Sakit
Sakit
Kota Baru, Rabu, 4 Januari 2023 (Pk 21:33).
Sebenarnya aku sudah merasa agak meriang-meriang, jauh sebelum tahun baru tiba. Cuaca ekstrim membuat tidurku tidak nyenyak. Dingin luar biasa. Saat membuka kain jendela di pagi hari, aku mendapati jendela kaca penuh dengan tetesan embun.
Pola makanku pun agak terganggu. Aku tidak merasa lapar sama sekali. Tidak ada selera. Meski begitu, aku tetap berusaha mengisi perutku. Aku tak ingin jatuh sakit. Banyak PR yang belum selesai.
Aku berusaha beraktivitas seperti biasa. Tolak angin sangat membantu. Aku sudah sedia satu pak.
Akhir-akhir ini, banyak kejadian datang menghampiri. Di luar prediksi. Mulai MCB terbakar, bangunan sayap kiri, bekas dapur mertuaku di sebelah barat, rubuh. Mungkin kejadian-kejadian itu yang membuatku kehilangan selera makan.
Sampai di titik ini, aku seperti tidak bisa merasakan apa-apa. Mati rasa. Namun, aku tetap berusaha menjaga kesadaranku. Apa pun yang datang padaku, harus kuhadapi dan kuselesaikan, satu per satu.
Masih banyak barang pecah belah yang belum sempat kubereskan. Aku sudah kehabisan tenaga, tak tau harus berbuat apa. Aku sangat kelelahan. Ada perasaan sayang sih. Apa mau dikata. Tanganku hanya ada dua. Aku bisa apa?
Akhirnya, aku pasrah. Hanya bisa memandangi dengan perasaan sedih. Menyelamatkan yang masih bisa diselamatkan.
Padahal, jauh-jauh hari sebelumnya, sebagian genteng sudah diturunkan. Untuk mengurangi beban pada kayu penyangga. Aku pikir, akan bisa bertahan beberapa waktu lagi. Sementara, aku menabung dulu. Ternyata, angin kencang mempercepat rubuhnya bangunan itu. Perkiraanku meleset.
Balok dan gentengnya menimpa paralon sambungan air dari toren ke arah rumahku. Memang dibuat paralel. Toren air ada di sebelah. Yah...
Angin kencang juga merubuhkan bambu dan mengenai kabel listrik. Melintang di tengah jalan.
Semua terjadi secara beruntun. Dan harus segera dibereskan, tak bisa ditunda.
Karena itu, tak kuperhatikan lagi sinyal yang dikirimkan oleh tubuhku. Walau tenggorokan mulai terasa kering, aku tetap membereskan pekerjaan yang bisa kulakukan. Aku pikir, dengan makan buah dan vitamin, akan membuatku pulih kembali. Setidaknya bisa bertahan untuk sementara waktu. Sampai semua beres dan aku benar-benar bisa duduk manis, istirahat tenang, sembari ngobrol dengan anak-anakku di momen tahun baru nanti. Ternyata, masalahnya tidak sesederhana itu.
Dengan sisa-sisa tenaga, aku coba tebang bambu yang menghalangi jalan masuk menuju rumahku. Setelah itu, aku betulkan tiang penyangga kabel yang sudah mulai miring. Bagian bawahnya ada yang lapuk karena dimakan rayap dan terkena air hujan.
Paralon yang putus itu kuserahkan pada tukang untuk perbaiki. Aku minta tolong pada Pak Onggi. Aku tak paham cara menggergaji dan menyambungnya. Yang ada di benakku, bagaimana caranya supaya air bisa mengalir lancar dulu. Tidak punya air itu terasa banget menderitanya. Mana jauh dari tetangga. Membersihkan runtuhan bangunan bisa ditunda sampai keadaan memungkinkan.
Mencari tukang dalam situasi darurat begini, sangat tidak mudah. Lagi-lagi aku minta bantuan Soni, anak Ci Wawa.
Dia dan Pak Karman juga yang bantu cek listrik saat MCB di rumah terbakar.
Aku buta sama sekali tentang listrik dan seluk beluk bangunan. Selama ini, semua, suamiku yang kerjakan. Dia memang serba bisa dan mau berkotor-kotor. Aku hanya menemani dia bekerja sambil menyediakan minum.
Setelah dia tak ada, terasa betul olehku, bagaimana repotnya menangani segala sesuatunya seorang diri. Termasuk mencari tukang.
Aku hampir putus asa menelpon ke sana ke mari. Mereka pun bekerja di tempat lain. Sehingga tidak bisa asal comot. Harus menunggu dulu. Sedangkan listrik dan air sangat urgent.
Semua aku jalani dalam diam. Meski dalam hati, aku ingin menangis dan berteriak. Aku berusaha setenang mungkin. Hanya itu yang bisa kulakukan. Berusaha tetap tenang.
Ini satu-satunya hal yang sulit kutiru dari suamiku.
Dalam situasi apa pun, suamiku selalu tenang. Tidak panikan. Semua ia hadapi dan jalani dengan langkah yang pasti. Serba terukur. Selalu percaya diri. Hal ini yang membuat aku mengaguminya. Irit bicara. Tidak suka mengumbar janji, bicara seperlunya dan seadanya.
Aku banyak belajar darinya. Belakangan aku baru menyadari, kalau dia, guruku yang sesungguhnya. Lebih dari setengah usiaku, kuhabiskan bersamanya. Dalam mengarungi manis getirnya hidup. Orang yang selalu menuntun dan mengajari aku dengan sabar. Menerima segala kekurangan dan kebodohanku.
Meski dia tidak pernah mengungkapkan perasaannya dan mengekspresikan dalam bentuk kata-kata puitis, tapi aku bisa merasakan kedalaman cintanya.
Saat listrik jepret-jepret terus, aku pun sempat bersitegang dengan kakakku. Dia mengira aku hanya diam dan tidak melakukan apa-apa. Dia memarahiku habis-habisan. Pekerjaannya jadi terganggu.
Aku coba jelaskan kalau aku sudah menghubungi beberapa orang untuk dimintai tolong. Namun, sore baru bisa datang. Karena masih melakukan pekerjaan di tempat lain.
Saat MCB sudah diganti pun, listrik masih mati hidup. Untuk kemudian mati total. Kakakku masih terus mengomeliku. "MCB jelek sih. Makanya cepet rusak." Malam itu berlalu dengan menggunakan penerangan lilin. Aku berusaha menahan diri. Agar kemarahanku tidak sampai meledak. Aku pun sudah sangat lelah. Jalan mondar mandir seharian, dari depan ke belakang.
Esoknya Soni dan Pak Karman mengecek kabel rumahku sampai ke depan. "Iya, nggak ada aliran listrik sama sekali."
"Apa mungkin digigit tikus ya Pak?"
"Nggak Bu. Waktu itu semua kabel di atas kan sudah diganti, dan dimasukkan ke dalam paralon. Harusnya aman, Bu," jelas Pak Karman.
"Coba hubungi PLN aja, Ci." Soni buka suara. Akhirnya aku coba-coba hubungi PLN mobile. Keluhanku segera dicatat. Dan beberapa saat kemudian, petugas datang mengecek dan memperbaiki.
Aku disuruh Nanot, seorang teman yang bekerja di PLN untuk mengunduh aplikasi itu. Memang membantu.
Ternyata ada sambungan kabel yang putus di atas pohon mahoni di pinggir jalan raya. Kejatuhan ranting.
Seharusnya pohon peneduh itu dipangkas secara berkala. Tapi orang PLN bilang, itu bukan tanggung jawab mereka, tugas dinas pertamanan dan tata kota. Karena itu masuk jalan propinsi.
Setelah listrik nyala, kakakku baru bisa tertawa. Dia tampak lega.
Apa pun, setidaknya, satu masalah sudah teratasi.
Setiap hari, selalu ada hal-hal tak terduga yang datang menghampiri. Aku berusaha mengatasi masalahku sendiri. Tanpa aku bercerita pun, hampir selalu, pertanyaan yang sama diajukan padaku. Baik dari saudara, kerabat, tetangga, teman, atau orang lewat yang sengaja berhenti sejenak, karena melihatku sedang sapu-sapu di depan. Dekat pinggir jalan raya.
"Kenapa tidak dijual saja?"
"Untuk apa lagi masih kau pertahankan? Untuk apa kau repot-repot begitu? Kau berhak hidup bahagia. Toh suamimu sudah nggak ada? Hidup hanya sekali, Lien." Seorang ibu-ibu vihara, yang kukenal sedari muda, datang berkunjung hanya untuk mengatakan itu. Hal yang sama juga diungkapkan oleh seorang teman yang sudah kuanggap seperti saudara sendiri. Aku hanya membatin. Kenapa mereka tidak memikirkan perasaanku saat mengatakan hal itu?
"Kau bisa bikin perumahan dan kerjasama dengan mantuku, Lien. Kinerja perusahaannya bagus dan terpercaya." Aku diam saja.
"Akan aku pikirkan nanti, Ci." Selalu, jawaban itu yang kuberikan.
"Kau akan semakin menua, Lien. Berapa lama lagi kau bisa bertahan hidup? Kenapa tidak dibagikan sekarang pada anak-anakmu, mumpung kamu masih sehat? Daripada jadi sumber pertengkaran di kemudian hari, setelah dirimu nggak ada? Coba pikir-pikir lagi, Lien," suara di ujung telepon coba meyakinkanku. Dari saudara sepupu suamiku.
Seperti biasa, aku tidak mengatakan apa-apa. Hanya diam dan mendengarkan. Namun tak urung, pertanyaan-pertanyaan itu terasa menyesakkan dadaku. Pertanyaan yang sangat tidak ingin kudengar.
Kenapa mereka tidak membiarkan aku hidup tenang, berpikir sendiri, dan menikmati keheninganku?
Bagaimana aku harus mengatakan pada mereka, kalau kebahagiaanku ada di sini?
Bagaimana aku bisa jelaskan, kalau standard kebahagiaan tiap orang itu berbeda?
Aku tak suka mengusik kehidupan orang lain, tapi mengapa mereka selalu mengusikku dengan pertanyaan-pertanyaan itu?
Kalau mereka benar-benar perduli padaku, seharusnya mereka bisa menghargai pilihan hidupku. Tanpa harus melabeliku dengan sebutan keras kepala, orang aneh, tidak realistis, sok idealis, dst dst.
Aku tau, jalan yang aku pilih ini memang tidak mudah. Tapi, sekuat tenaga, aku akan menjaga kepercayaan, tanggung jawab yang sudah diberikan pada mertua dan suamiku. Semoga Semesta selalu melindungiku...
"Ma, ayo ke dokter, kita berangkat sekarang," ujar Cagga, anakku yang nomor tiga. Dia baru sampai di rumah tanggal 30 Desember 2022 pukul 13.30.
Begitu sampai, dia langsung mengukur suhu tubuhku. "38,6 derajat celcius, Ma. Panas sekali itu," dia berkata sembari menunjukkan angka yang tertera di thermo gun.
"Tidak apa-apa. Istirahat sebentar, nanti juga akan membaik." Aku tetap bersikeras tidak mau ke klinik. Tubuh menggigil, tulang-tulang nyeri dan kepala berat. Batuk tiada henti. Ehi menyodorkan segelas air hangat, lalu memakaikan kaos kaki dan menyelimutiku. Sebelumnya membaluri punggungku dengan kayu putih. Aku mengenakan baju hangat yang baru selesai ia rajut.
Cagga ke Apotek Kimia Farma. Dia pikir, tak ada gunanya membujukku terus. Dia bisa bertanya pada apoteker tentang obat yang tepat dengan gejala yang aku sebutkan itu.
Setelah makan obat, aku bisa tidur. Anak-anak secara bergantian mengecek suhu tubuhku. Ehi dan kakakku memasak sup di dapur.
"Ma, Mama harus sehat. Abaikan semua kata-kata yang tak ingin Mama dengar itu. Kita semua sedang berjuang, Ma. Baru memulai. Sabar aja. Kita bertahan dengan apa yang ada dulu." Cagga mengatakannya dengan mimik wajah serius. Kata-katanya seperti memberi kekuatan padaku. Membesarkan hatiku.
"Iya. Tadinya Mama sudah hampir menyerah. Terimakasih karena bisa memahami pilihan hidup Mama. Terimakasih sudah menguatkan, dan meyakinkan Mama." Tak urung, air mataku jatuh tertumpah.
Aku hanya bisa berdoa dalam hati. Semoga semesta akan selalu melindungi kami. Anak-anak makin besar dan sehat. Bisa saling membahu untuk mewujudkan cita-cita papanya...
Komentar
Posting Komentar