Delapan Pemburu

Kota Baru, Selasa, 14 September 2021


Hujan turun dari subuh, dengan intensitas sedang. Hatiku resah. Banyak bagian rumah yang bocor dan belum sempat diperbaiki. Waktu terasa begitu cepat berlalu. Tau-tau musim hujan sudah datang lagi. Sambil berbaring, aku coba menghitung-hitung.

Tak berapa lama ada pesan masuk. Pohon yang berbatasan dengan tetangga, rubuh. Rantingnya menimpa asbes dan pecah. Aku menghela nafas dalam-dalam. Lalu aku hubungi anak-anakku yang di Jakarta. Aku ceritakan kejadiannya pada mereka.

Suka tidak suka, memang harus dihadapi. Sekalipun itu harus mengganti kerusakan dan ongkos kerja. Aku berharap semua bisa dibicarakan, dan masalah bisa diselesaikan dengan baik-baik. Anak keduaku Bodhi yang kusuruh bicara per telepon pada Ibu Sweta. Dia relatif lebih sabar dan pandai berdiplomasi. 

Hujannya awet. Sampai siang. Sambil mengepel, mengeringkan bekas bocoran hujan, aku berdoa. Semoga aku kuat, dan bisa melalui cobaan demi cobaan yang datang dengan lapang dada.

Hubunganku dengan Ibu Sweta terbilang biasa-biasa saja. Kalau  kebetulan pas berpapasan, aku tetap menyapa, dan memberi salam. Seperti umumnya orang-orang yang saling kenal. 

Usianya beberapa tahun di atasku. Sepertinya seumuran dengan kakak tertuaku. Aku tidak tahu banyak tentang Ibu Sweta. Yang aku tau, Ibu Sweta seorang single parent juga. Sudah punya beberapa orang cucu, dan aktif di gereja. Dia seorang pengusaha ayam potong. Berperawakan jangkung, rambut dipangkas pendek, memiliki suara yang besar, dengan aksen Jawa yang sangat kental.

Meskipun kami sudah bertahun-tahun  bertetangga, tapi aku baru sekali datang ke rumahnya untuk membeli daging ayam. Selebihnya aku pesan lewat telepon saja. Nanti karyawannya yang mengantarkan. Tempat tinggal Bu Sweta berbatasan dengan sebelah timur kebun kami. Untuk ke sana, harus jalan memutar ke depan. Lewat jalan raya. Lumayan jauh juga.
Bila ada keperluan, terlebih saat ranting-ranting pohon kami mengganggu bangunannya, dia akan menelpon memberitahu. Biasanya suamiku yang ke sana dan bicara pada Ibu Sweta.

Tahun lalu ada sedikit ketegangan terjadi. Ibu Sweta pun ikut terseret di dalamnya. Ah, selalu saja ada kejadian tak terduga. Hidup di tengah kebun, jauh dari tetangga, benar-benar harus siap mental. Banyak hal yang bisa kapan saja muncul dan terjadi. Di luar prediksi dan kendali kita.

Kala itu, anjing-anjing kami tak berhenti menyalak. Aku pikir ada cobra atau biawak yang lewat, sehingga mereka ramai menggonggong. Aku belum selesai masak untuk makan siang. Untuk menenangkan anjing-anjing itu, aku coba memanggil-manggil mereka dari dalam rumah. Aneh. Bukannya mereda, malah tambah ramai. Tak lama kemudian, aku mendengar ada suara letusan senjata.

Perasaanku jadi tak enak. Aku mulai curiga. Tidak biasa-biasanya seramai ini. Di siang bolong begini. Pasti ada yang tak beres. Aku keluar rumah untuk mengecek asal dari suara ribut-ribut itu. Aku ajak Cagga. Aku suruh bawa golok dan potongan pipa besi, untuk berjaga-jaga. Rumput dan ranting-ranting menghalangi pandangan.

Dari kejauhan, aku melihat ada beberapa orang dengan perawakan tinggi tegap sedang bercakap-cakap dengan anakku. Salah satunya pakai seragam loreng. Itu sudah cukup menunjukkan jati diri mereka. 

Sambil menunggu Cagga, aku sapu-sapu di bawah pohon mangga. Sambil terus memanggil-manggil anjing kami. Aku bermaksud memberi tanda bahwa di kebun ini ada penghuninya. Aku berharap, orang asing yang masuk ke kebun kami segera pergi. Dengan kesadarannya sendiri.

Aku menunggu cukup lama juga. Tapi anakku belum kembali. Aku lihat situasi tidak kondusif. Sepertinya ada percakapan yang alot di antara mereka. Anakku hanya sendiri. Sedang yang berdiri di depannya ada tiga orang pria dewasa. Melihat gelagat yang tak baik itu, aku segera menghampiri.

"Bapak-bapak ini dari mana, dan apa tujuannya masuk ke kebun kami? Sepertinya bukan penduduk sekitar sini." Aku bertanya dengan ekspresi datar, tanpa senyum sedikit pun. Mereka memang tampak asing bagiku.

"Ooh, kami ini teman-temannya Ibu Sweta, Bu. Di sini banyak ular dan biawak. Kami ingin berburu," jelas salah seorang dari mereka. Aku segera mengedarkan pandanganku sembari menghitung dalam hati. Semua ada delapan orang, tiga orang membawa senapan laras panjang, empat orang jongkok, menyimak, dan ada seorang lagi lelaki paruh baya, kurus ceking, mengepul-ngepulkan asap rokok sembari memanggul karung yang dikerubuti lalat. Berdiri di pojok. Karung itu mengeluarkan bau busuk. Tidak salah lagi, itu bangkai hewan, sebagai umpan berburu.

"Kalau Bapak-bapak ingin berburu, cari tempat lain saja. Jangan di sini. Di sini tempat tinggal keluarga biasa. Bukan arena perburuan." Kali ini aku mengatakannya dengan tegas. Aku coba menjelaskan, agar mereka segera meninggalkan area kebun kami.

"Justeru di sini tempat berburu yang asyik. Saya sudah biasa berburu di mana-mana. Sampai Sumatera. Tapi tidak ada yang menegur. Kebun Ibu seperti hutan. Tak terawat. Seperti tidak ada pemiliknya." Orang yang bertubuh gemuk pendek dan memegang senapan berkata. Ia terlihat marah padaku.

Dari nada bicaranya, dia tampak tidak senang karena kutegur. Mereka juga merasa terganggu dengan kehadiran kami. Karena itu, dia berusaha balik menggertak dan mengintimidasi, untuk menyurutkan nyali kami.

Mendengar ucapannya, darahku jadi menggelegak seketika. "Bapak kok keluar dari konteks ? Saya kan tanya baik-baik? Maksud Bapak apa, bicara seperti itu? Ini kebun kami. Mau seperti apa pun keadaannya, itu bukan urusan Bapak. Bapak masuk ke kebun saya tanpa izin, itu saja sudah menyalahi aturan. Melanggar hukum." Suaraku terdengar menggema. Aku pandang lekat-lekat matanya. Kesombongannya memantik kemarahanku. Mungkin anakku yang kedua terbangun dan berlari-lari datang menyusul. Dhamma Ehi belum pulang sekolah. Dia baru sampai pukul delapan pagi. Dari Taipei. Dan dari bandara dia langsung pulang ke rumah. Katanya kangen sama mama dan adik-adiknya.

"Ibu mau cari ribut?" Sambungnya, kembali coba menggertak. Tujuannya untuk menakuti. Mungkin dia anggap sepele, karena yang berdiri di hadapan mereka hanya seorang ibu-ibu biasa dengan dua putra remajanya. Dari segi jumlah saja, kami sudah jelas kalah. Tapi, untuk kali ini, aku tidak akan mundur selangkah juga. 

Selama ini aku sudah cukup sabar dan mengalah. Orang yang masuk ke kebun selalu kuminta pergi dengan baik-baik. Nyatanya, mereka tidak jera. Malah makin berani. Selalu datang dan datang lagi. Mengusik ketenteraman hidup kami. Dari yang berburu burung, mengambil serangga sampai berburu ular dan biawak. Ada juga yang menebang kayu dan bambu seenaknya tanpa permisi dulu. Tapi kami biarkan. Cin cailah. Mungkin mereka memang butuh sebatang dua bambu untuk  memperbaiki rumahnya. Kami selalu coba memaklumi. Tapi tampaknya sikap toleransi kami disalah-artikan. Kebaikan kami itu dianggap sebagai satu bentuk dari ketidak-berdayaan. Sehingga  keluar masuk kebun kami dianggap sebagai hal yang lumrah, tidak menyalahi aturan. Bahkan tak jarang, anjing-anjing kami sengaja ditimpuk dengan batu hingga luka dan pincang. Padahal sekeliling kebun sudah tertutup rapat. Di pojok juga sudah diberi pagar dari genteng-genteng bekas. Batasnya pun jelas. 

Biarlah kejadian hari ini jadi momentum. Kalau memang harus ribut, ya ribut sekalian. Aku sudah tidak punya pilihan. Aku tidak akan mengalah lagi. Sudah cukup batas kesabaranku. 29 tahun lebih. Dari mulai aku menikah sampai punya anak lima. Berkutat pada masalah itu-itu saja. Aku sudah muak. Memang sudah saatnya harus dihadapi. 

Sampai kapan harus menghindar terus, dan bersikap pura-pura tidak tahu? Padahal jelas-jelas orang yang masuk ke kebun kami mengganggu sekali. Selama ini kita sudah cukup mengalah.
Sudah saatnya untuk melawan dan menunjukkan jati diri kita yang sesungguhnya.

Kalau sekedar ambil pisang, mangga, nyabit rumput untuk ternak, aku izinkan. Asal permisi dan bicara baik-baik. Aku ikhlas. Sungguh.

"Yang mulai duluan siapa? Bapak yang mau cari ribut. Tadi kan saya bicara baik-baik. Di sini bukan arena perburuan. Bapak yang ngotot. Kami tau di sini ada biawak, burung, ular. Mereka tidak mengganggu kami. Makanya kami biarkan mereka hidup bebas. Kami ingin lahan ini jadi rumah yang aman bagi hewan-hewan itu," lanjutku.

"Apa maksud Ibu bawa-bawa golok segala, kalau bukan mau cari ribut dengan kami?" Dia coba membelokkan topik pembicaraan. Aku berusaha setenang mungkin. 

"Lah, Bapak juga kenapa masuk ke kebun bawa-bawa senapan dan menembaki anjing-anjing saya?" Aku balik bertanya. "Saya bawa golok untuk nebas ranting-ranting yang menghalangi jalan. Sekalian untuk berjaga-jaga juga. Kenapa?" Seseorang yang tadinya berjongkok, berdiri dan mendekat. Mengenakan baju loreng. Sepertinya dia leader dari gerombolan itu.

"Begini Bu. Kami ingin berburu di sini. Tadinya kami tidak tau harus minta izin sama siapa. Kata Ibu Sweta tidak apa-apa. Makanya kami berani masuk ke mari. Sekarang kami sudah bertemu dengan Ibu. Saya atas nama teman-teman, ingin minta izin sekalian. Apa boleh kami berburu di sini ?"

"Tidak. Saya tidak izinkan. Maaf, di sini tempat tinggal kami, area pribadi. Bukan tempat berburu," ujarku tegas. Aku tidak boleh goyah, sedikit pun..!

"Ibu orang mana? Kok sombong sekali. Jelek-jelek begini, saya ini aparat. Masih bertugas di Tanjung Priok..."
"Saya orang Sumatera. Saya tidak sombong. Saya hanya mengatakan apa yang harus saya katakan. Seharusnya,
Bapak lebih ngerti. Sebagai aparat tentunya melek hukum. Apalagi sama-sama dari Sumatera. Bapak itu mestinya mengayomi. Bukannya mengintimidasi. Kita sama-sama hidup di perantauan," lanjutku. Lancar sekali aku mengucapkan kata-kata itu. Entah dapat keberanian dari mana. Aku sendiri pun tidak tau.

"Sebentar lagi ya Bu. Nunggu biawaknya masuk jebakan dulu. Setelah itu, kami akan pergi. Sekali ini saja, Bu. Soalnya kita sudah persiapan untuk berburu, Bu," dia kembali menawar.

"Maaf Pak. Tidak bisa...," ujarku lagi.
Mereka masih bertahan dan tidak mau pergi juga. Aku menangkap gelagat yang tidak baik. Pasti ada yang disembunyikan.

"Sudah berapa kali Bapak masuk ke kebun saya?" Selidikku. 
"Dua kali dengan ini Bu."

"Semua akses masuk ke kebun saya kan sebenarnya sudah tertutup. Bapak-bapak ini masuk dari mana?" Selidikku lagi. Kalau dari jalan raya, mereka pasti akan terlihat oleh banyak warga sekitar. Setidaknya mereka juga punya rasa malulah. Masuk kebun orang secara ilegal. Aku heran saja. Kok bisa masuk. Dari mana ya ? Lalu, di mana mereka memarkir kendaraannya ?

Karena aku tak kunjung pergi, akhirnya mereka siap-siap meninggalkan kebun. Semua peralatan dibereskan.
"Untung Ibu orang Sumatera juga. Jadi kami mau mengalah. Kalau tidak, mungkin sudah terjadi pertumpahan darah." Ujar si gemuk pendek berlalu, sembari  bersungut-sungut. Aku diam saja. Berusaha tidak terpengaruh oleh kata-katanya.
  
Sampai mereka berjalan pergi, aku masih tetap berdiri di tempat semula. Aku ingin tau dari mana jalan keluar dan masuknya mereka. Ternyata, di pojok itu ada tangga alumunium yang menempel ke dinding pagar pembatas antara kebunku dan tempat tinggal Bu Sweta !

Bagaimana bisa Ibu Sweta setega itu padaku? Memberi izin dan akses masuk pada orang-orang itu tanpa memikirkan keselamatan kami? Seperti itukah tetangga yang baik? Selama ini kami tak pernah mengusik siapa pun.
Apakah tidak terpikirkan olehnya kalau teman-temannya itu bisa saja lepas kendali dan membahayakan hidup kami? Jujur, aku merasa sangat kecewa pada Ibu Sweta. Jelas-jelas dia tau kalau suamiku kerja di Jakarta. Sehari-hari hanya ada aku dan anak yang kecil-kecil di rumah.

Setelah mereka hilang dari pandanganku, aku pun pulang ke rumah. Tak kuhiraukan tanganku penuh dengan bentolan, bekas gigitan nyamuk di kebun tadi. Aku terus berpikir. 

"Mama rasa kita harus ke Pak RT. Melapor. Cagga jaga rumah. Nanti jam dua ke depan, tunggu Dhamma Ehi pulang sekolah. HP on terus ya. Mama sama Prajna ke Pak RT. Setelah itu mau langsung ke kantor polisi." Aku pikir sudah tidak bisa didiamkan lagi. Harus ditindak-lanjuti.

Pak RT dan isterinya juga terkejut mendengar ceritaku. Dan mereka mendukung niatku untuk membuat laporan secara resmi pada polisi. Hatiku kian mantap. Sepanjang perjalanan, aku berdoa. Semoga jalan yang kutempuh ini sudah benar.

 Beruntung sekali, aku bertemu langsung dengan polisi pembina desa kami. Bapak itu mengatakan sudah menerima laporanku secara resmi. Bila sampai kejadian yang sama terulang, maka aparat yang akan bertindak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Dari kantor polisi, kami mampir ke rumah Pak Hakimi. Sesampai di sana kami langsung ditawari makan. Tapi aku menolak. Aku lebih memilih makan rujak. Aku butuh yang segar-segar, setelah ketegangan yang kulalui. Hari ini memang hari yang berat buatku. Pak Hakimi hanya tertawa mendengar ceritaku. Mungkin mentertawakan betapa dramatisnya hidupku.

Aku menelpon suamiku. Dan menceritakan semuanya secara rinci. Suamiku langsung pulang. Sampai di rumah sudah malam. Dan langsung ke rumah Bu Sweta. Ditemani oleh Bodhi dan Cagga. Ada bagusnya juga mereka ikut. Jadi sekalian bisa belajar saat menghadapi masalah.

Ternyata Bu Sweta ada di Pak RT. Perihal aku buat laporan ke kantor polisi, beritanya sudah menyebar. Dari Bu Sweta, kami mendapatkan cerita yang lebih mengejutkan lagi. 

Leader dari para pemburu itu ternyata  yang mengamankan proyek pembangunan perum di belakang lahan kami. Mereka menyewa kantor pemasarannya di sebelah rumah Pak RT. Kontraktornya, saudara tertua pemilik percetakan yang ada di sebelah kami, yang membeli tanah bagian depan seluas 2000 m2, 30 tahun lalu. Selama ini aku hanya tau yang bangun itu orang Jakarta. Sungguh tidak mengira. Semua saling berkaitan. Aku jadi ingat lagi. Ada yang pernah menanyakan tanah bagian belakang beberapa waktu lalu. Aku mengerti. Benang merahnya sudah ketemu. Secara tidak sengaja ! Alam sungguh baik kepada kami. Selalu melindungi dengan cara dan jalan cerita yang luar biasa.

Akhirnya suamiku bertemu dengan ke delapan orang pemburu itu. Suamiku minta supaya dibuat surat perjanjian. Agar mereka tidak masuk ke lahan kami lagi. Bila mereka bersikeras, maka laporanku akan diproses dan dibuat BAP. 
Akhirnya mereka setuju dan mau tanda tangan...

Komentar

  1. wow, ternyata tegang banget kisahnya. Aku salut kamu bisa ngadapin mereka dengan berani.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya. Tidak mudah menjaga amanah. Banyak tantangannya. Tapi aku tetap berkeyakinan, selagi kita menjalani semua secara benar, maka alam, dengan caranya, akan selalu menjaga dan melindungi kami. Hukum alam itu unik. Kadang berada di luar jangkauan daya pikir kita.

      Terimakasih sudah membaca tulisanku, dan selalu support.

      Salam sehat untukmu dan keluarga ya...👍🙇

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pertanda apa ini

Bunga Teratai

Kedatangan Nova