Hitung-hitunganku

Kota Baru, Kamis, 7 Oktober 2021 (Pkl 21.30).

     Aku merasa benar-benar lelah. Kaki agak bengkak. Banyak mondar mandir. Jalan sana, jalan sini. Persendian jadi nyeri. Cucian juga menumpuk. Mindahin kasur sekalian spreinya dicuci. Dan tentu saja harus tetap memasak untuk makan kami berempat. Kalau beli matengan, terasa mahalnya. Sayang. Aku selalu berusaha berhemat. Menghemat yang masih bisa dihemat. Kalau tidak begitu, saat ada kebutuhan mendadak, bingung sendiri. Tak punya pegangan. Sementara, aku kan tidak bisa berharap pada siapa-siapa. Saudara, teman, semua juga repot dengan urusannya sendiri. Masing-masing punya keluarga. Mengetahui semua pada sehat saja, rasanya sudah senang sekali. Aku tak berharap apa-apa. Aku selalu berpikir harus bisa menolong diri sendiri. Aku tak ingin membebani siapa-siapa. Jaga-jaga saja. Anak-anakku yang sudah kerja selalu tanya. "Cukup tidak Ma? Kalau kurang, bilang ya. Jangan sungkan. Nanti aku usahain untuk kirim lagi." Aku selalu bilang cukup. Aku tak pernah minta lagi. Mereka kasih berapa pun, aku terima saja. Bersyukur, mereka masih ingat buat ngasih ke orangtua. Aku tau, mereka juga punya banyak kebutuhan. Punya cita-cita yang ingin direalisasikan. Jangan sampai demi menyenangkan hatiku, anak-anakku mengorbankan cita-cita dan rencana mereka untuk masa depannya. Sesekali aku ada beli di warung juga. Kalau lagi bosan dan malas masak. Terlebih kalau aku lagi capek dan tak enak badan.

     Umur memang tak bisa bohong ya. Packing, angkutin barang-barang, ternyata cukup menyita energi juga. Memang sih dibantu anak-anak. Tapi mereka juga sibuk dengan sekolah on line. Tak baik juga mengganggu waktu belajar mereka. Ehi bantu lipat baju. Dhamma cuci piring. Cagga dan aku angkat-angkat barang. Gotong royong.

     Aku sudah bilang ke tukang, agar besok libur dulu. Biar ada jeda untuk mengumpulkan tenaga lagi. Aku tak mau terlalu menekan harus cepat selesai. Seperti dikejar-kejar target. Aku lihat, mereka juga sungguh-sungguh kerja kok. Tadi, mereka memasang atap, dan terkena cahaya matahari langsung. Terlihat mereka kelabakan. Kehausan. Air segalon habis. Air termos juga. Mereka minta direbuskan lagi. Berkali-kali mereka menyeduh kopi. Untuk dopping tenaga dan melawan rasa gerah. Iba juga aku melihat mereka. Ternyata, seberat itu perjuangan untuk menafkahi keluarga. 
Hari ini memang panas terik. Kebetulan aku mengukus pisang. Sebagian kuberikan pada mereka untuk teman ngopi. Mereka tampak senang.

     Selama empat hari kerja, banyak cerita yang kudapat. Sehabis menjemur pakaian, kusempatkan duduk-duduk sembari ngobrol dengan mereka.

     "Bu, boleh minta rumput gajahnya?" Pak Ali membuka percakapan.
      "Oooh, boleh banget. Ada pelihara kambing ya? Berapa ekor?" Aku selalu tertarik untuk menggali informasi. Kadang suka diomeli juga sama anak perempuanku. Si bungsu.

     "Mama mah selalu begitu. Kepo. Banyak tanya. Bisa aja kan pertanyaan Mama itu bikin tak nyaman lawan bicara?" Ada betulnya juga sih perkataannya. Tapi aku suka lupa kalau sudah keasyikan ngobrol.

     "Enam ekor, Bu" jawabnya. 
     
      "Oooh, banyak juga ya. Lebaran haji kemarin apa ada yang dijual?" Kepoku kambuh.
      "Nggak ada yang beli, Bu. Nggak laku. Mungkin karena wabah covid. Banyak orang yang kesulitan." Pak Ali menjelaskan. Aku hanya manggut-manggut.

     "Oooh, begitu ya. Anak Pak Ali ada berapa?"

      "Tiga Bu. Perempuan semua. Sudah pada nikah. Cucu saya sudah tiga..." Dia tampak bangga saat menceritakan anak-anaknya. 

     "Wuah, hebat Pak Ali. Kalah saya. Jangan kan cucu, mantu juga belum," ujarku. "Berarti kerja hanya untuk berdua dengan isteri saja ya. Sudah bebas. Nggak ada tanggungan. Nyantai ya. Nggak ngoyo lagi..." lanjutku.

     "Tetep Bu. Kan ada cucu. Tiga-tiganya di rumah, diasuh sama isteri. Namanya juga cucu. Kalau minta uang jajan kan kitanya nggak tega juga."

       "Kan ada orangtuanya?" 

        "Ya ada. Pada kerja di pabrik. Sehari-hari ngikut di rumah. Jadi minta jajannya sama kakek neneknya. Saya juga boros untuk pengeluaran, beli  rokok. Sehari habis dua bungkus. Sebungkus dua puluh dua ribu rupiah..."

      "Semahal itu? Kan sama aja tuh dengan bakar uang?" Aku terperangah mendengar ceritanya. "Masih lebih enak dan murah sebungkus nasi Padang. Apa Pak Ali tidak merasa sayang? Duh, sebulan kalau ditotal, bisa habis berapa tuh Pak ? Setara dengan pengeluaran saya untuk bayar listrik dan beli beras sebulan lho." Aku sungguh tak bisa memahami jalan pikirannya. Kok bisa ya menghamburkan uang sebanyak itu hanya untuk membeli rokok. Hampir setengah dari penghasilannya.

      Pak Ali tertawa mendengar pertanyaanku. Dia malah heran dengan  hitung-hitunganku.
     " Saya tidak pernah menghitung-hitung, Bu. Namanya juga untuk menyenangkan diri sendiri, kenapa harus perhitungan?" Dia balik bertanya. Aku benar-benar terperangah dibuatnya.

     Kata-kata Pak Ali membuat aku tercenung. Lama aku berpikir. Apa yang bisa membuatku senang ya? Aku senang saat tidak ada cucian dan setrikaan menumpuk. Lega saat melihat anak-anak makan dengan lahap. Bahagia melihat anak-anak sehat. Apa lagi ya? Oooh iya, gembira bisa bertukar sapa dan melempar canda dengan teman-teman di grup. Bangga, saat berhasil memperbaiki sesuatu. Sekecil apa pun itu. Seperti menebang bambu. Untuk ganti sangkutan kabel yang lapuk. Memasang tali jemuran, memaku gagang spatula yang  copot. 

     Sederhana banget ya kriteria standard kebahagiaanku. Yah, memang seperti itu adanya. Aku realistis aja. Tidak ingin bermimpi atau berharap sesuatu yang ada di luar jangkauanku.  Dan mungkin aku akan merasa lebih lega lagi, bila sudah bisa bebas dari rasa khawatir menahun saat musim penghujan datang. Tidak was-was saat angin berhembus kencang. Aku selalu takut kalau-kalau ada pohon yang tumbang, dan mengenai rumah tetangga. Bisa repot urusannya. Dan tentu saja, benar-benar akan merasa bahagia bila bisa segera bebas dari kebocoran rumah...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pertanda apa ini

Bunga Teratai

Kedatangan Nova