Deti Maida
Kota Baru, 22 September 2021 (Pk 22:32).
Bukannya aku tak ingin bertemu dengan Deti. Aku sangat menghargai niat baiknya itu. Bagaimana aku harus mengatakan pada Deti agar dia bisa mengerti dan tidak sakit hati? Di grup maupun lewat percakapan pribadi, aku sudah coba jelaskan, dan beri gambaran tentang keadaanku yang sesungguhnya.
"Aku ingin bertemu denganmu. Bukan mau lihat rumahmu." Berkali-kali ia coba meyakinkan diriku. Entah mengapa, aku masih belum bisa mengiyakan keinginannya itu. Maafkan aku, Deti. Aku benar-benar takut dan belum siap. Takut dinilai, takut direndahkan. Aku pun belum siap bila harus kehilangan teman-teman yang baru kutemukan lagi, setelah 30 tahun lebih terpisah oleh jarak, waktu dan kesibukan masing-masing.
Aku benar-benar takut, Deti. Setelah kalian datang dan melihat keadaanku, kalian akan menjauh dan tidak mau kenal lagi dengan diriku. Untuk sementara waktu, biarlah ngobrolnya di WAG dulu. Sampai hatiku benar-benar siap menerima kedatangan kalian. Tolonglah untuk bisa memahami kecemasanku. Beri aku waktu untuk keluar dari perasaan kerdilku, dan membangun kembali rasa percaya diri.
Deti putri seorang pengusaha media cetak terkemuka di Bandung. Berparas cantik, cerdas, tinggi semampai. Sewaktu kuliah dulu, dia sudah setir mobil sendiri untuk datang ke kampus. Sementara aku? Mahasiswa daerah yang belum jelas masa depannya. Jauh sekali perbedaan yang ada di antara kami, bagaikan langit dan bumi. Setidaknya, aku pun harus tau diri dan bisa mengukur kemampuan sendiri.
Sedari muda, dia sudah hidup berkelimpahan. Baik materi maupun kasih sayang keluarganya. Hidupnya benar-benar sempurna. Seperti seorang puteri dalam cerita dongeng. Apakah dia tidak akan terkejut melihat tempat tinggal kami nanti, yang jauh dari kata nyaman, apalagi indah ? Apa reaksinya saat melihat ember-ember berjejer di dalam rumahku, untuk menampung bocoran air hujan? Aku pun tak ingin dia melihatku dengan pandangan iba. Karena, aku merasa hidupku baik-baik saja. Memang ini porsiku.
Deti, aku yang bermasalah dengan diriku sendiri. Sekali lagi, maaf... Aku harap kau bisa mengerti dan mau bersabar sedikit lagi. Aku tak pernah mengira kalau kau akan pergi secara tiba-tiba, selamanya, ke keabadian. Padahal hari-hari sebelumnya kau rajin kirim foto dirimu di grup saat berenang dan berjemur. Semangatmu untuk sembuh dari sakit, sungguh mengagumkan kawan...
Aku benar-benar merasa sangat tidak enak hati. Hingga pada suatu hari, aku ajukan satu opsi pilihan. Ide itu muncul setelah Rakaryan mengirimkan gambar buah mangga dan bumbu rujak di grup.
"Det, bagaimana kalau kita rujakan di rumah Rakaryan saja? Nanti aku minta anakku yang antar ke sana..."
"Oke. Sip. Nanti kita bisa kumpul dengan teman yang lain juga," ujarnya. Namun kami tak kunjung dapat merealisasikan niat tersebut. Pandemi covid benar-benar membatasi gerak kami. Kami tak berdaya melawan peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah tentang PPKM darurat. Angka kematian karena terpapar virus covid-19 sedang tinggi-tingginya.
Beberapa hari kemudian, Deti menghubungiku lagi. "Bagaimana kalau kita bertemu di Cibungur saja. Di tempat sate maranggi. Aku akan menjemputmu. Kamu siap-siap aja nunggu depan pagar ya. "Aku merasa sangat terharu. Sebegitu inginnya dia bertemu aku. Aku langsung iyakan tanpa banyak tanya lagi.
Namun, dua hari kemudian, puteri Deti mengabarkan ibunya dirawat di rumah sakit, dalam kondisi tak sadarkan diri. Kami semua terkejut dan berdoa untuk kesembuhannya. Namun, Deti tidak bisa bertahan lebih lama lagi, untuk melawan penyakit yang selama ini dideritanya. Mungkin memang sudah jalannya.
Banyak yang menangis dan merasa kehilangan saat berita duka itu beredar di grup. Semua mengatakan betapa baiknya Deti. Dia sangat peduli sama teman-temannya. Selalu rajin datang berkunjung. Untuk tetap menjaga keutuhan tali persaudaraan. Satu sikap yang layak dicontoh dan diteladani. Selamat jalan, kawan...
Komentar
Posting Komentar