Kasih Seorang Ayah
Kota Baru, 15 Agustus 2021 (Pk 21:00)
Pandemi ini meninggalkan duka yang mendalam. Tidak hanya orang terdekatku, tapi orang-orang yang ada dalam lingkar pertemananku pun, satu per satu pergi.
Sepanjang bulan Juli, aku dicekam rasa takut, yang teramat sangat. Saat mendengar pengumuman dari corong mesjid di sebelah barat dan timur rumahku, jantung berdegup kencang. Ditambah suara sirene ambulans yang bolak balik di jalan, membuat hari-hariku terasa makin mencekam.
Situasi tak menentu ini mempengaruhi selera makan dan pola tidurku. Ada begitu banyak kekhawatiran yang berkecamuk di benakku. Bagamana aku tidak resah? Dua dari lima orang anakku ada di Jakarta. Aku benar-benar merasa tidak tenang.
Belum lagi pemberlakuan PPKM Darurat. Semua itu menambah keresahan dan rasa takutku. Sungguh, aku ingin tetap sehat, agar bisa bertahan hidup lebih lama lagi. Agar bisa menjaga dan mendampingi anak-anakku, setidaknya sampai mereka bisa mandiri.
Sebagai warga negara yang baik, aku pun berusaha mengikuti anjuran pemerintah untuk vaksin, yang bertempat di RSUI, Depok. Anakku Bodhi yang daftarkan. Karena dinilai aman untukku, bisa drive thru.
Bersyukur kami bisa melalui penyekatan. Hanya di Lenteng Agung ada pemeriksaan. Saat pulang menuju Cikampek, kami terjebak kemacetan di Cikarang. Dikarenakan adanya penyempitan jalur, untuk menghambat laju kendaraan keluar masuk Jakarta.
Seorang teman pernah mengatakan padaku, bahwa kematian itu sebuah keniscayaan. Betul. Hidup ini memang penuh dengan misteri. Kita tidak pernah tau dan tidak akan pernah dapat memprediksi, sampai kapan kita bisa bertahan hidup. Dengan kondisi ideal, seperti yang kita harapkan.
Berita kematian yang datang silih berganti itu, memunculkan tekadku untuk terus berupaya bertahan hidup. Setidaknya, demi anak-anakku.
Ramainya pemberitaan tentang kartel kremasi, telah menggugah kesadaranku. Aku harus sehat, agar aku bisa tetap hidup! Kasihan anak-anak, kalau sampai hal buruk terjadi pada diriku. Bagaimana dengan mereka? Apakah mereka akan sanggup menanggungnya? Mereka masih sangat muda. Masih butuh banyak bimbingan. Dan mereka tidak punya siapa-siapa lagi, selain aku. Aku satu-satunya sandaran, dan alasan mereka untuk pulang berkumpul. Kami benar-benar sendiri. Sanak keluarga jauh di seberang pulau. Hanya bisa mengandalkan diri sendiri...!
Karena itu, aku berdoa agar alam selalu menjaga dan melindungi kami. Menjauhkan kami dari berbagai macam hal buruk. Semoga hidup kami akan selalu diberkahi.
Saat ini, semua anakku tengah bekerja keras, berjuang demi mewujudkan sebuah masa depan yang lebih baik. Aku hanya bisa mengiringi perjuangan mereka lewat doa.
Kadang aku iba melihat anak-anakku. Kepergian papa mereka yang begitu tiba-tiba, sangat memukul perasaan mereka.
"Sayang, jangan sedih ya. Mama akan selalu menjagamu. Kamu harus kuat. Fokus pada sekolahmu." Aku berusaha membesarkan hati anak-anakku. Terlebih si bungsu.
"Iya. Aku akan sekolah sebaik mungkin. Seperti harapan Papa. Aku ingin seperti Papa. Selalu semangat. Papa orang yang totalitas dalam mengerjakan apa pun juga. Aku bangga sama Papa...," ujarnya, dengan mata berkaca-kaca. Si bungsu yang ceria, selalu optimis, mengatakan itu tanpa ragu.
"Selama Papa di rumah dan mengajar daring, aku selalu perhatikan. Papa bangun pagi hanya untuk membangunkan murid-muridnya yang pemalas. Termasuk saat remedial dan menjawab pertanyaan mereka lewat chat. Papa benar-benar mencintai pekerjaannya. Kalau aku jadi Papa, belum tentu aku akan sesabar itu. Aku juga kesal dengan kelakuan murid-murid Papa yang manja dan tidak bertanggung jawab itu..." Dia agak bersungut-sungut saat mengatakan itu. Setiap pagi, dia yang membuatkan kopi untuk papanya. Aku menyiapkan sarapan.
"Aku akan sekolah setinggi-tingginya, agar kelak bisa punya anak yang berkualitas," ujarnya, lugas. Aku terpana mendengar kata-katanya itu. Umurnya belum genap 15 tahun. Saat aku seumuran dengannya, aku tidak bisa mengemukakan pendapatku. Tidak berani mengungkapkannya secara terbuka.
"Nilai itu hanya angka," ujar suamiku suatu ketika. "Murid-muridku datang dari berbagai latar belakang. Berbagai masalah juga. Membangun karakter itu penting sekali. Aku ingin mengantarkan mereka untuk meraih masa depan yang lebih baik. Aku percaya, suatu saat nanti mereka akan sadar. Tugasku sebagai wali kelas mereka, ya mengarahkan mereka. Aku ingin mereka bisa menghargai waktu. Karena itu, aku selalu mengecek presensi mereka." Suamiku menjelaskan alasannya menelpon dan membangunkan murid-muridnya, setiap pagi. Aku hanya mengiyakan. Namun terkadang, aku protes juga.
"Papa selalu sibuk mengurusi anak orang. Anak sendiri diabaikan," celetukku.
"Papa tau nggak, Dhamma sangat ingin Papa yang mengambil raportnya.
Ingin main bola dengan Papa juga." Aku berusaha menyampaikan keinginan anak keempatku.
"Iya, aku tau. Nanti aku akan bicara langsung padanya."
Samar-samar aku mendengar percakapan antara suamiku, dan Dhamma. Aku di ruang tamu, mengawasi dan membantu si bungsu Ehi mengerjakan tugasnya. Latihan menulis tegak bersambung. Sedangkan mereka berdua ada di ruang makan. Duduk bersisian.
Saat itu Dhamma masih kelas IV SD. Tubuhnya kurus kecil, berpembawaan tenang, dan sangat suka menggambar. Dari tahun ke tahun, dia selalu memilih eskul lukis.
Bila Pak Hendi, guru lukisnya berhalangan hadir, dia yang diminta mengajari sesama teman yang ikut eskul lukis juga. Sebagai guru cilik.
Dia menceritakan semua kejadian yang dialaminya di sekolah padaku. Aku selalu antusias mendengarkan cerita-ceritanya. Mimik wajahnya saat bercerita, begitu polos. Seolah membawaku masuk ke dalam alam pikirannya. Imajinasinya.
"Aku tidak mau jadi guru. Ternyata jadi guru itu sulit. Apalagi kalau muridnya bandel-bandel. Bisanya cuma berisik. Ngeselin," ungkapnya. Dia mengatakan itu sembari menghela nafas panjang.
Beberapa kali dia ikut lomba cergam, dan menang. Pernah sampai tingkat propinsi juga. Dapat juara tiga. Aku benar-benar bersyukur. Meski pun dia tidak memiliki kecerdasan dalam berhitung, tapi dia memiliki kecerdasan visual. Di mataku, dia sama hebat dan sempurnanya, seperti anak-anak lainnya.
Semua anakku diberi keleluasaan dalam menekuni bidang yang mereka sukai. Sesuai dengan minat dan bakat mereka. Tidak ada paksaan. Apalagi tekanan. Mereka bebas berekspresi. Orangtua hanya mendukung dan mengarahkan.
Suamiku kembali membuka percakapan.
"Papa bukannya tidak mau ambil raport Dhamma di sekolah. Di hari yang sama, Papa juga harus membagikan raport pada murid-murid Papa. Itu pekerjaan Papa. Sumber nafkah keluarga kita. Papa harus bertanggung jawab pada pekerjaan Papa itu. Sampai di sini, kamu bisa paham kata-kata Papa kan?" Dhamma tidak menyahut. Hanya mengangguk-anggukkan kepala. Aku menyimak percakapan mereka. Sesekali mencuri pandang dengan ekor mataku.
"Terus, tentang teman-teman yang suka menjahilimu itu. Menurut papa, kamu abaikan saja. Kamu harus kuat. Bertahan. Tunjukkan, kalau kamu tidak lemah. Tunjukkan pada teman-teman yang suka membullymu itu, kalau kamu istimewa. Punya kelebihan tersendiri, yang tidak dimiliki oleh setiap orang.
Bungkam mereka dengan prestasimu. Nanti, lama-lama, mereka juga akan bosan sendiri. Cuekin saja. Kalau diladeni, mereka akan makin menjadi-jadi. Fokus sama tujuan utamamu. Belajar yang benar.
Mama yang akan ke sekolah dan konsul dengan wali kelasmu. Jangan takut lagi ya. Kalau masih tetap diganggu juga, Papa yang akan turun tangan sendiri. Bicara langsung pada kepala sekolahmu. Jangan gentar. Jadilah anak laki-laki yang pemberani. Kamu punya kedudukan yang sama dengan mereka. Sampai di sini, bisa nangkep kan?" Ujar suamiku sambil menepuk-nepuk pundak Dhamma. Dhamma masih diam. Wajahnya tampak lebih cerah. Aku merasa lega. Semoga kata-kata papanya itu akan jadi penguatan tersendiri baginya.
"Tentang main bola, kamu sabar dulu ya. Harus nunggu libur smester. Papa akan ajari. Waktu Papa sangat singkat di rumah. Papa harus bikin soal. Koreksi latihan dan ulangan murid-murid Papa. Rekap nilai. Juga pekerjaan administrasi lainnya. Belum lagi antar Mama belanja untuk stok seminggu. Isi gas, dll. Semua itu makan waktu. Coba tepak-tepakan cock dengan adikmu dulu. Itu olah raga juga kan? " Suamiku bicara panjang lebar. Kali ini Dhamma menganggukkan kepala. Pertanda dia sudah dapat memahami.
Begitulah. Kami selalu berusaha mengatakan semua, realitas yang ada, secara terbuka, pada anak-anak. Agar mereka juga bisa paham dengan sikon keluarga yang sesungguhnya.
Dengan segala keterbatasan waktu, sumber daya, dlsb, kami selalu berupaya, untuk menggali dan mengoptimalkan semua potensi yang ada pada diri mereka.
Kami berusaha mengajari dan membekali mereka dengan berbagai keterampilan. Dari catur, gitar, sampai pelajaran sekolah. Khusus untuk bidang studi IPA dan Matematika suamiku yang tangani. Sedangkan Bahasa dan IPS menjadi bagianku.
Kami pun mengajak mereka untuk bantu bersih-bersih di kebun. Gotong royong. Agar mereka bisa belajar dan memahami arti dari sebuah kerjasama. Juga, untuk memunculkan rasa memiliki di hati mereka. Kami berharap, mereka bisa punya rasa kepedulian pada tanah warisan hasil perjuangan kakek neneknya.
Kadang, saat di kebun itu, kami seling dengan menceritakan kisah-kisah nyata yang real terjadi di sekeliling kami. Kisah yang sarat dan kental dengan nuansa pesan moralnya. Begitulah cara kami membesarkan anak-anak. Tidak ada ketentuan khusus. Disesuaikan dengan sikon yang ada saja.
Kami berharap, anak-anak bisa mengenal dan mempraktekkan nilai-nilai kemanusiaan dan cinta kasih universal. Sedini mungkin. Kami terus berupaya membimbing mereka dengan memberikan contoh-contoh nyata yang ada di sekitar kami. Semua real. Terlebih yang berhubungan dengan hukum karma. Semoga dengan begitu, mereka akan bisa punya pandangan terbuka.
Senin, 16 Agustus 2021 (Pukul 09.51)
Semalam aku kelelahan. Selesai beres-beres di rumah, dilanjut sapu-sapu di depan, pinggir jalan raya, sampai menjelang magrib. Banyak daun mahoni berguguran. Aku pun sekalian pasang bendera. Untuk menyambut HUT RI ke 76.
Senin, 16 Agustus 2021 (Pukul 12:39)
Hari ini dapat berita duka lagi. Teman kuliahku, Deti Maida, telah berpulang, pukul 10:45 WIB.
Aku tak bisa gambarkan seperti apa perasaanku. Sedih. Satu per satu sahabat pergi, dan tak akan pernah kembali lagi...
Ada sesal di hatiku. Kami belum sempat bertemu lagi sejak lulus. 31 tahun! Masing-masing sibuk dengan kehidupan barunya.
Berkali-kali dia mengatakan ingin bertemu denganku. Baik di grup maupun melalui percakapan pribadi. Komunikasi kami lumayan intens. Kami sering bertegur sapa, bertukar cerita, dan saling menguatkan, walau hanya lewat WA.
alam selalu menjaga dan melindungi
BalasHapusIya. Ma kasih...👍🙇
Hapus