Kisahku (part 2)
Karena ini tugas akhirku, merupakan karya pertamaku, aku bertekad ingin melakukan yang terbaik. Setidaknya menurutku. Aku pilih Tajuk Rencana Harian Umum Kompas. Aku ingin mengetahui, sejauh mana perannya dalam mempengaruhi proses pengambilan keputusan elit politik di Kodya Bandung, kala itu.
Dengan susah payah aku berhasil menyelesaikannya juga dan diwisuda pada tanggal 19 Desember 1992. Aku bersyukur, setidaknya aku sudah memenuhi janjiku pada orangtua. Saat wisuda, aku didampingi oleh suamiku. Kami melaksanakan pemberkahan nikah pada tanggal 31 Mei 1992 di Vihara Bodhi Diepa Cikampek. Disusul ke kantor catatan sipil dua bulan kemudian.
Setelah semua urusanku di Bandung selesai, aku menetap di Cikampek. Menjalani penuh peranku sebagai seorang ibu rumah tangga.
Kami banyak melalui jalan yang sulit dan berliku-liku. Saat itu usaha mertuaku jatuh dan mereka terbelit hutang bank. Belum lagi kondisi kesehatan yang memburuk.
Kelahiran anak pertamaku Abhi, pada 10 September 1993, menjadi penyejuk keluarga. Kami mulai merenda hari esok dengan begitu banyak harapan, juga untaian doa. Sebagai isteri dan menantu, aku berusaha untuk selalu menyadari posisi diriku. Menerima keadaan. Mencukupkan diri dengan yang ada. Aku sadar, kami sama-sama sedang berjuang untuk keluar dari lingkar kesulitan.
Selama menikah, aku banyak mengalami pergulatan bathin. Sikap penolakan dari mertuaku benar-benar jadi ujian terberat dalam perkawinanku. Aku hampir menyerah. Namun, setiap kali aku berpikir untuk bercerai, aku selalu hamil dan hamil lagi. Sampai akhirnya aku pasrah, menerima saja keadaanku.
Saat teman-teman datang berkunjung ke rumahku, mereka sedih melihat keadaanku. Bahkan Ulan tak dapat menahan diri untuk bicara secara terbuka padaku. " Kau sudah banyak berubah. Aku hampir tak bisa mengenalimu lagi. Ke mana perginya keceriaanmu yang dulu? Hilang semua potensi dirimu. Aku benar-benar marah padamu. Apa hidup seperti ini yang kau inginkan? Kau tau, aku sedih melihatmu seperti ini. Aku tau, kau bisa berbuat lebih baik lagi. Tapi kenapa tidak kau lakukan?" Aku hanya diam mendengar kata-katanya itu.
"Kau sahabatku. Aku perduli padamu. Aku ingin kau bangkit dan menyadari potensi yang ada di dalam dirimu. Aku percaya kau bisa. Maafkan, bila kata-kataku menyakitimu." Lagi-lagi aku diam. Menyimak dan terus menyimak kata-kata Ulan.
Mertuaku membenciku karena aku bukan menantu pilihan mereka. Suamiku sudah dijodohkan pada gadis Semarang, yang masih kerabat mereka. Orangtua kedua belah pihak sudah mengikat janji. Bahkan bila pernikahan mereka berlangsung, ayah gadis itu akan mengucurkan dana bantuan untuk usaha suamiku sebesar 150 juta. Dapat menyelamatkan mereka dari masalah keuangan akibat kebangkrutan.
Tapi suamiku menolak. Dia tetap memilih aku. "Apa kau yakin akan menikahi dia?" Tanya ayahnya, sembari menunjuk ke arahku. Dan suamiku menjawab iya dengan tegas.
"Apa kau yakin dia pilihan yang tepat untukmu? Apa kau tidak akan menyesal nanti?" Sekali lagi suamiku menjawab dengan pasti. "Tidak. Aku tidak akan menyesal. Aku sudah mantap memilih dia. Aku hanya akan menikah dengannya. Tidak dengan perempuan lain." Wajah ayahnya memerah menahan amarah.
"Terserah. Kamu urus sendiri pernikahanmu. Papa tidak akan ikut campur lagi," ujar ayahnya sembari berdiri meninggalkan tempat duduk. Sedikit pun tidak menoleh ke arahku. Aku kikuk sekali. Serba salah. Ada rasa takut juga.
Bertahun-tahun menikah, mertuaku masih belum melunak juga. "Karena kau, anakku jadi berani melawan. Selama ini dia sangat berbakti dan selalu menuruti kata-kata orangtua. Kau yang sudah merubahnya. Meracuni pikirannya. Kau tidak memberi pengaruh baik padanya." Itu yang selalu dilontarkan oleh ayah mertuaku padaku.
Aku masih ingat, bagaimana saat setiap kali imlek tiba, suami dan anak-anakku dipanggil ke rumah orangtuanya, untuk makan malam bersama. Menyambut datangnya tahun baru. Kami tinggal bersebelahan. Meski begitu, sekali pun aku tak pernah ditawari atau diajak bergabung oleh mertuaku. Aku sendirian di rumah. Menunggu suami dan anak-anakku kembali. Tak jarang, aku merebus mie instant atau bikin ceplok telur, sambil terus mengeringkan air mata. Aku makan sendiri.
Terkadang, suamiku balik sebentar, mengantarkan beberapa jenis makanan yang dimasak ibunya. Mungkin dia tak tega. Dan minta izin pada orangtuanya. Sebisanya, dia pun berusaha menyenangkan hati semua anggota keluarga.
Sebagai istri, aku mencoba memahami posisinya yang sulit, dan berusaha untuk tidak menyalahkannya. Saat dia kembali, aku lebih memilih untuk diam saja. Walau sebenarnya, begitu banyak pertanyaan yang ada di benakku. Aku tak ingin memaksa suamiku untuk bercerita. Aku biarkan hari itu berlalu begitu saja. Seakan-akan tak pernah terjadi apa-apa.
Aku tau, dia pun merasa lelah dengan semua ini. Semua menghadapi jalan buntu. Kami belum menemukan jalan keluar yang baik dan bisa memuaskan semua pihak.
Aku kembali menjalani hari-hariku seperti biasa. Aku merasa tidak ada gunanya bertanya juga. Aku tak ingin menambah beban pikirannya. Suamiku ada di posisi yang sulit. Terjepit di antara dua pilihan yang sama-sama berat untuknya.
Aku berusaha menerima keadaanku, seperti yang Bhante Dharma Suryabhumi nasehatkan padaku. Fokusku pada ke lima orang anakku. Mereka harapanku. Mereka juga yang jadi sumber kekuatanku. Aku bersyukur mengenal dan pernah belajar tentang Hukum Karma, serta Hukum Sebab Akibat Yang Saling Bergantungan. Sehingga aku bisa berdamai dengan kesulitanku, dan memandang semua sebagai jalan karmaku...
Imlek berlalu begitu saja. Tanpa kesan. Kami, tidak pernah merayakannya secara berlebihan. Imlek sama seperti hari-hari biasa lainnya. Sepi. Tidak ada yang istimewa.
Biasanya pada hari raya imlek ke empat, aku mudik ke Sumut. Ulang tahun ayahku jatuh pada hari imlek ke lima. Momen itu dijadikan sebagai momen kumpul keluarga.
Kami, tujuh bersaudara, selalu berusaha menyempatkan diri pulang kampung, untuk menyenangkan hati ayah kami, yang kian menua. Kami menyadari, waktu yang tersisa tidak banyak lagi. Selagi bisa, kami akan berusaha membahagiakannya. Kumpul bersama untuk merayakan ulang tahunnya. Kami ingin memberikan kenangan indah di usia tuanya.
Selalu, setelah pulang dari rumah orangtuanya, suamiku langsung memeluk diriku erat-erat. "Maafkan kedua orangtuaku. Mereka sesungguhnya sayang padamu. Hanya tidak tau cara mengungkapkannya dengan baik. Kita satu keluarga. Tolong sabar, dan mengerti. Kau pandang ke aku saja. Aku satu-satunya anak mereka. Aku tak bisa memilih. Kalian sama-sama orang yang penting dalam hidupku. Mereka orangtuaku. Mereka hanya memiliki aku sebagai sandaran hidupnya. Di sisi lain, ada kau dan anak-anak..." Aku coba untuk menuruti kata-kata suamiku. Coba untuk tidak membantah. Dan menerima semuanya. Sembari berharap, suatu saat nanti hati mereka bisa terbuka.
Hingga pada suatu hari, ibu mertuaku divonis mengidap penyakit kanker kelenjar getah bening. Operasi pertama tidak berhasil mengangkat seluruh sel kanker yang ada. Akhirnya tumbuh dan berkembang biak dengan cepat. Hal itu membuat kondisinya drop. Untuk bangun dari tempat tidur saja butuh dibantu. Sudah dibawa berobat ke RS Siloam dan RS Cipto. Tapi pihak rumah sakit menolak melakukan tindakan operasi. Karena usia lanjut. Itu yang dikatakan dokter.
Di situ terjadi pergulatan bathin yang dahsyat dalam diriku. Kalau mengingat perlakuannya selama ini padaku, jujur, aku marah. Namun, di sisi lain aku tak bisa menutup mata dan bersikap pura-pura tidak tau. Aku merasa iba. Di rumah tidak ada siapa-siapa lagi, selain aku. Suamiku kerja di Jakarta. Pulang seminggu sekali. Aku satu-satunya orang dewasa yang ada di rumah.
Aku terpaksa merawat ibu mertuaku. Membersihkan darah segar yang mengalir terus menerus dari lehernya, dan mengeluarkan bau busuk. Aku yang menyeka tubuhnya, menyuapinya, dan membersihkan semua kotorannya.
Aku mengerjakannya sembari menangis. Aku tidak tau, ujian apa lagi yang bakal aku hadapi. Aku selalu minta agar hatiku dikuatkan untuk bisa melalui semua ini.
Lama-lama aku jadi terbiasa. Tidak merasa jijik lagi. Berganti dengan rasa iba. Kami jadi sering bercakap-cakap. Saat itu ibu mertuaku memegang tanganku. Lebih dari sepuluh kali ia meminta maaf padaku...
Aku menangis. Kenapa tidak dari dulu dia membuka hatinya untukku? Pada adik dan ponakan-ponakannya, dia selalu memujiku. Aku berusaha menghindar. Tak ingin mendengar percakapan mereka. Aku pun merasa tak butuh dipuji. Pada setiap yang datang, dia mulai menyebutku dengan sebutan mantuku. Atau bojo e anak lanangku.
Keharmonisan itu tak berlangsung lama. 23 Oktober 2016, ibu mertuaku menghembuskan napas terakhirnya. Saat aku ke luar, meninggalkannya sebentar untuk membuang air seninya yang ada di pispot. Menjelang matahari terbenam.
Suamiku sampai malam hari. Dia tampak kelelahan. Matanya menyorotkan kesedihan mendalam. Namun, dia ikhlas melepas, merasa sudah berusaha melakukan upaya terbaik untuk kesembuhan ibunya.
Kami sama-sama sudah tak punya orangtua. Setelah kepergian ibunya, aku bisa merasakan kalau dia semakin menyayangiku.
Dia sangat sabar menghadapi kebawelanku. Lebih banyak tersenyum. Belakangan, dia juga ketularan sikap "cerewetku," mulai bisa melempar jokes dan mau cerita terbuka tentang pekerjaannya.
Aku bahagia. Dia memperlakukan aku dengan begitu istimewa. Tak jarang menyuapiku. Mengupaskan salak dan jeruk, atau pagi-pagi berburu dadar gulung, kue kesukaanku. Hanya demi untuk menyenangkan hatiku.
Selama pandemi, dia banyak menghabiskan waktu bersama keluarga. Bekerja dari rumah. Aku tenang ada dia di sisiku. Bisa tidur dengan nyenyak. Tak perlu bangun di tengah malam buta, saat anjing-anjing kami menyalak, memberi kode agar siaga, berjaga-jaga menghadapi segala kemungkinan tak terduga.
Letak rumah yang ada di tengah kebun dan jauh dari tetangga, yang membentuk sikap waspada kami itu.
Dua bulan penuh suamiku di rumah. Seakan ingin menebus minimnya waktu bersama selama ini. 25 tahun kami hidup terpisah. Dia di Jakarta, dan aku di Cikampek, dengan mertua dan anak-anak.
Tapi ternyata, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Dia pergi untuk selama-lamanya pada tanggal 16 Januari 2021. Saat pandemi covid-19 tengah mewabah dengan hebatnya.
Hampir 29 tahun kami membina rumah tangga. Dikaruniai lima orang anak. Empat laki-laki, dan satu perempuan. Si bungsu, bidadari kecilku.
Kami tidak siap ditinggal pergi olehnya. Terkejut. Semua berlangsung begitu cepat dan tiba-tiba. Namun, seiring berjalannya waktu, kami mulai bisa menerima kenyataan. Semua yang terjadi itu merupakan bagian dari jalannya karma yang harus kami lalui. Kedua anakku juga sudah kerja. Itu yang membuatku sedikit lega. Mereka yang menopang hidup kami, sekaligus membiayai sekolah adik-adiknya. Suamiku pun pergi tanpa meninggalkan hutang. Sebagai janda ASN, akupun masih mendapatkan uang pensiunan janda. Tidak besar. Namun cukup membantu. Kebutuhanku juga tidak banyak. Aku sudah terbiasa hidup sederhana. Mencukupkan diri dengan yang ada.
Banyak hal yang sudah kulalui. Sekarang, aku hanya berharap bisa tetap sehat. Hidup tenang dan bahagia...
Kota Baru, Jumat, 17 Desember 2021 (Pkl 15:43).
Saya senang dengan gaya bertutur dan berceritanya. 👍. Isi ceritanya sedih 😭, sy bisa berempati dgn kisahnya. (Ternyata yg susah bkn saya sendiri 😀)
BalasHapusTerimakasih untuk supportnya Pak Didi Pujohadi...😊🙇
HapusSalam sehat dan sukses selalu ya...👍👍
Terima kasih sudah berbagi cerita, sangat terharu dan menginspirasi
BalasHapusTerimakasih utk apresiasinya, Pak...🙇🙇 Butuh waktu lama utk mengumpulkan keberanian, dan menuangkannya ke dalam bentuk tulisan...☺
Hapus