Terimakasihku
Terimakasihku
Kota Baru, Rabu, 7 Desember 2022 (Pk 18:01).
Aku baru selesai memotong ranting-ranting bambu yang menghalangi pandanganku melihat lurus ke depan, sampai pintu pagar. Tak lupa aku memeriksa pohon cabe yang kutanam beberapa waktu lalu. Semua hidup, dan mulai meninggi. Ada rasa lega menyusup ke dalam dadaku. Perasaan yang sulit untuk aku ungkapkan lewat kata-kata.
Aku pun menebang pisang Bangkahulu yang sudah tua. Ada yang sudah menguning pada bagian atasnya.
Bersyukur, aku masih diberi kesempatan menghirup udara sore yang sejuk ini. Terimakasih. Semesta selalu menjagaku, dengan caranya...
Sambil mengayun-ayunkan golok, aku terus berpikir. Di grup Vihara Vimala Dharma (VVD), aku membaca pesan yang dikirim oleh Dek Subanda. Dia memberi ucapan selamat ulang tahun pada Dek Saiydi. Jujur, aku agak terkejut. Dek Saiydi ini kan salah seorang pengurus yayasan Sekolah Ekayana Dharma Budhi Bhakti, tempat anakku bersekolah? Ada kebimbangan di hatiku. Kalau di sekolah, menurut etika, unggah unnguhnya, aku memang harus panggil "Pak." Untuk menunjukkan "adab". Bagaimana pula kalau di grup VVD? Masak aku harus menggunakan panggilan seformal itu? Bisa-bisa jadi kaku dan aneh.
Aku memberi ucapan selamat di grup dengan menambahkan kata "Dek" di depan namanya. Kupikir, itu sudah cukup aman dan sopanlah.
Beberapa kali aku melakukan kesalahan. Banyak yang sudah tak mampu kuingat lagi. Apalagi ada beberapa anggota grup yang menggunakan nama samaran, atau nama lain dari yang biasa digunakan sehari-hari.
Aku tidak pernah mengira kalau Hary L itu Andi Harjanto. Aku malah sebut "adek". Aku tidak pernah tau kalau dia punya nama lain. Hm, Ko Edyanto mengambil kesempatan itu untuk meledekku. Dan menyinggung sedikit tentang CLBK alias cinta lama yang belum kelar. Duh. Rumor dari mana pula itu? Kami cuma sahabatan. Tidak pernah pacaran. Aih, kejamnya gosip. Karena gosip itu, kami akhirnya jadi musuhan. Dan siapa mengira, setelah puluhan tahun bertemu di grup yang sama.
Setelah mengetahui jati dirinya, aku memberanikan diri untuk meminta maaf secara terbuka. Bagaimana pun, Ko Andi orang yang banyak berjasa padaku. Dia yang ditugasi oleh Ibu Vimaladewi Salim untuk mengantar-antarku beli berbagai keperluan saat awal-awal aku di Bandung. Seperti beli lemari, buku, cek golongan darah, dlsb. Di Bandung, aku tak punya siapa-siapa. Pertama datang, aku nginap dua malam di vihara sebelum kos di rumah Oom Iskandar di Ciheulang II.
Cerita perjalananku sampai ke Bandung itu memang unik. Melibatkan banyak tangan dari orang-orang yang baik dan sayang padaku.
Sejak awal, ayahku tidak mengizinkankan aku kuliah. Karena keterbatasan biaya. Saat kelas tiga SMA juga, sudah ada yang datang melamar.
Tapi, cara kerja alam itu sungguh sulit diduga. Aku dapat panggilan PMDK. Orang pertama yang kuberitahu adalah guru agamaku. Ibu Susiani Intan. Beliau sangat sayang padaku. Di mataku, beliau itu perwujudan nyata dari Bodhisatva.
Beliau beberapa kali menemui ayahku. Untuk meyakinkan, kalau di Bandung aku akan baik-baik saja. Dalam Buddha Dharma, kita semua bersaudara. Akhirnya hati papaku luluh. Aku diizinkan berangkat ke Bandung.
Ibu Intan mulai menyurati Bhante Maitry di Vihara Borobudur. Lalu Bhante Maitry menyurati adiknya, Ananda Salim yang kebetulan satu fakultas dengan pilihan PMDK-ku. Hanya beda jurusan dan angkatan.
Dari Asahan kami berangkat bertujuh. Aku satu-satunya perempuan. Teman-teman lain memilih kuliah di Jakarta. Aku melanjutkan perjalanan ke Bandung dengan naik taxi 4848. Diantar sampai tempat. Di situ aku bertemu dengan Ibu Vimaladewi Salim, yang aku panggil dengan sebutan "A-ie." Di situ ada Andi juga. Begitulah awal ceritanya...
Awal-awal gabung di grup, aku banyak melakukan kekeliruan. Aku tidak tau kalau Yuanita Jade itu orang yang sama dengan Ci Giok. Untung Yeyen dan Ko Hay Li mengingatkan, sehingga aku bisa cepat-cepat meralat kesalahanku.
Marija, Ci Monita, Romo Setiawan, Susi Tjitjie Marginu, merupakan segelintir nama yang masih lekat dalam ingatanku. Seiring berjalannya waktu, aku mulai bisa beradaptasi dengan ritme yang ada di grup. Terimakasih pada Iing dan Dada Agus yang sudah mencemplungkan diriku untuk gabung di grup.
Subanda, karena postingannya di grup lumayan berat, sehingga aku mengira dia itu seorang kakek-kakek berwawasan luas. Yang rajin mengikuti perkembangan berita dunia. Ternyata, dia jauh lebih muda dariku. Aduh. Lagi-lagi aku salah. Bodohnya diriku !
Aku pun agak bertanya-tanya dalam hati. Siapa itu Ki Demang, Priwang ? Kok terdengar sangat misterius dan berbau mistis ya? Apa mereka itu dukun/peramal ya? Aku sempat bertanya pada Ci Imon dan Subanda tentang nama-nama anggota grup. Oalaaa. Belakangan baru tau. Ternyata Ki Demang itu Mas Sugeng tho. Prajurit TNI AU. Tapi kenapa bisa jadi Ki Demang ya? Apa karena sekarang sudah jadi aki-aki ?
Begitulah, komunikasi intens yang terbangun di grup, membuat percakapan tiap harinya menjadi kian cair. Padahal tadinya ya, aku takut banget lho. Nggak pede.
Karena menyadari, di grup ini banyak orang pinternya. Hebat-hebat. Lintas angkatan pula. Sementara aku? Duh. Jiwaku seperti meronta-ronta. Ciut. Beneran minder. Siapalah awak ini. IRT biasa yang hidup seperti katak dalam tempurung.
Tapi ternyata aku diterima dengan baik. Terimakasih untuk semuanya.
Di grup ini, tak sengaja kenal dengan Dek Saiydi. Pengurus yayasan di sekolah anakku. Awalnya kikuk juga. Aku kan mikir. Kalau aku melakukan kesalahan dalam merespon postingan di grup, bisa-bisa anakku pula yang kena dampaknya. Khawatir juga aku, kalau anakku dapat framing buruk, karena ulahku. Kadang, aku memang tak bisa menahan diri untuk memberi komentar. Hehehe.
Menurutku, Dek Saiydi ini orang baik, yang mengenal dan berusaha mempraktekkan Dharma secara nyata. Aku bilang begitu bukan karena dia orang yayasan di sekolah tempat anakku bersekolah lho. Aku berusaha proporsional. Hatiku yang menuntun untuk sampai pada kesimpulan itu.
Berawal dari pemberitahuan di grup orangtua murid. Bahwa sekolah akan mengadakan katering. Untuk mendukung kelancaran kegiatan belajar mengajar. Karena durasi belajar di sekolah cukup panjang. Rata-rata bubaran sekolah pukul 15.30. Kalau ada eskul, lebih sore lagi.
Anak-anak sedang dalam masa pertumbuhan dan butuh asupan energi yang memadailah. Apalagi anakku kan di Jakarta itu ngekos. Kadang bawa bekal. Kadang tidak. Suka kesiangan. Mana sempat nyiapin bekal lagi. Keburu telat. Koko-kokonya juga sibuk dengan urusan kuliah dan kerja mereka. Nggak mungkin sempat mikirin hal-hal detail begitu. Karena itu aku berinisiatif untuk daftar katering. Sehari Rp 25.000. Masih terjangkau dan masuk dalam hitunganku. Aku berharap anak wedokku bisa fokus belajar, dan hidup sehat. Aku tidak selalu ada mendampinginya.
Pesan masuk. Dari Dek Saiydi. Kira-kira bunyinya seperti ini. "Ci, selama ada katering, Ehi pasti akan dapat jatah. Sudah saya daftarkan. Perkenankan saya yang membayarnya."
Jujur, aku merasa sangat tidak enak. Aduh. Bagaimana ini? Aku langsung balas chat. Dan mengatakan padanya tidak perlu repot-repot melakukan itu. Aku bilang, kami masih sanggup membayar. Hidup di Cikampek tidak semahal di Jakarta. Aku juga masih bisa metik-metik di kebun. Anak-anakku yang sudah bekerja memenuhi semua kebutuhan kami. Ditambah ada sedikit uang pensiun dari almarhum suamiku.
"Nggak apa-apa, Ci. Simpan aja uangnya untuk pendidikan Ehi selanjutnya." Dek Saiydi tetap bersikeras ingin membayari kateringnya Ehi. Aku bingung. Lalu aku coba diskusi dengan anak-anakku.
"Siapa Pak Saiydi itu, Ma?" Tanya Abhi anak sulungku.
"Orang yayasan di sekolahannya Ehi." Bodhi anak keduaku menyahut.
"Iya. Orang yayasan. Bagian keuangan," Ehi menimpali.
"Mama kok bisa kenal? Ketemu di mana?" Selidik Abhi lebih lanjut.
"Dibilang kenal, ya nggak kenal-kenal amat. Kebetulan satu grup sama Mama. Grup vihara waktu Mama kuliah di Bandung dulu," ujarku, menjelaskan.
"Mama sendiri belum pernah ketemu. Rupa orangnya seperti apa juga, Mama nggak tau," lanjutku.
"Trus, kok bisa mau bayari kateringan Ehi?" Tanyanya heran.
"Mama nggak tau. Mama sudah berusaha menolak beberapa kali. Tapi dia tetap bersikeras mau bantu." Untuk beberapa saat, suasana menjadi hening.
"Ya sudahlah, Ma. Kita sudah berusaha menolak, tapi dari Pak Saiydi sendiri tetap mau bantu Ehi. Terima aja. Anggap itu rezekinya Ehi, berkat karma baiknya" Cagga, anak ketigaku akhirnya buka suara.
Dhamma hanya diam, menyimak percakapan kami.
Akhirnya, setelah melalui diskusi keluarga, aku memutuskan untuk menerima kebaikannya itu.
Terimakasih Dek Saiydi. Semoga kelak, Ehi anakku pun bisa mengikuti jejakmu dalam berbagi. Terimakasih, sudah bantu menjaga dan mengawasi anakku Ehipassikodevi selama ini.
Selamat ulang tahun. Semoga selalu sehat, sukses dan bahagia. Tri Ratna memberkahimu dan keluarga.
Cici tidak bisa kasih apa-apa. Tulisan ini mewakili ungkapan rasa terimakasih dari keluarga kami. Semoga berkenan.
Kota Baru, Rabu, 7 Desember 2022 (Pk 20:10).
Komentar
Posting Komentar