Belajar Lagi

     Untuk menghibur diri dari kepenatan rutinitas sehari-hari, aku suka mendengarkan lagu. Genre apa saja. Yang penting enak didengar. Dari yang up beat sampai melow mendayu-dayu. Selalu ada yang mengirimiku lagu. Dina, mau pun kakak sepupuku yang di Surabaya dan Aek Nabara. Aku juga minta Ehi untuk downloadkan. Dari lagu, banyak pelajaran yang kudapat. Tidak hanya menghibur. Lagu pun punya fungsi edukasi. Memberi penguatan dan motivasi. Kadang, setelah mendengar syair dari sebuah lagu, aku jadi tercerahkan. Aku pun mulai mengikuti anjuran Fukada Lia dan Liana untuk bermeditasi. Aku dan Dina sepakat untuk sama-sama melatih diri dari rumah masing-masing. Memang belum bisa konsentrasi penuh. Pikiran liar mengembara ke mana-mana. Namun aku tak berkecil hati. Seperti yang disampaikan Ayya Santini dalam ceramahnya, setidaknya sudah mulai belajar melakukan pembiasaan pada sikap duduk. Sudah ada kemauan untuk mengikis ego dan segala bentuk kekotoran bathin melalui latihan memperhatikan keluar masuknya nafas...Dan ternyata, memang membantu. Walau belum bisa kembali normal seperti sedia kala, setidaknya aku sudah mulai bisa tidur.
Berhari-hari aku mengalami gangguan tidur. Sampai pukul enam pagi masih tersadar. Biasanya aku langsung bangun, menyiapkan sarapan. Pukul sebelas, badan mulai terasa lemas. Dibawa rebahan pun tetap sulit terlelap. Bila mataku sudah benar-benar lelah, baru bisa terpejam. Aku merasa, semakin hari semakin tak bertenaga. "Mama harus sehat. Sekarang papa sudah tiada. Kita cuma punya mama..."Ehi mengatakan itu sembari mengusap air matanya. Dia membaluri tangan dan punggungku dengan minyak kayu putih. Ehi yang selalu mengontrol jam makan obat dan vitaminku. Dhamma, anakku yang paling baik dan sabar di antara saudara-saudaranya, menyodorkan segelas air. "Betul yang dikatakan Ehi itu, Ma. Mama mau makan apa? Aku buatin ya..." Dhamma memang rajin bantu di dapur. Dia duduk di ujung ranjang, membetulkan posisi selimutku, kemudian memijit-mijit telapak kakiku. Anaknya pendiam, tidak banyak menuntut. Dia terbiasa melayani dirinya sendiri. Untuk masakan sederhana, dia bisa membuatnya. Hobinya menggambar dan baca komik. Suka tepak-tepakan cock dengan Ehi. Mereka berdua juga berbagi tugas. Dalam hal rebus air, masak nasi atau cuci piring. Dhamma anak yang sangat tau diri. Dia jarang membuat aku marah.
      Dhamma juga memiliki hati yang sangat lembut. Sama seperti Bodhiprajna, anakku yang kedua. "Ma, boleh tidak kalau besok aku bawa bekal dua bungkus ke sekolah?" tanyanya suatu hari sepulang sekolah.  "Kenapa?" Aku ingin tau alasannya. "Aku mau berdana pada OB sekolah. Aku kasihan melihatnya..." Seperti itulah Dhamma. Dia selalu bawa bekal lebih untuk diberikan pada supir jemputan atau OB. Saat musim mangga tiba, dia juga rajin membagi-bagikannya. Tidak ada kata gengsi dalam kamus hidupnya.
     Bila melihat aku tiduran dan tak nafsu makan, Cagga tampak gelisah. "Ma, jangan sakit. Mama harus sehat. Abhi sama Prajna nelponi aku terus. Nanyain mama. Akunya yang pusing. Mereka kira, aku nggak jagain mama. Selain nasi, mama ingin makan apa? Nanti aku belikan..." Cagga, anak ketigaku bertanya dengan ekpresi serius. Dia yang jadi andalanku di rumah. Mulai belanja, beli gas, ngontrol adik-adiknya belajar, sampai bersih-bersih kebun pun mau. Irit bicara tapi sekalinya buka suara, sering membuat orang terkejut. Wajah dan postur tubuhnya sangat mirip dengan papanya. Dia satu-satunya anak yang bisa dan mau mengurusi peralatan bengkel papanya. Mau berkotor-kotor ria. Tidak gengsi. Dia pun tidak banyak menuntut. Memahami keadaan. Dia yang sering mengantarku pergi-pergi. Ke klinik, pasar, bank, sekolah, juga berkeliling keluar masuk gang, ke pangkalan ojek, pemulung untuk bagi-bagi mangga saat musimnya. Bila gagang kaca mataku patah, dia juga yang membetulkannya. Dilemnya dengan rapi. Dhamma dan Ehi tidak berani membantah perkataannya. Mereka lebih takut pada Cagga dibanding Abhi dan Prajna. Meskipun tampak galak, sebetulnya sangat perhatian. Dia pun bisa berkelakar. Dalam menggunakan uang, sangat hati-hati. Selalu bikin laporan yang rinci sebagai bentuk pertanggung-jawabannya. Sampai-sampai pengeluaran untuk parkir pun dia cantumkan. Dari catatannya itu aku bisa baca. Dia pun suka berdana sebungkus nasi pada pemulung. Memang aku selalu ingatkan pada anak-anak untuk belajar berempati. Memberi tidak harus nunggu kita kaya dulu. Kita bisa mulai berbagi sesuai dengan kemampuan kita. Yang penting, kita tulus. Dilandasi niat baik. Praktek nyata dari metta (cinta kasih universal pada sesama). 
Mungkin nasi bungkus seharga Rp 13.000,- tidaklah terlalu istimewa. Tapi akan sangat berarti bagi mereka yang tidak punya penghasilan tetap. Orang-orang yang kurang beruntung. 
     Dalam membesarkan anak-anak, aku tidak berpatokan pada pendapat para ahli, cenderung lebih mendengarkan kata hati. Aku percaya, segala sesuatu yang diawali dengan niat baik, hasilnya pun akan baik.

Kota Baru, 4 April 2021, pk 12.45.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pertanda apa ini

Bunga Teratai

Kedatangan Nova