Memenuhi Janji
Aku lega sekali. Akhirnya satu per satu masalah terselesaikan. Aku bisa penuhi janjiku pada almarhum suamiku.
Sudah bayar uang kuliah semester akhir anak ketigaku, perpanjang kontrakan di Jakarta, dan beli lap top untuk si bungsu.
Benar-benar bersyukur. Lega rasanya. Akhirnya, setelah melalui perdebatan yang cukup panjang, sampai juga pada satu keputusan final. Dalam berbagai hal, kami memang sudah terbiasa mendiskusikannya terlebih dahulu.
"Apa nggak bisa tunggu sampai gajian bulan depan? Mau beli sesuatu ya beli yang bagus sekalian. Jangan nanggung. Perubahan teknologi itu cepat sekali, Ma. Pikir jangka panjangnya. Pilih yang awet. Jadi tetap bisa dipakai sampai dia kuliah. Nggak ketinggalan. Kan sayang, kalau cepat jadi barang rongsokan? Pilih yang bisa buat gaming juga. Nggak mungkin dia belajar terus. Dia juga butuh refreshing. Nanti aku bantu beli." Ujar si sulung mengemukakan pendapatnya.
Semua pendapat aku tampung, tapi pada akhirnya, tetap aku yang memutuskan. Aku selalu coba ambil keputusan terbaik untuk kepentingan semua anakku.
"Nggak bisa. Tiap hari banyak tugas. Dhamma terpaksa mengalah. Lap topnya yang dipinjam. Sekarang dia kelas 12. Kasian kan, kalau terganggu terus. Nggak bisa belajar maksimal. Bisa makin ketinggalan. Dia juga kan harus persiapan untuk ujian akhir, SBMPTN, dst, dst." Aku coba menjelaskan keadaan yang terjadi sehari-hari, selama pembelajaran daring berlangsung.
"Kalau dia ingin yang bagus, ya nanti juga pasti akan bisa terbelilah. Tunggu setelah dia kerja. Dia kan bisa nabung untuk beli sendiri. Sekarang, kita sesuaikan dengan budget yang ada." Lanjutku. Mengatakan apa adanya.
"Dengan uang segitu, sudah dapat spesifikasi yang bagus kok. Bisa dipakai sampai kuliah. Aku sudah cek dan pelajari," anak ketigaku buka suara. Dia selalu bicara dengan berpijak pada data.
"Yang untuk gaming, beda lagi. Selisih harganya juga jauh. Tapi buat apa? Ini kan tujuan utamanya untuk mendukung sekolah Ehi." Lalu dia kirimkan beberapa gambar lap top berikut daftar harganya.
"Aku juga nggak mau ada yang bisa untuk gaming kok. Prioritas aku belajar, ngerjain tugas-tugas sekolah," si bungsu menimpali. Si sulung diam menyimak.
"Kalau ditunda lagi, Mama khawatir uangnya terpakai untuk kebutuhan lain. Dana kita terbatas. Itu pesan terakhir Papa. Dan Mama sudah berjanji akan memenuhinya. Biar Papa juga tenang di sana. Tak baik menunda-nunda terus. Mama pun merasa, seperti ada ganjalan. Punya hutang. Jadi beban pikiran." Aku berharap si sulung bisa memahami jalan pikiranku. Akhirnya dia melunak.
"Ya udah.Terserah." Dia mengiyakan. Aku langsung hubungi anakku yang ketiga. Karena dia yang bertugas melakukan survei dan perbandingan harga di Mangga Dua.
"Nanti aku bantu lima juta, Ma. Jangan semua dibebankan pada uang peninggalan Papa. Tahun depan kan Dhamma juga mau kuliah." Anak keduaku buka suara.
"Nggak usah. Nanti ganggu cash flow kamu. Uang untuk dagang jangan diutak-atik. Mama nggak mau ganggu perputaran modal usahamu. Masih cukup kok." Aku tak tega. Dia baru saja mulai merintis usahanya.
"Nggak apa-apa kok Ma. Aku ada sisihkan sedikit, di luar modal untuk jualan. Bulan ini omset penjualan aku meningkat. Jadi ada lebih," ujarnya meyakinkan.
"Ya sudah, kalau kamu yakin tidak bakal ganggu. Mama tidak ingin membebani siapa pun. Terimakasih ya." Ada rasa haru memenuhi dadaku.
"Mama bukan beban. Jangan berkata seperti itu. Kita ini keluarga. Memang sudah kewajiban kita. Selama ini Mama sudah jalankan bagian Mama. Sekarang, giliran kita." Aku tak mampu berkata-kata lagi. Setelah menua, aku jadi cepat tersentuh dan merasa terharu.
Akhirnya lap top itu terbeli. Si bungsu girang sekali. Bersyukur, satu masalah sudah teratasi.
Setelah itu, aku coba menghitung-hitung lagi sisa uang almarhum suamiku. Aku menghela napas dalam-dalam. Hatiku jadi tak menentu. Sekarang sudah mulai masuk musim penghujan. Di dua titik bagian dapur, aku lihat sudah semakin miring, condong ke arah timur. Aku takut rumah ini akan rubuh kalau tidak segera diperbaiki.
Akhirnya, aku putuskan untuk mengganti atapnya. Anak-anak setuju, dan sepakat mau gotong royong menanggung biaya renovasinya. Sekali lagi, aku mengucap syukur. Punya anak-anak yang baik dan pengertian.
Memang, uang peninggalan suamiku tidak banyak.Tapi cukup buat kami. Sedari dulu, kami sudah terbiasa hidup sederhana. Mencukupkan diri dengan yang ada. Anak-anak bisa sekolah lancar saja, rasanya sudah senang. Aku nggak muluk-muluklah. Aku sadari betul di mana posisi diriku berada. Selama ini, kami hidup hanya dari gaji suamiku sebagai seorang guru. Setelah menikah, aku tak pernah kerja. Aku urus anak-anak dan pekerjaan rumah tangga saja.
Meski begitu, kami tidak merasa kekurangan. Selalu cukup. Hidup kami baik-baik saja. Dan ada satu hal yang sangat melegakan. Suamiku pergi tanpa meninggalkan hutang. Alam sungguh baik pada kami. Selalu melindungi dan menjaga kami.
Sampai hari ini pun, kami masih dapat bertahan, dan tetap menjalani hidup secara normal. Semua baik-baik saja. Semoga akan selalu begitu...
Kota Baru, Kamis, 30 September 2021 (Pukul 23.50).
Dialog yang menarik dalam keluarga
BalasHapusTerimakasih...🙇🙇Bicara terbuka, apa adanya akan baik untuk semua pihak. Agar tak ada ganjalan...☺
Hapus