merawat saya. Pengganti Ibu. Sambil kuliah juga kerja. Jadi sales. Mulai sales pakaian dalam, ensiklopedia, sampai jaga toko buku, milik orangtua salah satu teman kita. Semua terpaksa dijalani. Kadang ada rasa malu juga sih. Kan nggak semua teman bisa memahami. Ada juga yang mengejek dan becandain. Tapi mau gimana lagi. Kalau sudah menyangkut urusan perut. Yang penting halal," ujarnya panjang lebar. Aku bisa memahami kepahitannya dulu. Karena aku pun pernah melaluinya.
"Bersyukur kita pernah melewati masa-masa sulit seperti itu, Yus. Justeru itu yang membuat kita kuat." Aku mengatakan itu padanya, seperti yang selalu aku camkan ke diri sendiri. "Iya, betul Ci. Sekarang kita tinggal menikmati masa tua. Menjalani hobi yang tidak sempat disalurkan sewaktu muda. Saya dan isteri memelihara banyak burung. Ada tupai juga. Untuk hiburan. Sesekali mobil VW saya disewa untuk acara pernikahan. Ada usaha kos-kosan juga. Saya jalani aja. Tidak pilih-pilih. Yang penting menghasilkan uang dan halal." Seperti itulah adanya Yuyus. Teman lama yang selalu menularkan energi positif padaku. Dia pun sudah berhaji dengan isterinya. Aku ikut senang mendengar ceritanya. Semoga dia dan keluarga selalu bahagia dan hidup dalam berkah.
Arief, dulu banyak diidolakan oleh para mahasiswi. Penampilannya seperti model. Tingggi atletis, berkulit coklat, eksotis. Selalu tampil rapi. Anak seorang profesor. Matanya bagus seperti mata Rambo. Berkumis tipis, dengan rambut ikal setengah gondrong. Dia suka pakai kaca mata gaya berwarna hitam.
Tapi, kesan itu entah sudah hilang ke mana. Yang aku lihat di foto profilnya, seorang bapak-bapak berkaca mata, dengan model rambut minimalis, tersenyum bijak. Dia benar-benar berubah menjadi arif dan bijaksana, di usianya yang sudah berkepala lima. Sesuai dengan nama pemberian orangtuanya. Amazing...! Setelah pensiun Arief pun buka usaha kuliner. Anak laki-lakinya yang menjalankan usaha itu. Arief yang mengontrol. Arief masih tetap energik wira wiri Jakarta-Bandung. Tetap ceria. Kelainan jantungnya tidak dijadikan sebagai alasan untuk berhenti bergerak. Selalu sehat dan tetap semangat ya kawan...!
Anto, yang dulu berperawakan kurus ceking, senang tampil casual dengan kaos oblong dipadu jins, berambut lurus, semi gondrong, dengan poni belahan tengah, jarang mau tersenyum, selalu terlihat cuek, juga tampak berbeda sekarang. Makin tua, malah terlihat makin gaya. Lebih berisi. Pipinya tak secekung dulu. Dia bermetamorfosa jadi seperti Ariel Noah. Berkaca mata dengan model rambut kekinian. Rambutnya masih tebal, tersisir rapi menggunakan pomade, pengeras rambut. Tampak terawat. Dan yang lebih mengejutkan lagi, dia tidak seserius dulu. Bisa berbalas canda dengan teman-teman di grup. Aku suka tertawa membaca candaannya. Terlebih saat dia membalas ledekan Arief, Yuyus atau Rika, sang menteri keuangan di angkatan kami, yang punya senyum manis dan tutur kata lembut. Sesekali Anto juga meledekku. Dia tampak bahagia. Punya isteri seorang dosen dan anak-anak yang pintar. Dia mengelola cafe di Bekasi yang ada live musicnya. Sekali tempo mengundang artis ibukota untuk mengisi acara. "Kapan Holi mau mampir ke cafe? Ajak anak-anak ya. Khusus untuk Holi, aku kasih free..." Aku terharu mendengar tawarannya yang ramah itu. Selalu sehat dan terus semangat kawan. Semoga kau selalu bahagia.
Didi masih tetap sekocak dulu. Dengan jokesnya selalu bikin ramai grup. Walau kadang terkesan nyeleneh, Didi selalu berusaha jujur. Mengatakan apa adanya. Tanpa beban. Dia tak terganggu dengan berbagai komentar tentang dirinya. Semua dia balas dengan tawa. Benar-benar sosok yang kuat dan teguh. Aku pun kagum pada kecerdasan dan kerja kerasnya. Dia selalu mengabarkan aktivitasnya di grup. Sehingga kami bisa tau apa saja yang dia lakukan. Tanpa pretensi. Hanya bersifat kabar kabari sesama teman. Sikapnya membumi. Merangkul semua.
"Kita sudah tua. Butuh teman ngobrol. Apa adanya saja." Dia berkata seperti itu padaku, di suatu hari, saat menelpon. "Kamu harus sumanget. Anak-anakmu pasti bisa." Lanjutnya, coba meyakinkanku. Terimakasih Didi. Kau juga ya. Jaga kesehatan. Selalu sehat dan ceria.
Gebi Yani Bawole. Pemilik nama unik. Dari namanya, aku bahkan tidak bisa menebak orang dari mana dia. Dulu, dia termasuk orang yang sangat ingin kuhindari. Setiap kali berpapasan di jalan, masuk menuju kampus, dia suka senyum-senyum nakal, menggoda, dan mengeluarkan suara mirip seperti sinterklas. Sangat menjengkelkan. Hohoho...
Dulu, Gebi juga berambut gondrong, sedikit bergelombang. Tubuhnya mungil. Jalannya cepat. Kadang suka bersiul-siul kecil. Kalau dia sedang waras dan tidak jahil, sebetulnya dia manis sekali. Gayanya seperti rocker. Lumayan kritis. Yang paling kuingat darinya, selalu pakai jins. Kadang dipadu dengan kemeja lengan panjang warna krem cerah, ada dua kantong besar di dadanya, terkancing rapi. Bajunya dimasukkan. Dia selalu pakai tas kain warna hitam yang dicangklongkan di pundak kirinya. Aku belum pernah melihat Gebi merokok. Beda dengan Suherman Emje, setiap berpapasan, jari telunjuk dan jari tengahnya selalu menjepit rokok yang menyala.
Emje dan Gebi punya perawakan yang sama. Emje selalu tersenyum lebar setiap kali berpapasan denganku. Hingga tampak deretan giginya. Emje juga suka mengenakan jins. Tapi dia tak suka pakai kemeja lengan panjang. Saat kuliah pagi, cuaca masih dingin, dia pakai kemeja lengan pendek, dipadu dengan rompi rajutan bercorak binatang, warna cerah, V neck. Ramah dan menyenangkan. Seperti Agus Mbeng. Selalu senyum dan menyapa.
Siapa mengira, justeru setelah terhubung kembali, aku tak bisa mengenali Gebi. "Siapa kakek-kakek botak berjanggut, yang berdiri di kapal-kapalan itu? Senyumnya seperti tidak asing bagiku," tanyaku pada Donilo. Saat ada foto edisi reuni beredar di grup.
"Oooh, itu kan Gebi," jawabnya lewat chat. Gebi? Aku perhatikan lebih teliti lagi. Betul. Memang Gebi. Ke mana rambutnya yang ala rocker dulu itu? Semua berubah. Aku benar-benar terharu saat mengamati satu per satu wajah teman-temanku. Semua sudah berubah dan menua.
Setelah terhubung langsung dengan Gebi, aku banyak bercerita padanya. Tidak tau kenapa dan bagaimana. Kita jadi dekat. Seperti saudara. Gebi yang dulu njengkeli malah jadi ngangeni. Dia, Demi, Didi, Mustofa, dan Rakaryan aktif di grup. Merekatkan teman yang satu dengan lainnya. Belakangan Gebi disibukkan dengan mengumpulkan kisah teman-teman, yang akan diterbitkan dalam sebuah buku "Jejak Sekeloa." Selalu sehat ya Geb.
Aku tidak punya banyak kenangan tentang Pepih. Dulu dia sangat pendiam. Beberapa kali berpapasan. Kebetulan dia sekos dengan Nova. Aku suka main ke kosan Nova. Dekat dengan perpustakaan Dipati Ukur. Kamar Nova ada di bagian depan. Kadang-kadang kami duduk dan ngobrol di teras. Saat Pepih masuk ke rumah, dia berjalan lurus. Jangankan menyapa. Tersenyum saja tidak. Saat beradu pandang, dia selalu memalingkan wajah.
Yang paling kuingat, wajah dan postur tubuhnya sangat mirip Dewa Budjana. Dia selalu tampil berkemeja rapi. Dipadu dengan celana bahan juga. Sama seperti Wawan. Tampaknya Pepih juga tidak terlalu suka mengenakan celana jins.
Setelah tergabung di grup Fikomers '85, aku baru mengerti kalau dia seorang penulis terkenal. Dia selalu berbagi tekhnik-tekhnik menulis yang mudah di grup. Untuk menyemangati teman-teman agar mau menuangkan kisahnya dalam bentuk tulisan. Tidak banyak yang kuketahui tentang dirinya.
Selalu sehat dan tetap semangat berkarya ya Pep...
Ha ha ha, Kakek-kakek botak berjanggut :)
BalasHapusIya. Terimakasih supportnya...๐๐
HapusButuh waktu utk mengumpulkan ingatan kembali. Setelah 30 tahun lebih hilang kontak...๐