Keinginan Unik Anak Sulungku

Kota Baru, 13 September 2021

Setelah anak-anak besar dan melanjutkan pendidikan mereka di Jakarta, segala sesuatunya suamiku yang urus. Termasuk ambil raport dan berbagai urusan administrasi lainnya. Aku fokus urus anak-anak yang masih kecil saja.

Kebetulan suamiku kerja di Jakarta. Jadi bisa tinggal bareng dengan anak-anak yang sudah SMA dan kuliah. Suamiku dan anak-anak pulang seminggu sekali, setiap akhir pekan.

Suamiku seorang pekerja keras. Selalu membawa pulang pekerjaannya. Entah itu koreksian, pekerjaan administrasi, maupun persiapan membuat soal-soal untuk latihan dan ulangan murid-muridnya. Sebagai wali kelas, dia pun banyak menampung keluhan dari murid dan orangtua. Kadang aku kesal juga. Sibuknya melebihi seorang pejabat. Hampir tidak ada waktu untuk mengurusi keperluan keluarga.

Tapi belakangan aku mulai bisa memahami. Pekerjaannya itu merupakan sumber kehidupan kami. Tidak apa-apa. Sejauh dia bahagia. Dengan begitu, dia bisa berekspresi dan mengeksplorasi kemampuan dirinya. Dia bahagia menjalani profesinya. Hal ini terlihat jelas saat dia mengetahui murid-muridnya bisa lolos masuk perguruan tinggi negeri. Dia merasa bangga.

"Ma, aku ingin Mama yang ambil raportku di Jakarta nanti," ujar anakku yang sulung suatu ketika. Setamat SD, dia melanjutkan sekolah di Jakarta. Bersekolah di tempat papanya mengajar.

"Kenapa harus Mama? Kan ada Papa. Mama juga harus ambil raport adik-adikmu." Aku berusaha menjelaskan.

"Memangnya tidak boleh?  Sebenarnya nggak ada apa-apa sih. Aku hanya ingin tunjukkan ke teman-teman, seperti apa Mamaku. Itu saja..." Dia tampak agak kecewa. 

Sebagai anak tertua, aku menaruh harapan besar padanya. Awalnya, aku tak rela berpisah darinya. Dia masih begitu muda. Ada kekhawatiran tersendiri. Berbagai macam pertanyaan memenuhi benakku. Apakah dia akan bisa mandiri dan cepat beradaptasi? Selama ini, aku yang menyiapkan semua keperluannya. Aku memang agak memanjakan anak-anakku. Kebahagiaan mereka yang utama. Mungkin setiap ibu juga punya perasaan seperti itu. 

Suamiku meyakinkan, semua akan baik-baik saja. Semua dilakukan demi masa depannya. Aku melepas anakku dengan berat hati. Aku selalu menunggu datangnya hari Sabtu. Dan akan merasa sedih saat melepas keberangkatannya ke Jakarta lagi di hari Minggu. Rasanya sebentar sekali. Belum puas bercakap-cakap dengannya.

"Cobalah ke sekolah sekali-kali. Itu keinginan anakmu. Mungkin dia diejek oleh teman-temannya." Suatu hari suamiku mengatakan itu padaku.

Kesempatan itu datang juga. Adiknya sedang libur karena ada ujian akhir bagi kelas enam dan sembilan. Aku ke Jakarta dengan membawa tiga orang adiknya dan seorang saudara sepupunya, yang kebetulan tinggal dengan kami. 

Kami naik kereta ke Jakarta. Duh, rasanya lelah sekali. Mengawasi empat orang anak sangatlah tidak mudah.

Di sekolah kami disambut oleh Bu Popi, guru bagian konseling di sekolah itu. Orangnya baik dan ramah. Suamiku sedang mengajar di kelas.

Saat jam istirahat, anakku yang sulung dan yang kedua menghampiri. Sambil senyum-senyum dan mencubit pipi adik perempuannya. Saat itu yang sulung sudah SMA dan yang kedua SMP. Mereka sekolah di yayasan yang sama.

Teman-teman mereka melihat sambil tertawa. Ada yang nyeletuk. "Widih, anak Pak Mame datang serombongan..." Aku mesem saja. Aku juga dengar pertanyaan teman-temannya. "Itu nyokap lu Bhi?" 
"Iya. Itu nyokap gua..." jawabnya secepat kilat. Tak lama bel berbunyi. Mereka masuk kelas dan belajar lagi.
Saat bubaran sekolah, aku pun siap-siap pulang, diantar suamiku. Tidak sempat mampir ke kosnya anak-anak. Karena harus mengejar kereta sore. Rumah tidak bisa ditinggal lama-lama. Ada ibu mertuaku. Setidaknya, aku sudah memenuhi keinginan anakku.

Saat hari berikutnya dia pulang ke rumah, aku tanya. Kenapa dan apa alasan dia bersikeras ingin memperlihatkan ibunya pada teman-teman sekolahnya.

"Abhi kan bukan orang kota. Mereka suka tanya dan menduga-duga tentang Mama. Abhi nggak suka mereka berkata buruk tentang Mama. Mama itu cakep kok. Nggak kalah dari Mama mereka. Coba Mama mau sedikit dandan. Pasti glowing juga," ujarnya menjelaskan. Aku tertawa mendengarnya. Kadang jalan pikiran seorang anak itu memang sulit untuk dimengerti.

Di kemudian hari, setelah dia bekerja, dari gaji pertamanya dia membelikan seperangkat alat-alat kecantikan. "Ini untuk Mama." 

Tapi aku tak pernah menggunakannya sampai kadaluwarsa. Aku benar-benar sibuk, banyak hal yang harus kukerjakan. Sehingga aku tak punya waktu untuk belajar mencoba menggunakan alat-alat kecantikan itu. 

Komentar

  1. Coba Mama mau sedikit dandan. Pasti glowing juga, hehehe. Tulisan yang menarik, sangat manusiawi

    BalasHapus
  2. Terimakasih...🙇🙇

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

ibu intan

Kedatangan Nova

reuni ke 40 tahun