Ketan dan Kentang

Kota Baru, Jumat, 24 September 2021 (Pk 15:33)

      Semenjak aku mulai sakit-sakitan sampai hilang pendengaran, aku tak diizinkan pergi belanja sendiri. Selalu diantar. Terlebih setelah aku nyaris tertabrak motor saat hendak menyeberang. Kalau bukan suamiku yang mengantar, pasti anak-anakku. 

     Saat itu stok beras sudah menipis. Anakku yang sulung menawarkan diri untuk keluar belanja. Tumben. Biasanya dia malas ke luar. Dari mulai sampai rumah, sampai waktunya balik lagi ke Jakarta, dia lebih banyak tidur di kamar atau main game dengan adiknya. Dia benar-benar ingin nyantai kalau ada di rumah. 
     "Kerja di Jakarta capek banget, Mah. Tekanannya luar biasa. Pulang ke rumah tujuannya ya memang benar-benar untuk refreshing. Istirahat total." Dia selalu berkata begitu. Sebagai mamanya, aku selalu berusaha memahami. Makanya aku tidak mau mengganggunya. Untuk minta tolong mengerjakan ini dan itu. Sebisanya, aku kerjakan sendiri. Aku pun menyediakan makanan yang dia suka. Agar dia terhibur dan merasa senang. Mumpung ada di rumah. Mungkin di kontrakan dia tidak bisa tidur nyenyak. Aku berharap, saat dia balik ke Jakarta, sudah segar lagi. Dan siap menghadapi hari-hari yang penuh dengan tantangan. 

     Aku serahkan daftar belanjaan padanya. Di situ tertulis apa-apa saja yang harus dibeli. Termasuk kentang dan tempe. Dengan percaya diri dia berangkat ke pasar. "Beli kentang yang besar-besar ya. Kentang mentega, yang dalamnya kuning," pesanku. 
"Kalau untuk beras, pilih aja yang paling putih, dan bentuknya panjang-panjang ya. Sekilo Rp12.500,- yang biasa kita beli." Aku jelaskan supaya dia punya bayangan dan tidak kerepotan nantinya.
"Ya, oke. Aku dah ngerti..." jawabnya yakin. Aku pun lega. Melanjutkan pekerjaanku di dapur.

     Saat aku sedang duduk santai di ruang tamu, dia sampai dengan beberapa bungkusan di atas motor. Aku bantu mengangkat belanjaannya.

     "Mah, ini aku beliin beras yang paling bagus. Paling putih. Harganya Rp 14.000,- per kilo. Kentangnya juga gede-gede lho Ma." Dia tampak bangga saat mengucapkan itu.
     "Oooh, iya. Bagus lho..." ujarku sembari membawa belanjaan itu ke dapur.
      Namun, saat aku periksa belanjaan yang dia beli, aku terkejut sendiri. Wuah, jangan-jangan penjualnya salah kasih atau anakku yang salah ambil belanjaan. 

     "Balikin lagi nih belanjaannya. Salah semua. Jangan-jangan tertukar dengan punya orang lain," pintaku pada anakku.

     "Nggak mungkin tertukar Mah. Tadi juga sepi kok. Aku beli sesuai dengan petunjuk Mamah," ujarnya yakin.

     "Yang ini mah bukan beras. Tapi ketan putih. Yang ini ubi jalar. Bukan kentang. Tempe, wortel, toge, sudah benar. Ini juga salah. Bukan sawi ijo. Namanya kailan. Tapi nggak apa-apa sih. Masih bisa disayur. Nah, yang jadi masalah itu beras ketannya ini lho," aku coba jelaskan padanya, satu per satu.

     "Ah, nggak mau balik lagi ah. Malu. Kirain semua beras sama. Mama tadi bilang pilih yang paling putih. Ya udah, aku ambil itu." Dia tertawa. 

"Masalahnya, gimana cara ngabisin ketan sebanyak ini?" Aku menghela napas dalam-dalam. 10 kg.

"Ya, Mamah bikin makanan apa kek. Atau, Mama bagi ke teman-teman Mama aja." Jawabnya ringan. Dia tetap bersikukuh tidak mau balik ke pasar dan menukar ketan itu dengan beras. Akhirnya aku menyerah dan tak memaksanya lagi.
"Ya, sudahlah..." Aku berkata sembari berpikir keras.

     Akhirnya ketan itu aku olah jadi nasi manis dan dikukus biasa. Dimakan dengan parutan kelapa. Ada juga yang kuberikan pada teman. Lama sekali baru habis. Sisa kira-kira dua gelas belimbing, aku taburkan di halaman, untuk makanan burung. Banyak burung liar di kebun kami. Dalam sekejap habis. 
      Sedangkan ubi rambatnya, ada yang kugoreng, kukus dan bikin kolak.
      Begitulah, selalu ada cerita tak terduga di keluargaku. 




    

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pertanda apa ini

Bunga Teratai

Kedatangan Nova