Beruntung...
Listrik mati. Gelap sekali. Pemadaman meliputi seluruh wilayah. Tidak tau kenapa. Mungkin ada perbaikan atau perawatan jaringan.
Aku baca status WA teman-teman dengan caption beragam. Ada yang memaki-maki kesal, mengeluh kepanasan. Namun, ada pula yang bisa melihat sisi positif dan lucu dari keadaan ini. Aku senyum-senyum saja membacanya. Tidak ada yang bisa kulakukan, selain menunggu.
Suara nyamuk terdengar mendengung di telinga. Panas luar biasa. Aku berusaha tetap tenang sambil berkipas-kipas menggunakan buku anakku yang sudah tak terpakai. Ah, lama sekali listrik padam hari ini. Aku bangkit dari dudukku. Dengan penerangan lilin, aku menuju dapur. Mencuci piring-piring kotor bekas makan malam kami. Setelah selesai, aku kembali ke ruang tamu, bergabung dengan anak-anak, sembari ngobrol ngalor ngidul.
"Minggu depan sudah mulai pembelajaran tatap muka lho. Kamu harus kembali ke Jakarta. Tinggal di kontrakan beda dengan tinggal di rumah. Kamu harus bisa atur waktu sendiri. Di sana tidak ada Mama yang mengawasi. Kakak-kakakmu juga sibuk. Mereka kerja," aku mewanti-wanti anak keempatku. Hatiku benar-benar resah. Seakan tak rela melepasnya. Apa betul Jakarta sudah aman dari covid? Apa sekolah akan mampu mengawasi anak-anak agar tetap taat pada protokol kesehatan? Kenapa tidak semester depan saja pembelajaran tatap muka baru dimulai? Berbagai pertanyaan berkecamuk di benakku.
"Iya," jawabnya singkat. Aku pun kembali mengingatkan padanya agar lebih cermat mengatur pengeluarannya. "Sekarang sudah nggak ada Papa. Gunakan uang jatahmu sebijak mungkin." Dia kembali mengangguk-anggukkan kepala, pertanda mengerti.
Setelah suamiku pergi, aku yang menggantikannya sebagai kepala rumah tangga. Termasuk mengerjakan beberapa pekerjaan yang biasa ia lakukan. Seperti menebang ranting-ranting pohon. Cepat sekali jadinya. Apalagi pohon pete cina. Sementara tenagaku terbatas. Aku pun harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga lainnya. Aku berusaha mengerjakannya sedikit-sedikit.
Hari ini aku tidak ke kebun. Punggung dan tanganku masih terasa sakit. Bekas jatuh kemarin. Aku bergulingan di tanah bekas galian untuk membuat bata.
Setelah menebas ranting-ranting yang berbatasan dengan perum sebelah, aku bermaksud pulang. Karena lelah, aku lebih memilih jalan pintas, yang banyak bekas galiannya. Daripada jalan memutar. Lebih jauh dan banyak rumput tinggi-tingginya. Itu yang bikin malas. Apalagi aku melihat, di pinggir lombang itu ada pohon pete cina. Amanlah. Aku bisa berpegangan pada dahannya. Begitu pikirku.
Aku mulai menaiki jalan menanjak menuju ke rumahku, dengan menjadikan golok yang kutancapkan ke tanah sebagai penopangku. Kemudian, aku raih dahan pete cina itu. Agar cepat sampai ke atas. Tapi ternyata, dahannya rapuh dan tidak cukup kuat menahan berat badanku. Dahan itu patah, dan aku terpelanting jatuh. Gedebuk. Persis seperti suara nangka jatuh. Aku terguling-guling. Tidak ada luka sih. Tapi sakitnya lumayan terasa.
Anakku yang sedang tepak-tepakan cock di halaman depan, berlari menghampiri saat mendengar suara "kraaak."
"Mama jatuh?" Mereka tampak terkejut melihat aku terduduk di tanah.
"Iya. Tapi nggak apa-apa kok." Aku bangkit dan jalan pulang ke rumah. Kemudian rebus air untuk mandi. Aku ingin cepat-cepat tidur. Selesai mandi aku minta anak perempuanku membaluri seluruh tubuhku dengan minyak kayu putih. Kini, minyak kayu putih sudah menjadi kebutuhan pokokku.
"Aduh, Ma. Kenapa sih Mama selalu tidak sabaran begitu? Mestinya Mama jalan memutar saja tadi. Lebih aman." Anak ketigaku geleng-geleng kepala. Aku diam saja. Menahan sakit. Kalau aku mengeluh kesakitan, bakal tambah runyam urusannya.
"Untung nggak patah tulang, Ma. Aduh, kalau sampai Mama kenapa-kenapa, gimana? Jangan bandel gitu tho Ma, inget sama umur. Mama selalu aja begitu. Selalu merasa kuat dan apa-apa bisa sendiri. Maunya semua cepet beres. Jangan suka maksa gitu, napa?" lanjutnya, mengomeliku. Lagi-lagi aku diam. Tak membantah ucapannya. Dalam hati, aku juga bersyukur. Untung tidak sampai cedera. Tidak patah tulang beneran. Hanya sedikit demam. Lain kali aku akan lebih berhati-hati.
"Asyik. Listrik dah nyala," teriak si bungsu. Aku segera bangkit dari tempat dudukku, dan ingin cepat-cepat berbaring. Terlalu lama duduk juga, membuat punggungku terasa sakit. "Syukurlah," jawabku ringan. Rasanya lega. Seluruh ruangan menjadi terang kembali.
Setidaknya hari ini terlewati dengan cerita yang berbeda. Semoga esok akan lebih indah.
Kota Baru, Selasa, 28 September 2021 (Pukul 23:40).
Komentar
Posting Komentar