Terhubung Kembali
Terhubung Kembali Dengan Teman Lama
Kota Baru, 14 November 2022 (Pk 17.39).
Banyak hal yang sudah terjadi dan aku belum sempat mencatatnya. Mulai dari ketemu Budenk di Semarang, nginap dua malam di rumah Tri di Salatiga, bertemu Nuni dan suaminya di Solo, dan mengunjungi Ci Soen, kakak sepupu suamiku, di Sragen.
Di Semarang, ketemu Budenk dan diajak makan sea food. Dia menawari aku untuk mencoba mangut dan udang goreng kremes. Awalnya, aku kikuk. Ragu-ragu. Tapi dia terus menawarkan sambil menunjukkan menu favorit yang ada di situ. Juga, mana jenis sambal yang super pedas dan sedang-sedang saja.
Ternyata dia baik, ramah, dan tutur katanya halus. Bisa ngobrol enak. Nggak jaiman. Sama sekali tidak ada kesan seram seperti yang kubayangkan selama ini.
Entah mengapa, dulu, perawakannya yang tinggi gede itu, membuat aku merasa takut. Aku membayangkan dia seperti Giant, teman sekolah Nobita, dalam serial kartun Doraemon. Bahkan aku menjulukinya Budi Hercules. Maafkan persepsiku yang salah itu ya Bud...
Selama di Salatiga, aku diajak Tri berkeliling . Malamnya kami saling berbagi cerita, diselingi tawa dan tangis. Begitulah, pertemuan dua orang sahabat lama. Selalu ada keharuan.
Di Solo, kami janjian bertemu dengan Nuni. Hari itu bertepatan hari ulang tahunnya. Nuni mentraktir kami. Terimakasih ya Nuni. Sehat dan bahagia selalu.
Budenk, Tri dan Nuni, terimakasih atas penerimaan kalian yang hangat dan tidak berjarak itu. Aku terkesan karena kita bisa ngobrol akrab. Padahal, kita sudah lama banget nggak bertemu. Puluhan tahun.
Kadang aku berpikir, andai saja kita dulu memiliki pandangan, dan kearifan seperti sekarang, tentu akan lebih menyenangkan ya. Apa pun, terimakasih kawan. Aku akan selalu mengingat kebaikan kalian.
Aku melanjutkan perjalanan ke Sragen, ditemani Tri. Bertujuan untuk membangun kembali komunikasi keluarga yang sempat terputus setelah mertuaku meninggal. Aku bertekad, ingin membereskan semua urusan yang belum sempat diselesaikan oleh suamiku. Mumpung aku masih sehat. Aku tak ingin ada ganjelan, yang bisa saja menghambat jalan hidup anak-anakku kelak. Tanggung jawab ini harus kutuntaskan.
Bersyukur, Ci Soen menyambut baik dan tetap menganggap diriku sebagai bagian dari keluarga Tjoa.
"Walau Mame sudah nggak ada, anak-anakmu tetap marga Tjoa, Lien. Tetap jadi ponakan-ponakan kami." Aku terharu mendengarnya. Padahal tadinya aku sudah takut nggak diaku. Terimakasih. Semesta merestui niat baikku itu...!
"Xie xie Cie." Hanya itu yang bisa kuucapkan.
"Lien, kita keluarga sendiri. Ndak usah phai se. Aku tak minta nomor rekeningmu. Ben tiap bulan aku bisa bantu kamu. Sithik-sithik. Anak-anakmu kan masih butuh biaya untuk sekolah." Tapi tawarannya itu kutolak. Aku merasa kami masih bisa mengatasinya sendiri.
"Nggak usah, Cie. Sudah cukup kok. Ada koko-koko e sing biayai. Dua anakku wes kerjo." Aku berusaha menjelaskan situasiku.
"Ya sudah. Tapi kalau sewaktu-waktu Alien ada keperluan mendesak, segera hubungi keluarga di Sragen ya." Ci Soen tidak memaksa lagi. Mungkin dia mengerti kalau aku tidak ingin dikasihani. Aku mengangguk pertanda setuju.
Bulan berikutnya aku ke Cirebon bareng ciciku. Bertemu dengan Akhdiati, Antiq, Udin dan isterinya. Senang bisa bertemu teman-teman lama. Tertawa dan bercanda bersama. Sambil mengenang masa lalu. Seakan, waktu mengajak kami kembali ke masa muda kami dulu.
Udin mengajak kami berkeliling kota Cirebon. Dan mengantar kami mencari oleh-oleh khas Cirebon. Isteri Udin tidak hanya cantik, tapi baik dan ramah. Akhdiati dan Antiq juga membenarkan hal itu. Meski usianya jauh lebih muda dibanding kami, tapi tidak tampak canggung. Mau membaur, ngobrol bareng dengan teman-teman suaminya. Udin benar-benar hoki.
Pulangnya, Antiq dan suaminya mengantar kami sampai stasiun. Terimakasih ya Ade, Antiq, Udin dan nyonya. Kalian benar-benar baik.
Kami berangkat ke Cirebon bareng Yoki dan isterinya. Pulangnya naik kereta. Yoki lanjut ke Yogya, untuk mengecek Pondok Tenda Sakabisa miliknya.
Aku dan Yoki juga sempat ke Bandung, menengok Dini sakit, bareng Eni dan Rika. Rumah Dini di Ujung Berung.
Meski dalam kondisi sakit, Dini tetap ceria. Tidak tampak seperti orang yang sedang sakit.
Kata Eni : "Ini mah terbalik. Bukan kita yang menghibur Dini. Justeru Dini yang menghibur kita."
Suami Dini, Mas Marno, hanya senyum-senyum melihat keseruan kami saat mengobrol, sambil terus membolak balik gorengan empek-empek dan bala-bala. Tidak mengira, Mas Marno begitu luwes memegang spatula.
Berpembawaan tenang dan santun, berkulit terang, serta bermata sipit. Seperti engkoh-engkoh Glodok. Aku pikir Cindo. Ternyata bukan. Memang masih ada turunan darah Jepang dari kakeknya.
"Oooh, pantesan...," seru kami bersamaan, usai mendengar penjelasan Dini tentang silsilah keluarga suaminya.
Ada-ada saja yang diceritakan Dini. Lucu-lucu dan seru. Aku tertawa lepas mendengarnya. Hatiku terasa ringan. Aku seperti menemukan sesuatu. Perasaan yang sudah lama tidak bisa aku rasakan. Dini, terimakasih ya. Cerita-ceritamu sangat menghiburku. Semoga aku bisa belajar untuk tetap kuat, dan semangat seperti dirimu.
Setelah puas bercengkerama, dan berfoto ria, kami pun berpamitan.
Pulangnya, Rika turun duluan di rumah makan keluarga yang ia kelola, Saung Legit. Lalu kami meneruskan perjalanan ke kampus Jatinangor, untuk mengantarkan Eni yang hendak mengikuti rapat. Kami menyempatkan diri untuk berfoto sejenak. Di depan Perpustakaan Fikom. Setelah itu aku buru-buru kembali ke mobil.
Dari kampus Jatinangor, kami memasuki kota Bandung kembali. Yoki hendak survei ke beberapa lokasi untuk tamu dari Malang yang ingin mengadakan city tour di Bandung, Desember nanti. Mereka menggunakan jasa Sakabisa Travel milik Yoki. Setelah pensiun dari profesi kewartawanannya, Yoki buka usaha travel dan jastip.
Sebelum pukul 17 aku sudah tiba di rumah. Yoki melanjutkan perjalanannya menuju Pamulang. Kasihan, Yoki terjebak macet selama empat jam lebih. Katanya pukul 21 baru sampai di rumah.
Awal bulan ini, aku menemui Sri Alit di Perpusnas Jakarta. Pertemuan yang mengharukan. Kami berpelukan sambil bertangis-tangisan. Aku tidak bertemu dengan Sri sekitar 32 tahun. Sri bekerja di Perpusnas yang kebetulan tidak begitu jauh dari kontrakan anak-anakku. Aku diantar oleh Cagga, anak ketigaku. Tiap bulan, aku memang ke Jakarta untuk menengok anak-anak.
Sri mengajakku ke ruang kerjanya dan memperkenalkan rekan-rekan kerjanya, satu per satu. Kemudian Sri memesankan baso untukku dan anakku. Sedangkan Sri menyantap bekal yang sudah ia siapkan dari rumah. Aku merasa tidak enak mengganggu jam kerjanya. Tapi Sri bilang tidak apa-apa.
Didi Pujohadi menyusul. Kebetulan dia sedang belanja onderdil untuk bengkelnya di Atrium. Dia wanti-wanti agar aku tidak pulang dulu. Dia ingin bertemu. Didi bilang, posisi dia tidak jauh dari Perpusnas Salemba.
Tidak lama berselang, Didi muncul dengan menenteng belanjaannya.
Maka, jadilah kami bertiga bernostalgia siang itu. Ngobrol ngalor ngidul. Diselingi canda dan tawa.
Di sini, lagi-lagi kami mengenang masa-masa berjuang saat di Sekeloa dulu.
Seperti Dini, Didi pun pandai melontarkan lelucon. Entah mengapa, rasanya ada sebuah kelegaan yang sulit diungkapkan lewat kata-kata, setiap kali bertemu dengan teman-teman lama. Ada keharuan yang sangat mendalam. Aku hanya bisa mengucap syukur. Masih sehat. Masih diberi kesempatan untuk bertemu.
Semoga kami semua selalu sehat, bahagia. Sisa usia bisa memberi manfaat pada sesama.
Komentar
Posting Komentar