Berkat Mangga dan Nangka
Perasaanku begitu resah. Di luar sedang turun hujan. Sangat lebat. Kilat menyambar-nyambar. Bagaimana aku tidak resah. Jam sudah menunjuk ke angka tiga. Tapi anakku belum sampai di rumah. Tidak biasa-biasanya sampai sesiang ini. Sekali pun ada pelajaran tambahan. Akan selalu ada pemberitahuan. Ada apa gerangan?
Bodhi sudah sampai di rumah sejak pukul 11. Bis sekolah mereka selalu tepat waktu. Selain itu, anak-anak diseberangkan oleh kenek bis. Sehingga aman. Supir dan kenek bis sekolah sudah paruh baya. Mereka cukup sabar menghadapi anak-anak. Melihat itu, aku dan Mama Fanny berinisiatif menghadap yayasan. Minta agar mengizinkan kami mengedarkan surat pada para orangtua, yang intinya berisi himbauan atau ajakan, untuk iuran bersama tiap bulannya, sebesar lima ribu rupiah, sebagai uang tambahan untuk supir dan kenek. Keselamatan dan kenyamanan anak-anak kami sangat bergantung pada mereka. Itu yang jadi dasar pertimbangan. Pihak yayasan menyetujui. Senangnya...
Uang yang terkumpul dari ibu-ibu itu diberikan pada supir dan kenek. Masing -masing mendapat Rp150.000. Mereka terharu. "Sangat membantu, Bu. Setidaknya bisa untuk bayar listrik..." Begitulah. Selalu ada cara untuk berbagi kebaikan. Sekecil apa pun juga...
Mama Fanny orang yang baik, jujur dan bertanggung jawab. Semua uang iuran dicatat dengan rapi. Saat penyerahan uang pun dilakukan dengan transparan. Selalu ada saksi. Bagaimana pun juga, kita berusaha menjaga kepercayaan itu. Mama Fanny, karena kejujurannya, tetap dipercaya memegang uang iuran bis sekolah itu sampai anak ketiganya tamat dari SMP. Tepatnya pertengahan tahun 2020.
Di kemudian hari, setelah menamatkan pendidikan dasarnya, anakku Abhi melanjutkan sekolah di Jakarta, di tempat papanya mengajar. Adik-adiknya kusekolahkan ke Bukit Indah City Purwakarta. Meski begitu, hubungan pertemananku dengan Mama Fanny terjalin terus, hingga kini. Kami tetap terhubung. Setidaknya, sebulan sekali kami bertemu, saat arisan. Arisan yang dimulai sejak anak-anak kami masih TK, dan bertahan hingga mereka lulus kuliah. Diawali dengan sepuluh ribu rupiah. Mama Fanny juga yang dipercaya sebagai ketua arisannya. Kami selalu kumpul dan liwetan di rumahnya, sembari bertukar cerita. Dia sangat pandai memasak dan membuat sambal. Tumis kangkung dan sayur asemnya sangat lezat. Mama Fanny salah satu sahabat terbaik yang kumiliki. Orang yang selalu bisa memahamiku. Perbedaan keyakinan tidak jadi penghalang kebersamaan kami.
Anak-anak menjadi tumpuan harapanku. Aku punya impian yang sangat besar tentang masa depan mereka. Karena itu, aku berusaha menyekolahkan mereka di sekolah terbaik yang ada di daerah kami. Setidaknya, baik menurut pandanganku. Aku lebih memilih sekolah umum nasional. Aku dan suami ingin anak-anak punya pikiran terbuka, menghargai perbedaan. Sejak dini mereka sudah harus mulai mengenal nilai-nilai kebhinekaan. Sekolah Dasar Pupuk Kujang, yang berada di sebuah kawasan industri, menjadi pilihan kami.
Aku coba menelpon ke sekolah. Tidak ada yang mengangkat. Aku benar-benar kalut. Rasanya ingin segera menyusul ke sekolah. Untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi.
Tapi, kalau aku ke sekolah menjemput Abhi, bagaimana dengan Bodhi dan Cagga? Sekolah lumayan jauh dari rumahku. Benar-benar dilematis. Bodhi baru enam tahun. Kelas I SD. Sedangkan Cagga belum genap berumur empat tahun. Tidak mungkin kutinggal mereka berdua di rumah, tanpa ada orang dewasa yang mengawasi. Rumah kami di tengah kebun. Tidak ada tetangga. Benar-benar sendiri. Memang, aku tinggal bersebelahan dengan mertuaku. Tapi aku tak bisa banyak berharap. Ibu mertuaku harus selalu siaga menjaga dan menemani ayah mertuaku yang lumpuh karena stroke. Penyakit itu, membuat emosinya tidak stabil. Sedangkan suamiku, bekerja di Jakarta. Setiap akhir pekan baru pulang.
Ada begitu banyak ketakutan berkecamuk di benakku. Air mata mulai jatuh tanpa bisa kutahan. "Semoga alam akan selalu menjaga dan melindungi anakku Abhi." Doaku dalam hati. Aku ingat pada anak sulungku. Apa yang bisa dilakukan oleh anak kelas IV SD untuk melindungi dirinya? Bahkan dia tidak punya uang untuk ongkos pulang. Uang jajan yang kuberi tidak seberapa. Tidak mungkin cukup untuk bayar ojek dan angkot. Dengan berpayung, sembari menuntun Bodhi dan menggendong Cagga, aku bergegas ke depan. Menunggu Abhi.
Hujan tak kunjung reda. Pandanganku tertutup kabut. Tiba-tiba sebuah beca berhenti tepat di depan pintu pagarku. Beca itu dipenuhi oleh tujuh orang anak laki-laki. Mereka basah kuyub. Kedinginan. Bibir membiru. Belum sempat aku bertanya, tukang beca itu berkata : "Oooh, ini anaknya Encik? Mereka diturunkan di Gang Keng Coan. Bis mau lanjut ke Purwakarta, jemput karyawan. Katanya mah, tadi ada demo, Cik. Nuntut supaya penerimaan karyawan dari orang sekitar pabrik. Jangan dari luar daerah..."
"Kok Bapak mau antar anak saya? Padahal anak saya kan nggak pegang uang?" Tanyaku penasaran.
"Ya tidak apa-apa, Cik. Rezeki mah sudah ada yang ngatur. Biar kata saya orang kecil, saya juga ingin berbuat baik, Cik. Dengan tenaga saya...Apalagi kalau tau si kasep teh anaknya Encik. Tidak dibayar juga saya ridho..."
Tercekat aku mendengar kata-katanya itu.
"Terimakasih, Pak," ujarku sembari membungkukkan tubuh dan menyerahkan selembar uang kertas.
"Nuhun, Cik. Mau lanjut antar ke perum sebelah. O ya, apa sekarang mangga dan nangkanya masih ada?" Aku jadi penasaran. Bagaimana dia bisa tau ada nangka dan mangga?
"Kemarin saya dan teman-teman dapat sekarung mangga dan dua buah nangka. Kami makan sama-sama di pangkalan. Nuhun. Kaharti pisan Cik. Buat ngilangin haus..."
Penasaranku terjawab sudah.
"Pak Hakimi dan isterinya yang bawa pake motor kemarin. Katanya dari Encik. Suruh dibagi-bagi..." Dia mengatakan itu sembari mulai mengayuh becaknya kembali.
"Nuhun, Pak..." ujarku setengah berteriak.
Sungguh, aku berterimakasih sekali. Anakku pulang dengan selamat tanpa kurang suatu apa pun juga. Semua itu berkat mangga dan nangka...
Kota Baru, Jumat, 13 Agustus 2021 (Pk18.00 WIB).
Komentar
Posting Komentar