Mengumpulkan Pecahan-pecahan Genteng
Mengumpulkan Pecahan-pecahan Genteng
Sudah kurencanakan dari jauh-jauh hari untuk mengaruk jalan masuk menuju rumahku. Sebentar lagi puncak musim hujan.
Jalannya rusak parah, setelah dilalui oleh mobil saat bolak-balik mengangkut kayu tebangan di kebun.
Waktu itu pemborongnya berjanji akan memperbaiki kembali jalan yang rusak. Namun, setelah menunggu sekian lama, dia tak kunjung menepati janjinya juga. Selalu mengulur waktu. Dengan berbagai alasan. Aku pun jadi malas untuk bertanya lagi.
Awalnya aku marah. Merasa dibodohi. Tapi sudahlah... Apa ada gunanya? Jalan tetap rusak, sedangkan datangnya musim hujan itu sesuatu yang pasti. Akhirnya aku putuskan untuk perbaiki sendiri. Sedikit demi sedikit. Semampuku...
Setelah pembagian raport, aku langsung pulang. Si bungsu kubawa serta. Selama libur sekolah, biarlah dia di rumah merajut. Sementara aku membereskan beberapa urusan.
Jalan ini dibuat tak lama setelah aku dan suamiku menikah. Pecahan-pecahan genteng diangkut menggunakan truk colt diesel. Bapak mertuaku yang mengawasi langsung. Pabrik genteng dan bata pun masih aktif berproduksi saat itu.
Jalan masuk yang lama ikut terjual. Saat itu situasi sedang sangat sulit. Kesehatan mertuaku juga tidak bagus. Akhirnya diputuskan mertuaku melepas sebagian tanah untuk dijual.
"Lien, inget baik-baik pesan Mama ini ya. Sesulit apa pun hidupmu nanti, jangan pernah sekali-kali pinjam sama bank." Ibu mertuaku berkali-kali mengatakan hal itu padaku. Aku hanya mengangguk dan mengiyakan.
Aku berusaha menaati pesan mertuaku itu. Aku jadi belajar mengatur keuangan dengan sangat hati-hati. Aku tidak bekerja. Satu-satunya sumber penghidupan kami ya dari gaji suamiku yang seorang guru. Aku tak berani berpikir yang muluk-muluk, atau punya keinginan di luar batas kemampuan kami. Realistis aja. Prioritas utamaku adalah pendidikan anak-anakku.
Semesta menjaga kami dengan sangat baik. Aku bersyukur, kami selalu dicukupkan. Anak-anak bisa sekolah dengan baik.
"Matematika Tuhan tak sama dengan hitungan matematika manusia, Ci," ujar Yuyus teman kuliahku, dalam satu kesempatan, saat mengenang masa-masa susah, berjuang di Sekeloa dulu.
Bersyukur punya teman yang baik dan bijak. Setelah sama-sama menua, bisa kasih pandangan-pandangan yang menyejukkan hati. Padahal dulunya tidak dekat. Ngobrol aja nggak pernah. Katanya takut, karena aku terkesan galak. Hahaha...ada-ada saja.
Bisa saling mengerti dan menghargai, mungkin karena punya pengalaman hidup yang sama. Sama-sama pernah merasakan pahit getirnya hidup, diremehkan, direndahkan, bahkan ditertawakan.
Bersyukur bisa melewati itu semua. Bersyukur pernah ada di situasi seperti itu. Belakangan aku menyadari, itu bagian dari perjalanan hidup. Untuk belajar menumbuhkan kesadaran, mengasah kepekaan, meneguhkan hati, mengajari untuk berani melangkah dan memikul tanggung jawab...
"Mama tidak ke Jakarta dulu ya dalam waktu dekat ini." Bunyi pesanku pada anak-anak. Biasanya dua kali dalam sebulan aku menengok mereka. Nginap beberapa malam di sana. Beres-beres, masak dan menyiapkan bekal untuk mereka bawa ke kantor atau sekolah. Ada kelegaan tersendiri setelah bertemu dengan mereka berlima.
Selama libur, si bungsu di Cikampek. Hatiku tenang ada dia di depan mataku. Sebenarnya, dialah yang jadi alasanku bolak balik ke Jakarta. Meski kadang, aku merasa capek berdesakan di kereta. Entah mengapa, aku selalu mengkhawatirkannya. Mungkin karena dia satu-satunya anak perempuanku. Umurnya baru 17 tahun.
"Banyak burung liar ya Ma di kebun kita. Suaranya bagus. Di Jakarta mana bisa dengar suara burung dan jangkrik lagi." Aku dengarkan saja celotehannya.
"Iya. Meski rumah kita tidak bagus, tapi di sini tenang.
Coba kamu pejamkan mata, rentangkan kedua tangan, lalu rasakan hembusan angin yang lewat di pipimu." Dia menuruti kata-kataku. Pagi itu dia kuajak jalan pagi, menemaniku.
"Betul, di sini sejuk. Segar. Sejuknya beda dengan yang dihasilkan oleh pendingin AC."
Lalu dia kuajak berdiri di bawah rimbunnya pohon bambu. Agar dia bisa mendengar desauan angin, dan melihat daunnya bergoyang-goyang saat ditiup angin.
"Mama bercita-cita ingin memperbaiki jalan ini. Menurutmu, apakah Mama akan mampu melakukannya?" Aku bertanya, karena aku sendiri tak yakin akan sanggup menyelesaikannya.
"Lakukan apa yang membuat Mama bahagia. Tanpa paksaan, tanpa tekanan. Lakukan sedikit demi sedikit. Jangan sampai kecapean." Jawabannya cukup mengejutkanku. Dia tampak dewasa melebihi usianya.
"Iya...," jawabku singkat, sembari merapikan anak rambut yang hampir menutupi sebagian wajahnya. Lalu kami berjalan pulang.
Memang aku tidak menargetkan apa-apa. Aku lakukan semampuku. Kalau capek, ya berhenti dulu. Paling dalam sehari hanya bisa dua jam mengumpulkan pecahan-pecahan genteng itu. Punggung dan kakiku sudah terasa panas.
Aku senang melakukannya. Bagiku, mengumpulkan pecahan-pecahan genteng itu seperti mengumpulkan kembali asaku, membangun kembali harapan dan impianku yang belum tercapai.
Terimakasih, aku masih dimampukan melakukannya. Tak perduli, sekalipun itu pekerjaan kasar, seperti kuli.
Terimakasih, aku masih bisa bergerak, melihat, dan bernafas sampai hari ini...
Terimakasih Semesta...
Kota Baru, Senin, 25 Desember 2023, Pk 13:49.
Komentar
Posting Komentar